Tanpa dapat berkata kata, aku tersenyum melihatnya masuk kedalam bagian tengah masjid, tempat dimana aku sedang duduk bersila di depan meja sakral yang akan merubah hidupku. Dengan perlahan ia duduk, mata hitam agak kecokelatannya melihat ke arahku dan tersenyum. Senyum yang selalu kulihat dari sejak 10 tahun silam, senyum yang selalu kurindukan setiap kali aku jauh dari nya, senyum yang selalu ku nanti dalam perjalananku untuk bertemu dengan dirinya, senyum pertama yang kulihat ketika ia mengantarku ke kelas baru ku di kelas 9-A, dan senyum yang selalu menghiasi hari hariku. Kini merekah lebih indah di hari besar ini.
10 tahun sudah aku dan dia mengarungi hidup bersama. Tumbuh besar dan saling memahami satu sama lain. Menerima kekurangan masing masing, menerima segala perbedaan and deal with our worst personality side. Dia yang dapat bertahan dengan aku yang sedikit pendiam dan aku yang dapat bertahan dengan dia yang agak sedikit mudah marah. Hingga pada akhirnya kisah ini berlanjut bahagia. Bagi kami berdua, di hari besar ini.
***
Tahun ajaran baru, Bandung, Juni 2006
Mendung, harusnya tidak.
Langit sudah terlalu mendung ketika aku sedang duduk di ruang guru dan mengintip dari jendela kecil disamping tempat aku duduk. Ruangan khusus guru guru yang berisi 45 meja ini kosong. Tentu saja, karena semuanya sedang berdiri di lapangan, dibawah langit yang mendung, yang aku yakin upacara tidak akan dilanjutkan lantaran gerimis yang sebentar lagi bisa saja turun dari langit. Semua murid baik itu laki laki maupun perempuan berdiri di tengah lapang, beberapa terus melihat ke langit, berharap agar hujan turun, beberapa berbisik, mencoba menghilangkan kebosanan dalam mendengarkan amanat kepala sekolah, beberapa secara terpaksa tetap diam, karena adanya guru yang mengawasi mereka tepat di belakangnya, beberapa memang mendengarkn baik baik, amanat sang kepala sekolah.
Namun aku duduk di salah satu kursi di ruang guru, hanya dapat melihat upacara dari jendela pada pintu kayu yang merupakan jalan masuk dan keluar satu satunya menuju ruangan ber cat hijau ini. Ruang guru yang berada di dekat lapangan membuatku dapat mendengar amanat kepala sekolah baru ku ini, sangat jelas. Tentang kedisiplinan dan etika para murid yang ia rasa sedang dalam kualitas ter rendah, menurutnya.
Ya, sebelum nya aku tidak pergi ke sekolah ini setiap pagi, semester lalu aku masih terdaftar sebagai murid di salah satu SMP Swasta terbaik di Jakarta sementara kini sebagai murid pindahan, duduk di salah satu SMP di dekat rumah baru ku di bilangan Buah Batu Kota Bandung, hal tersebut yang membuatku duduk di ruang guru ini sementara murid murid lain melakukan upacara di hari pertama tahun ajaran baru sekolah. Aku bisa saja ikut upacara, namun beberapa staff administrasi memberiku saran agar menunggu wakil kepala sekolah bidang kesiswaan di ruangan ini. Seorang diri.
Setelah beberapa menit menunggu dengan menghabiskan waktu mendengarkan sedikit lagu dari Yellowcard dan Fall Out Boy pada akhirnya ada seorang guru yang datang menghampiriku. Seorang laki laki gemuk dengan pakaian dinas cokelat dan kumis baplang. “ Nama bapak, Pak Kohar, mengajar matematika di kelas 1 “ Ia adalah seorang ahli matematika yang mungkin sudah berfikir cukup keras akan rumus rumus matematika dilihat dari kepala bagian atasnya yang sudah sedikit botak. Ia mendongkak melihat ke arahku. “ Langsung masuk aja ya ke kelas 9-A? “ Ucapnya dengan logat sunda yang kental setelah mewawancaraiku dengan pertanyaan pertanyaan umum seperti nama, pindahan dari mana, kenapa pindah, dan tinggal dimana. Pertanyaan pertanyaan klasik untuk basa basi sebelum masuk ke dalam topik utama sebuah pembicaraan.
“ Kelasnya di sebelah mana ya pak? “ Pertanyaan yang wajar bagi seorang murid baru. Pak Kohar menyapu sekeliling ruangan guru, nampak seperti mencari seseorang namun ia tidak menemukannya.
“ Wah, harusnya sama Bu Milla, tapi kayaknya mah udah ke kelas duluan yah “ Ucapnya, mungkin malas juga menjelaskan arah kelas baru ku. Aku sangat mengerti, aku sudah sekolah lebih dari 3 tahun dan memahami karakteristik seorang guru. “ Ah, itu, neng! Sini! “ Ucapnya melihat ke arah pintu ruang guru yang sedang terbuka membiarkan angin pagi masuk kedalam ruangan.
Reflek aku melihat ke arah pintu, rupanya Pak Kohar itu memanggil seorang perempuan berambut hitam lurus sebahu yang sedang berjalan sendirian sambil membawa beberapa buku LKS. Ia melihat ke arah Pak Kohar dan masuk ke dalam ruang guru setelah mengucapkan salam. Ia berjalan dengan santai ke arah kami dan dengan cepat langsung melihat ke arahku, ia harus menengadah ke atas, karena ukuran badannya cukup kecil bagi seorang murid SMP. Atau tubuh 165cm ku ini terlalu tinggi untuknya?
“ Neng, anter ini murid baru ke kelas 9-A yah? “ Ucap Pak Kohar, sontak perempuan itu terkejut sambil kembali melihat ke arah Pak Kohar. Seakan tidak percaya bahwa Pak Kohar baru saja memintanya untuk mengantarkanku ke kelaas baru ku.
“ Bapak gak salah suruh saya anter dia ke kelas 9-A? Bapak hafal banget kan saya kelas apa? “ Ucapnya berani, aku sedikit kaget melihat respon cepat nya setelah mendengar perintah Pak Kohar. Namun Pak Kohar tidak marah, ia hanya melihat ke arah perempuan tersebut dengan santai.
“ Lho emang kenapa? Kelas mu ngakunya udah damai kan sama kelas A? Sudah lah, sudah mau SMA kalian ini, masa mau berantem terus Cuma karena final sepak bola? Udah cepet anterin, sekalian kamu ke kelasmu juga, saya harus masuk pagi mesti buru buru! “ Ucap Pak Kohar sambil mengambil dua buku paket matematika dari meja nya. Pak Kohar berpamitan denganku, menitipkanku pada perempuan yang tidak ku kenal ini. Perempuan itu akhirnya melihat ke arahku, sekali lagi, sedikit menengadah, tingginya kira kira hanya 150cm sehingga aku pun harus sedikit merunduk untuk melihat ke arah wajahnya. Tubuhnya yang mungil sedang memeluk paket LKS Bahasa Indonesia untuk satu kelas.
Ia menghelakan nafasnya dan mengajakku untuk keluar dari ruang guru tanpa berkata apa apa. Aku menggendong jansport hitamku yang sedari tadi ku letakkan tepat di sampingku dan mengikutinya. Kami berjalan dalam diam sampai akhirnya ia membuka pembicaraan lebih dahulu.
“ Pindahan dari mana? “ Ucapnya, basa basi yang ku tahu akan ku dengar dari setiap orang yang baru bertemu denganku di sekolah bertingkat dua ini.
“ Jakarta “ Ucapku singkat, perempuan itu mengangguk mengerti.
Kami kembali diam. Ia melangkahkan kakinya, menyapa beberapa orang yang berlalu lalang di koridor, rupanya ia cukup terkenal di kalangan para siswa di sini, setelah menyapa nya, beberapa orang langsung melihat ke arahku, membuatku sedikit takut, takut celana pendek biru yang sudah kugunakan sejak kelas 2 ini sudah terlalu pendek untuk tubuhku yang entah mengapa meninggi dengan sangat cepat. Namun tiba tiba saja perempuan itu kembali melihat ke arahku. “ Gak ribet emangnya adaptasi lagi, pas kelas 3 pula pindahnya, aku sih nggak akan mau disuruh pindah di kelas 3 “
“ Ya gimana lagi, masih numpang dirumah orang tua, dan saudara semua disini, pada dasarnya emang kampungku di sini “ Ucapku, perempuan itu kembali mengangguk mengerti. Perempuan ini sudah gak pakai basa basi seperti Pak Kohar, namun aku tahu ini merupakan pertanyaan umum pada seorang murid pindahan. Ia berjalan masih di depanku, dengan seragam putihnya yang tidak terlalu ketat namun tidak juga terlalu besar, rok biru selutut dan converse hitam yang paling umum digunakan oleh anak sekolahan baik itu di Bandung maupun ketika aku masih di Jakarta. Tiba tiba ia kembali melihat ke arahku “ Sebenernya ada beberapa rules yang mesti kamu tau di sekolah ini, agak gak banget sih, emang. Cuma, ya hukum alam “ Ucapnya sambil berbalik ke arahku sehingga membuatku berhenti. Ia mengulurkan tangannya. “ Mamora, 9-C, panggil aja Mora, tapi aku berani taruhan kamu gak akan mau memanggilku setelah tahu kisah antara kelasku sama kelas baru mu” Ucapnya, aku menjabat tangannya.
“ Jafar “ Ucapku singkat, ia kembali berbalik dan berjalan mendahuluiku.
“ Jafar tuh artinya hilir sungai kan? Let me guess, kamu orangnya nyantai, gak begitu membuncah, tenang, dan berjalan apa ada nya aja gitu, bener? “ Tanya Mora. Aku melihat ke arahnya, cukup benar bagi seorang stranger yang baru mengenalku kurang dari satu jam. Aku tersenyum sambil sedikit mengangguk.
“ Ya, cukup benar sih “ Ucapku, Mora tersenyum senang sambil masih memeluk LKS nya, sesungguhnya aku cukup sangsi membiarkan seorang perempuan kecil memikul LKS tersebut namun membantunya pun mungkin percuma karena mungkin saja kelasku sudah dekat.
“ Sodara ku namanya Jafar “ Ucap Mora terkekeh kecil. Kami terus berjalan menyusuri pilar pilar koridor ber cat hijau, dengan beberapa gambar gambar akan kata kata motivasi di pajang rapi dengan pigura di beberapa kolomnya, sementara aku sibuk membaca satu persatu kata kata tersebut, Mora berjalan disampingku, masih memeluk LKSnya. Namun ia berhenti di tengah tengah koridor. Ia berbalik ke arahku. “ Menurut kesepakatan, aku gak bisa jalan lebih dari batas pot bunga ini “ Ucapnya sambil menunjuk sebuah pot bunga daur ulang dari botol coca cola yang terpasang di kolom koridor kelas 9. “ Sampai waktu yang ditentukan ketua kelasku dan ketua kelasmu punya kesepakatan buat gak melewati batas ini kecuali pulang sekolah, nah, itu rules yang harus kamu ingat. Jadi, sekarang, bisa kan jalan sendiri ke kelas mu? Udah ada tanda nya di atas pintu, ketok aja, denger denger wali mereka sekarang ini Bu Milla, wali kelasku dulu, dia baik kok, soalnya guru muda. Hari pertama ini biasanya Cuma pengenalan sama wali kelas, minggu ini masa orientasi buat siswa baru, baru deh, minggu depan.....” Ucapnya menghentikan pembicaraan, aku melihat ke arahnya menunggu kelanjutan ceritanya. “ Pokonya nanti kamu bakal tau dari Gery, dia ketua kelasmu “ Ucapnya mengangguk, ia menatapku seperti melihat seorang anak yang akan dilepaskan oleh ibu nya, pada saat itu aku melihat matanya sedikit tertimpa sinar matahari pagi yang menyembul sedikit diantara awan mendung pagi itu, aku tahu matanya sedikit cokelat, setelah saling bertatapan sambil mengangguk mengerti, ia dengan cepat pergi meninggalkanku. Ia berjalan ke arah berlawanan. “ See you! “ Teriaknya tanpa berbalik, masih memeluk LKS nya.
Aku pun langsung masuk kedalam kelas, tentu setelah mengetuk pintu, dipersilakan masuk dan mengenalkan diri di depan kelas. Memperkenalkan diri, pada 38 anak yang sudah saling mengenal satu sama lain dalam masa sekolah dua tahun kebelakang. Sesungguhnya aku sangat tidak ingin melakukannya, namun Bu Milla memaksaku sehingga seluruh temn teman baru ku dapat mengenalku. Aku berusaha menimbun rasa malu ku. Sampai akhirnya aku duduk di salah satu bangku kosong di sebelah seorang laki laki yang sedari tadi bersandar pada bangku kayu. Selagi Bu Milla melakukan perkenalan dan rules rules kelasnya, laki laki dengan mata agak sipit ini melihat ke arahku.
“ Rei “ Bisiknya sambil mengulurkan tangan. Tersenyum ramah, sehingga aku dapat melihat kawat gigi nya dengan karet berwarna hitam. Aku menjabat tangannya.
“ Jafar “ Bisikku. Mengucapkan namaku walau aku yakin Rei sudah mengetahui nya ketika Bu Milla, guru muda dengan kerudung berwarna cerah yang kini berdiri di depan itu sudah memberitahukan namaku pada seisi kelas.
Aku sangat beruntung mendapatkan kursi kosong di samping Rei yang betul betul bersahabat dan sepertinya punya karakteristik yang sama denganku. Sehingga aku hanya perlu sedikit bersabar untuk mencari tahu tentang konflik kelas ku dan kelas Mora.
***
“ Jadi? Kenapa bisa pindah kesini? “ Tanya Rei langsung tanpa basa basi setelah Bu Milla keluar dari kelas dan memberi kami jam bebas sampai kami diperbolehkan pulang lebih awal di hari pertama tahun ajaran baru ini oleh guru bidang kesiswaan. Rei yang easy going cepat akrab denganku, aku yang sedikit pendiam cukup cocok dengan Rei yang sedikit banyak tanya karena keingin tahuan nya yang tinggi.
“ Orang tua gak sampai hati ninggalin di Jakarta, karena sanak saudara semuanya disini dan emang pada dasarnya kampungku disini, tapi kita mesti banget pindah kesini, bokap dipindah tugas dinas, nyokap kebetulan dapet kerja bagus juga disini “ Ucapku, sadar bahwa alasan ini memang alasan umum seorang murid pindahan. Rei mengangguk angguk mengerti. Ia memberitahu beberapa nama murid yang berlalu lalang di dalam kelas, dan sekalian memberi tahu karakteristiknya setelah beberapa orang murid datang untuk mengajakku kenalan. Namun tiba tiba seorang laki laki datang menghampiri meja ku dan Rei. Laki laki yang cukup tinggi dan tegap dengan kulit cokelat manis. Yang tidak lama kemudian aku tahu bahwa ia merupakan ketua kelas kami, Gery.
“ Gini Far, kita punya sedikit rules nih di kelas ini, gak masalah kan? “ Tanya Gery setelah kami melakukan pembicaraan umum get-to-know-each-other dengan Rei dan Gery yang cukup jauh dari perkiraanku bahwa mereka berdua merupakan anak sekolahan yang hobi nongkrong di warung dengan diam diam membawa motor tanpa SIM, ternyata mereka hampir sama sepertiku yang pulang menggunakan angkutan umum dan gak nongkrong nongkrong gak jelas di masa masa putih biru ini.
“ Dulu sih gitu...tapi itu waktu kelas 1, pas gak tahu apa apa, makin kesini malah makin terlarut dengan kekompakan kelas yang gak pernah dipecah ini, semakin dewasa pun dipikir pikir males juga kalau nakal nya gitu, kita nakal, usil, tapi in a good ways kok “ Ucap Rei sambil tertawa ketika aku bertanya apa mereka punya kebiasaan nongkrong setiap pulang sekolah atau coba coba merokok sebelum waktunya.
“ Jadi gini rulesnya.... “ Gery mulai bercerita.
Setelah menjelaskan panjang lebar sambil berjalan jalan mengelilingi sekolah (tentu dengan tidak melewati batas pot bunga yang ditunjukkan Mora tadi pagi dan setelah menghabiskan satu gelas es teh manis ditemani 2 gorengan panas dari kantin). Aku tahu sebab perkelahian antar kelas Mora dan kelasku. Kesalah pahaman pelanggaran yang dijatukan pada kelas tim kelas 9-A dan protes gol offside kelas 9-A ke kelas 9-C membuat perkelahian setelah final pertandingan sepak bola di pekan olahraga semester lalu, sehingga sering sekali mereka bertengkar hingga beritanya sampai ke telinga wali kelas masing masing, dan membuat Gery dan ketua kelas 9-C diancam tidak naik kelas sehingga akhirnya mereka berdamai. Masalah anak sekolah menuju umur remaja.
“ Ketua kelas mereka cewek lho “ Ucap Rei.
“ Siapa? “ Setelah menelan potongan terakhir gorengan pisang di pagi yang cukup dingin ini.
“ Namanya Mora, cewek perkasa banget “ Ucap Rei sambil menghitung uang yang tersisa di sakunya. Bagus. Baru saja aku akan bercerita bahwa aku tadi diantarkan oleh murid kelas 9-C.... dan ternyata, ketua kelasnya. “ Tu cewek, cewek paling gila yang pernah ku temui, badan nya sih kecil, tapi keberanian nya macam singa lagi nerkam rusa “
Aku sedikit tersedak pisang goreng, sehingga Rei dengan cepat memberiku segelas teh tawar hangat dari kantin. Aku tidak pernah menyangka Mora punya andil besar dalam konflik remaja ini.
***
Rumah Rei dan Gery yang berlawanan arah denganku membuatku pulang dengan angkutan umum seorang diri. Rei dan Gery merupakan teman yang cocok denganku, tanpa bertele tele setelah bel pulang dibunyikan kami langsung berlari keluar dari sekolah, ingin cepat cepat pulang kerumah dan melanjutkan tidur yang terganggu pagi tadi. Aku baru saja akan memberhentikan angkutan umum ketika aku melihat sesosok perempuan yang sedang melambaikan tangannya pada teman temannya yang sudah lebih dulu masuk kedalam mobil angkot berwarna abu abu, ia melihat ke arahku sambil memegang dua tali tas gendong berwarna merah nya dan ia tersenyum.
Ia menghampiriku. “ Halo, Jafar “ Ucapnya. Aku mambalas senyumnya. “ Udah tahu kan aku siapa? “ Tanya Mora, sambil menunggu angkot di sisi jalan Buah Batu, tempat dimana sekolah kami berada.
Aku tertawa, melihat ke arah Mora. “ Musuh bebuyutan nya Gery “
“ Kaget? “ Aku menggelengkan kepalaku.
“ Sebenernya iya sih “ Ucapku setelah kami saling diam dalam beberapa saat. Berusaha untuk tidak terkejut, padahal aku benar benar kaget sehingga menghabiskan segelas teh tawar dengan cepat di depan teman teman baruku di hari pertama sekolah. “ Tapi yaudah sih, kita masih bisa ngobrol diluar sekolah “ Ucapku, entah mengapa hal tersebut terucap dari mulutku, namun Mora langsung terdiam sambil sedikit memalingkan wajahnya ke arah jalan raya yang cukup sibuk hari itu.
“ Kamu cerita sama Gery? “ Tanya Mora. Aku menggelengkan kepalaku. Sumpah, aku hanya bilang tadi seorang dari kelas 9C yang tidak kutahu namanya mengantarkanku ke kelas. Setelah menjelaskannya pada Mora, ia mengangguk mengerti. “ Si Gery sama Rei itu orang baik kok “ Ucap Mora setelah aku menceritakan hari pertamaku di kelas 9-A.
Kami berbincang tentang hal hal umum, untuk saling mengenal. Hingga aku tahu bahwa ia seorang perempuan asli Bandung yang menghabiskan hidupnya di Bandung dari sejak lahir sampai sekarang, dan komplek rumahnya gak jauh dari komplek rumahku sehingga kami akan naik angkot yang sama. Ngomong ngomong tentang angkot, di hari pertama ku ini, saking larutnya dalam pembicaraan, kami lupa memberhentikan angkot. Hingga pada akhirnya kami naik ke dalam mobil angkot dan duduk bersebelahan.
Supir angkot yang membawa mobil ini terus terusan memasukkan penumpang kedalam mobil, sehingga kami harus duduk berdempetan. Sehingga berakhir aku duduk di antara Mora dan seorang murid SMA yang berbincang bincang sampai seisi angkot tahu kalau ia sedang galau karena orang yang disukainya baru punya pacar baru. Aku melihat ke arah Mora yang duduk berdempetan disampingku, ia mengeluarkan sebuah iPod nano berwarna hijau tosca dan memasang headset di kedua telinganya. Ia melihat ke arahku dan memberikan headset sebelah kanan padaku.
“ Aku tuh kurang suka angkot yang berisik, seengganya lagu bisa sedikit meredam? “ Tanya nya sedikit berbisik sambil menyodorkan headset putihnya. Aku mengambil headset tersebut dan memasangnya di telinga kiri ku.
“ Sama “ Ucapku singkat, jujur karena aku memang kurang nyaman menggunakan angkutan umum yang penuh sesak oleh penumpang. Ia menekan tombol play.
Lagu yang sangat kukenal, yang selalu kudengar dari kamar kakak laki laki ku setiap pagi. Lionel Richie dengan lagu nya yang berjudul Easy menemani perjalanan kami kerumah.
“ ....I’m easy like Sunday morning...”
Dan itu bagaimana aku mengenal Mora, dan untuk pertama kalinya, terlarut dalam perbincangan yang tak ada habisnya.
***
No comments:
Post a Comment