6 missedcall, Prana cukup berusaha keras agar aku bisa berbicara padanya, namun bagian emosi dari diriku menang sampai aku harus mengabaikan panggilan darinya. Keiko masih duduk di sampingku, kini kami duduk di sofa kamar Keiko, menghangatkan diri setelah pergi keluar tanpa menggunakan jaket atau coat.
“ Katakan apa yang ada di benak lo, apa yang terpendam, tanpa sedikitpun terlewat, walau lo tau kata kata lo gak berbentuk sebuah kalimat yang baik, dan kalau lo perlu teriak atau nangis, lakukanlah “ Ucap Keiko. Tiba tiba saja handphone ku bergetar, nomor yang sama, sehingga aku langsung melihat ke arah Keiko, ia mengangguk pelan.
“ Gue tahu banyak yang ingin lo ucapin ke dia, dan gue tahu betul lo bener bener merindukan dia, bahkan dari sejak kepulangan lo dari Berlin, so I’ll leave you here “ Ucap Keiko meninggalkanku di kamarnya, aku masih duduk di atas sofa, belum menekan tombol hijau. Setelah menghelakan nafas panjang pada akhirnya aku menekannya dan mendekatkan handphone ku ke arah telinga. Tidak lama kemudian Prana menjawab.
“ Tadi, sinyalnya, jelek “ Ucapku pelan. Mencari alasan yang paling tepat untuk menyembunyikan suaraku yang parau karena menangis.
“ Alasannya bukan sinyal kan, aku tahu itu “
Aku diam, menghelakan nafas. “ Ya, kamu benar “
“ Lalu apa “
Aku diam sejenak. Menghelakan nafasku panjang lalu mengatakannya, menjalankan saran yang diberikan oleh Keiko. Ini benar benar sulit, namun aku harus mengatakannya, aku punya pekerjaan lain dan hal ini bisa saja menghalangi fokusku pada thesisku “ Setelah apa yang terjadi di Berlin, kamu masih bisa telefon aku dengan santai gini “ Ucapku.
“ Lalu aku harus gimana? “ Ditanya seperti itu, aku diam, aku juga tidak tahu Prana harus bagaimana, yang kutahu Prana masih bersama Naya, bukan salahnya jika Prana lebih memilih kekasihnya ketimbang mengejar aku ke Bandara hari itu, dan aku juga tidak dapat memintanya untuk kembali menyusulku kesini setelah aku diperlakukan seperti wanita keduanya. Aku menggelengkan kepalaku tanda tidak tahu, walau tahu bahwa Prana gak akan melihat. “Kamu yang begitu aja pergi tanpa denger penjelasan aku “
“ Penjelasan apa lagi, sudah jelas aku yang terlalu bodoh buat mau lagi jatuh ke pelukan kamu ketika kamu masih sama Naya, Naya itu sahabatku, Pran, apa jadinya kalau tahu kamu jadiin aku selingkuhannya dan aku merusak hubungan dia “ Ucapku mulai menangis, aku berusaha sangat keras untuk menahan tangisku, aku meyakinkan diriku bahwa aku benar benar kuat.
“ Tara, please, kamu itu udah dewasa, jangan kaya anak kecil, main pergi aja dari Berlin, terbang dari sini ke Belanda, kamu pernah pergi ke Berlin? Engga, gimana aku gak khawatir kamu begitu aja pergi di kota yang gak kamu hafal sedikitpun “ Nadanya lebih tinggi dari sebelumnya. Aku mencoba menahan tangisku agar Prana ataupun Keiko tidak mendengarnya, karena aku sudah cukup merepotkan Keiko setelah tangisanku sebelum menjawab telefon ini.
“ Lalu aku harus liatin kamu, mesra mesraan sama Naya, setelah apa yang kita lakuin malam sebelumnya? Yang kita rasain pada malam sebelumnya? “
“ Masa aku harus jelasin di depan Naya “
“ Emang apa yang harus kamu jelasin? Kenapa gak bisa ada Naya? Kenapa gak di depan Naya? Kamu mau aku jadi simpanan kamu, biar aku betray sahabat aku sendiri Pran? “ Ucapku mulai menuduhkan hal yang tidak tidak pada Prana, aku menyalahkan segalanya pada Prana, walau aku tahu aku tidak dapat menyalahkan Prana sepenuhnya dalam peristiwa Belin kemarin. Aku terus terusan melimpahkan kekesalan dan membuatPrana benar benar bersalah, sampai sedikit nada kekesalan mulai terdengar dari Prana.
“ Kebiasaan kamu tuh kalo ada kaya gini selalu deh gak mikirin orang lain “ Ucap Prana dengan nada yang lebih tinggi lagi, hampir hampir berteriak. Aku diam, Prana sudah benar benar marah kali ini. “ Kasih aku waktu untuk jelasin “
“ Jelasin apa lagi Prana? Udah cukup, udah aku gak mau ini semua jadi berantakan “ Ucapku bergetar, aku mulai menangis hingga Keiko dapat mendengarnya. Keiko pun dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu ia hanya berdiri disana, melihatku.
“ Kamu kebiasaan gak mau denger penjelasan orang “ Ucap Prana sedikit habis kesabaran.
“ Gak ada yang perlu dijelasin Prana yang harus kamu lakukan sekarang Cuma satu, buat Naya bahagia dan untuk bikin gue bisa maafin lo lagi tolong jangan deketin gue lagi karena gue gak mau hubunga gue sama Naya rusak “ Ucapku berbohong, padahal aku sungguh ingin sekali banyak bertanya tentang dirinya, apa yang sedang ia lakukan dan segalanya bahkan sampai hal kecil seperti apa ia sudah menggunting kuku nya namun fakta bahwa ia masih bersama Naya menahanku dan menarik keluar emosi yang tertimbun di dalam diriku, dan akhirnya menghasilkan kata kata ancaman agar Prana gak lagi menghubungiku.
“ Yaudah kalau itu mau kamu “ Ucap Prana. “ Satu yang harus kamu tau, Tara “ Ucapnya, namun aku terus diam sambil menangis. “ Kamu gak pernah pergi satu langkahpun dari diriku, bahkan Naya yang buat aku sadar bahwa aku udah terlalu bodoh untuk sia sia in kamu dan pergi sama orang lain. Dan Tara, kamu mesti tahu, dari hari pertama kamu di Berlin, aku udah memikirkan untuk memutuskan hubungan aku sama Naya, dan sekarang kami sudah berpisah “ Ucapnya. Lalu sambungan telefon terputus.
“ And it takes time for you to wait until I call Hardian first, and if it is, why you don’t chase me to go, susul aku pergi ke bandara? “ Ucapku walau aku tahu sudah gak ada lagi Prana di dalam sambungan telefon. “ And you ask me to understand that you are not with her anymore dengan kamu yang hanya diam ketika Naya datang “
Lagi lagi aku menangis, kini Keiko kembali masuk, dan duduk berlutut di depanku. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, dan Keiko masih duduk melihatku. Ia memegang kedua tanganku agar aku melepaskannya dari wajahku, dengan jempol besarnya ia mengusap air mata yang ada di wajahku. Aku merasa bodoh, aku merasa semua dengan Prana sudah terlalu berantakan, sehingga mungkin ini memang sudah waktunya untukku pergi meninggalkan puing puing tersebut, tanpa kembali lagi kesana. Aku pun memeluk Keiko. Aku marah, karena tidakan Prana. Aku kecewa, karena untuk hari ini mungkin aku memang benar benar harus menghilangkan Prana dari otakku. Namun aku sedikit memiliki perasaan lega, setidaknya aku tidak akan bertemu dengannya lagi.
***
10 Februari 2013, Delft, Belanda
Setelah bulan lalu, walau terpikirkan olehku bahwa setelah telefon itu aku tidak perlu lagi bertemu dengan Prana, tapi tanpa sadar aku terus menunggu, menunggu ia tiba tiba saja datang di depan rumah, atau tiba tiba ia memberiku kabar bahwa ia sedang ada di Amsterdam, dan berujung kekecewaan yang fana. Kekecewaan yang sebenarnya aku gak tahu apakah aku benar benar kecewa, atau tidak. Entah perasaan apa ini, namun aku cukup kalut, gak tahu apa yang diriku sendiri inginkan. Melepaskan Prana dari hidupku untuk kedua kalinya ternyata jauh lebih sulit dari yang kubayangkan.
Kini Prana lah yang tidak dapat ku hubungi, dengan sedikit harapan dan keinginan untuk mengulang nya dari awal, menarik seluruh ucapanku yang cukup keras dalam perbincangan terakhirku, aku mencoba menghubunginya, sekali. Namun nomornya yang ia pakai untuk menghubungiku tidak lagi aktif, begitu juga nomor lama nya. Aku mulai berfikir bahwa kini Prana memang sudah tidak ingin lagi berbicara padaku.
Sehingga setelah itu aku benar benar bertekad untuk meninggalkan semuanya, sebelum hubunganku antara Prana dan Naya menjadi lebih berantakan lagi. Aku belum memiliki keberanian untuk menghubungi Naya sehingga dari sejak pertemuan kami di Berlin, aku belum juga bertemu dengan Naya atau berbicara dengannya tentang apapun itu. Aku sedikit takut, kedatanganku di Berlin malah merusak persahabatanku dengan Naya sehingga aku memutuskan untuk diam.
Aku semakin sibuk dengan persiapan sidang akhir, thesis ku tentang “Ecological aspects of landscape with urban design approach” yang membuatku harus pergi kesana kemari, berpergian ke perpustakaan umum, perpustakaan kampus dan mengambil beberapa data statistik dan juga survey di Amsterdam selama beberapa akhir pekan. Bagus lah aku sibuk, kesibukanku membuatku melupakan Prana, dan perlahan lahan aku kembali ke kehidupanku yang dulu tanpa Prana, yang dulu tidak pernah menunggu nunggu lagi apa Prana akan datang atau tidak. Perlahan kehidupanku kembali normal, dan tanpa sadar Keiko lah yang menarikku menuju kehidupan tersebut. Sebuah kehidupan Belanda yang normal seperti awal kedatanganku.
Aku dan Keiko juga semakin dekat, terkadang aku merasa perhatian yang diberikan padaku dari Keiko lebih dari sekedar teman baik, sehingga aku kembali pada ketakutanku, takut jika tiba tiba saja Keiko menyatakan perasaan yang lebih dari sahabat padaku. Aku kerap kali bertanya tanya pada diriku sendiri apa kini malah aku yang mulai menumbuhkan perasaanku pada Keiko. Namun disamping itu, kami tetap begini begini aja. Sama seperti sejak pertama kali kami sampai di Delft, dan lagi, aku benar benar tidak dapat berhenti memikirkan Prana.
Kami juga sudah berniat untuk memesan tiket pulang untuk ke Indonesia untuk keberangkatan bulan Mei nanti, dan mulai mencicil mengurus barang barang kami yang akan dipulangkan ke Indonesia, mana yang akan dibawa menggunakan pesawat bersama kami mana yang akan di kirimkan melalui paket. Kami begitu yakin akan menyelesaikannya seluruh studi kami di sidang akhir yang akan dilangsungkan tanggal 20 Februari nanti. Sehingga kami mengurus kepulangan kami dari sekarang, kami sudah terlalu rindu dengan tanah Jawa.
“ Lo yakin kita gak akan merugi beli tiket sekarang? “ Tanyaku sambil melihat ke arah laptop Keiko yang sedang melihat website Etihad. Keiko hanya mengangguk pelan. Kami baru saja mendapatkan tiket yang lebih murah dari harga biasanya, penerbangan dengan transit di Dubai selama 2 jam dan berangkat pada tanggal 30 April nanti.
“ Gimana pun caranya, Awal Mei nanti kita harus ada di tanah jawa, gue udah rindu sama motor gue dan mobil gue yang udah lama banget gak gue manjakan “ Ucap Keiko yang benar benar dapat menghabiskan setengah hari hanya untuk mengotak atik skuternya di satu hari dalam seminggu selama ia ada di Belanda. Dan tentu saja dia sangat merindukan tanah jawa, ia sudah meninggalkan Indonesia dalam satu tahun sejak kepulangan terakhirnya Desember lalu.
Dan hari ini aku berjalan di samping Keiko, musim dingin sudah akan berakhir sehingga suhu tidak lagi sedingin bulan kemarin. Dan kini kami baru saja selesai berkeliling mencari hotel, katanya Ibu dan adik tiri nya akan terbang dari Sulawesi ke Belanda untuk menghadiri acara wisuda kami penghujung bulan maret nanti, kalau kami lulus sidang akhir tentunya. Wisuda kami dilangsungkan bersamaan dengan wisuda sarjana S1 sehingga kami mengantisipasi untuk mencari hotel lebih dulu sebelum semua hotel di Delft penuh. Karena gak mungkin membawa Ibu nya ke dalam rumah tinggal kami.
Aku berdiri di atas beton titian yang membatasi jalan dan sungai dengan santai, padahal aku masih harus merevisi sedikit lagi bab akhir untuk di serahkan esok hari. Sementara Keiko sudah menyelesaikannya sejak malam tadi sehingga malam ini ia berjanji untuk membantuku. Aku merentangkan kedua tanganku, menyeimbangkan diri, sementara Keiko berjalan di atas trotoar, sesekali menolongku ketika aku sedikit kehilangan keseimbangan.
“ Jadi mau di yang terakhir aja? “ Tanyaku pada Keiko tentang hotel terakhir yang kami datangi, sebuah hotel kecil yang ada di dekat kampus. Keiko mengangguk pelan.
“ Itu paling nyaman sih kalau menurut gue “ Ia berjalan mengikutiku, sambil sesekali memegang tanganku agar aku tidak jatuh. Sambil kembali memikirkan suasana hotel tersebut, yang sedikit gelap namun benar benar nyaman.
Aku melompat dari atas menuju trotoar, namun ketika aku akan mendarat aku sedikit kehilangan keseimbangan sehingga Keiko langsung memegang tanganku agar aku tidak jatuh. “ Makanya jangan kaya anak kecil “ Keiko tertawa jahil, ia membiarkan aku menjitaknya, dan seperti biasanya ia hanya tertawa.
Kami melanjutkan perjalanan kami, menyusuri jalanan di musim dingin yang sudah mulai menghangat. Dengan Keiko disampingku, yang dimana ketika bersamanya aku selalu merasa muda. Lupa umur, padahal aku sudah 25. Dan aku tidak akan bosan mengatakan, bahwa Keiko punya seribu cara untuk membuatku bahagia, dan sedikitnya menghapus Prana dari hidupku. Mungkin itu alasan Tuhan mengirimkanku Keiko.
***
22 Februari 2013, Delft, Belanda
“ Iya, Alhamdulillah Pa, udah, pengumumannya udah keluar....Iya, sekarang Tara Alexandra S.T, M.Arch....gak apa apa Pa, kan ada Keiko disini, tante Erica sama keluarga juga bilang mereka akan ke Delft di hari wisuda nanti....iya....makasih ya Pa.... “ Ucapku melalui sambungan telefon. Baru saja bernafas lega setelah aku dinyatakan lulus dari sekolah magister arsitektur ini.
Keiko mengintip dari balik dinding, aku melambaikan tanganku, memberi isyarat untuk menunggunya sebentar. Keiko mengangguk pelan dan kembali meninggalkanku sendiri, bercakapcakap melalui telefon interlokal dengan Papa yang memberiku selamat karena hari ini aku sudah resmi bergelar M.Arch.
Sidang akhir berjalan dengan sangat lancar, aku lulus dengan nilai A, begitu juga Keiko, ia lulus dengan nilai A ditambah pujian pujian dari para dosen penguji nya, usahanya dan totalitasnya pada thesis sampai masuk rumah sakit memang gak sia sia. Nampaknya kami juga harus berterimakasih pada Soo Young, pemuda korea yang vegetarian tersebut berkali kali mengingatkan kami untuk mengkonsumsi sayur agar stamina kami tetap terjaga walau kami sering didapati pulang dari perpustakaan pukul 12 malam dan baru tertidur pada pukul 3 subuh. Kantung mata yang belum hilang dibawah kelopak mata kami merupakan tanda bahwa kami benar benar mengerahkan seluruh jam tidur kami untuk thesis ini.
“ Masih lama Pa...aku mau perpisahan dulu sama orang orang Delft setelah wisuda, ngosongin flat juga...setelah itu bareng Keiko kayanya bakal tinggal di Amsterdam sama Tante Erica....gak repot, malah Tante Erica yang suruh aku tinggal disana beberapa hari sebelum berangkat“ Ucapku menjelaskan pada Papa. Bahwa sebelum pulang aku akan tinggal untuk beberapa waktu di Amsterdam sebelum berangkat ke Jakarta dari Schipol International Airport karena permintaan Tante Erica dan aku dapat mengajak Keiko untuk ikut serta. Papa nampak sangat senang mendengar aku akan pulang pada bulan Mei, sehingga Papa akan menjemputku di bandara sesampainya aku di Jakarta nanti.
Setelah sambungan terputus aku langsung memasukkan handphoneku kedalam tas, tiba tiba saja Keiko datang, dengan setangkai bunga di tangannya. Keiko memberikan bunga tulip tersebut padaku, ia benar benar tahu bahwa aku tidak begitu menyukai bunga mawar.
“ Congratulation “ Ucapnya, aku memeluk Keiko setelah menerima bunga nya.
“ You too, congrats “ Aku melepaskan pelukan Keiko. Beberapa teman kami dan beberapa teman rumah datang ke kampus, merayakan resmi nya kami sebagai M.Arch. Beberapa orang membawa bunga tanda selamat, nampaknya Keiko sudah memberitahukan orang orang bahwa aku menyukai bunga Tulip sehingga banyak yang memberiku bunga tulip. Aku maju satu langkah lagi dari hidupku, kini aku sudah memiliki gelar master, dan mulai detik ini juga aku harus memikirkan apa yang harus aku lakukan setelah pulang ke Bandung.
Namun diantara kebahagiaan itu aku teringat akan Prana, bagaimana dia sekarang? Sudah lulus juga kah? Aku melihat ke arah handphone ku, aku benar benar ingin tahu kabarnya, namun aku tahu bahwa aku tidak bisa, dan mungkin ini memang saatnya aku melangkahkan kaki ku menuju jalan lain, meinggalkan Prana. Aku melihat ke arah jendela besar di depanku. Salju sudah mencair, suasana masih lembab, namun beberapa pepohonan sudah menunbuhkan kembali daunnya, menyambut musim semi, sebagai tanda penghujung musim dingin.
Selamat tinggal musim dingin, dan selamat datang musim semi.
***
Di bawah lampu jalan yang terang, sambil menikmati masing masing satu cup gelato yang baru saja kami beli, kami berjalan berdampingan menyusuri malam hari yang ramai di pusat kota Delft. Entah mengapa malam itu kami Cuma ingin jalan jalan, menikmati keramaian kota di malam hari, membeli makanan di food truck dan mengabadikan beberapa momen hari hari terakhir kami sebelum kami akan benar benar meninggalkan Delft dan kenangan di dalamnya.
Keiko terus terusan bergumam bahwa ia menyesal tidak menggunakan waktunya untuk mencari jodoh orang Belanda yang ucapnya dapat memperbaiki keturunannya. Aku hanya meresponnya dengan tawa.
“ Gue kurang apa coba? “ Ucap Keiko dengan tampangnya yang menggoda sambil sesekali menjilat gelato nya dari sendok plastik yang diberikan oleh penjual.
“ Kurang pacar-able aja mungkin buat mereka “ Ucapku setelah mencicipi gelato mint milik Keiko, namun rasanya tetap kalah dibandingkan gelato cokelat ku.
Sesungguhnya gak ada yang harus diperbaiki dari Keiko, apalagi dalam bentuk fisik. Ia sangat tinggi, dan badannya tegap gagah dengan otot yang tidak terlalu besar, wajahnya yang berasal dari darah Jepang dan Indonesia membuatnya terlihat tampan, jika belum mengenalnya. Apalagi pribadinya yang ceria, kocak namun dewasa. Sehingga membuat beberapa mahasiswi Indonesia sedikit terpukau ketika melihat Keiko di acara 17 Agustus di KBRI Den Haag. “ Dan gak punya waktu untuk deketin mereka, soalnya tiap malem aja lo bareng gue, di Bier Huis, ngerjain tugas “ Ucapku melihat ke arah Keiko dengan tampang jahilku. Ya, tidak peduli orang berkata apa, namun bagiku Keiko tetaplah Keiko.
“ Siapa bilang gue gak pacar-able? “ Tanya Keiko berhenti, lalu melihat ke arahku. Tidak terima bahwa dirinya dibilang gak cocok untuk dipacari. Aku mengangkat kedua bahu ku sambil kembali menikmati gelato cokelatku yang hampir habis. “ Oke buat malam ini doang, gue kasih free trials “ Keiko menyusulku yang sudah berjalan lebih dulu sambil menikmati gelato cokelatku.
“ Free trials apaan? “ Tanyaku sambil masih berjalan di sampingnya.
“ Cobain jadi pacar gue “ Ucap Keiko setelah melahap habis gelato mint nya dan membuangnya bungkusnya kedalam tong sampah yang ada di sisi jalan. Aku tertawa, mendengar apa yang ia katakan, sampai saat ini pun aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi kekasih Keiko. “ Soalnya gue gak terima dibilang gak pacar-able “ Namun aku menggelengkan kepalaku sambil pergi meninggalkan Keiko lebih dulu.
Namun Keiko dengan cepat berdiri di depanku sehingga menghentikan langkahku, lalu mengulurkan tangannya. Aku heran sambil melihat ke arahnya. “ Gue gak kasih free trials ke sembarang orang loh, kalau lo gak seneng garansi nya gue bayar lo cashback 5 Euro. Kalo lo seneng, gue bisa kasih bonus tambahan waktu, setengah hari? “ Ucapnya sedikit tertawa. Gila, 5 euro uang yang cukup banyak bagi kami, mahasiswa yang sering sekali kehabisan uang.
“ Ini kok lo macem cewek cewek di Red Light Disctrict aja pake cost segala? “
“ Emang lo udah kesana? “
“ Belom... “ Ucapku sambil memikirkan apa yang akan aku lakukan jika aku mengunjungi tempat tersebut. Walau aku sudah beberapa kali pergi ke Amsterdam untuk menghabiskan akhir minggu di rumah Tante Erica.
Keiko kembali melihat ke arahku. “ Gue kasih bonus perjalanan ke sana untuk lihat lihat aquarium isi cewek cewek itu di paket free trialsnya “
Keiko masih melihatku, ia memasang wajah pura pura serius, dan beberapa kali meniru gaya perempuan yang ada di dalam aquarium Red Light District di Amsterdam. Aku pun akhirnya membuang sisa gelato ku dan meletakkan tanganku pada tangannya tanda setuju, tanpa menghentikan tawa ku. “ Deal “
“ Oke, mulai detik ini, lo jadi pacar gue biar lo tau kalau gue ini pacar-able.... “ Ucap Keiko menarik tanganku agar aku mengikutinya, kami berlari di sisi jalan Delft.
Sambil terus tertawa karena Keiko terus menarikku untuk berlari. Sesekali Keiko mencoba untuk mendorongku, namun aku terus berlari, dan Keiko masih terus menggenggam tanganku, katanya ini free trials. Jadi aku sebagai costumer percaya saja apa yang diberikan oleh seller. Kami berlari menuju stasiun terdekat, Keiko membeli tiket tercepat ke Amsterdam sehingga hanya menunggu 15 menit kami langsung masuk kedalam kereta untuk berangkat ke Amsterdam pada pukul 7 malam itu.
Dalam waktu perjalanan 45 menit kami sampai di Amsterdam Centraal, menurut peta kami harus berjalan menuju arah barat stasiun untuk sampai ke Red Light Disctrict, masih sambil menggenggam tanganku kami berjalan kesana, hanya 10 menit berjalan dan kami sampai disana. Langit sudah cukup gelap pada hari itu sehingga lampu lampu merah dari etalase etalase pusat prostitusi itu menghiasi malam dan memberi suasana yang sangat panas.
Jalanan Red Light District dibagi dua oleh sebuah sungai, sehingga aku dan Keiko memilih untuk berjalan lebih dekat dengan sungai, dan Keiko setuju kalau aku yang berdiri di sisi yang lebih dekat dengan etalase etalase yang menjajakan para wanita tersebut. Aku dan Keiko terus tertawa sepanjang jalan sambil melihat lihat wanita wanita yang sedang menjajakan dirinya di dalam aquarium aquarium tersebut dengan pakaian seksinya. Aku berulang kali harus menutup mata Keiko dengan paksa ketika kudapati ada seorang perempuan yang hampir telanjang.
Aku dan Keiko membeli beberapa souvenir, salah satunya hiasan magnet kulkas bergambar 5 orang wanita dengan tulisan Red Light District di bawahnya. Dan mungkin kami akan menyembunyikan souvenir tersebut ketika kami sampai di Indonesia nanti. Takut takut langsung dicekal karena kami baru saja jalan jalan di tempat dimana prostitusi di legalkan untuk para hidung belang berumur lebih dari 21 tahun.
“ Oke, for the first time in my life gue datang ke tempat kaya begini “ Ucapku tidak dapat menahan tawa mengingat wajah Keiko melihat etalase demi etalase sementara aku hanya tertawa geli melihat wanita wanita tersebut. Ya, bagaimanapun Keiko adalah seorang lelaki, yang pasti sangat sulit melepaskan pandangannya dari para wanita berpakaian minim. Kami kini sudah tidak lagi ada di area Red Light District. Keiko berjalan disampingku, masih menggenggam tanganku sebagai paket free trials nya.
“ Lo masih harus bayar nih 5 Euro “ Ucapku jahil.
Keiko tidak menjawab ucapanku. Ia nampak memikirkan apa yang akan membuatku puas dan membuktikan dirinya bahwa ia bisa dijadikan seorang kekasih. Ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum sambil memperlihatkan gigi nya yang rapi. “ Pantai? “
“ What? “
Tanpa berkata kata Keiko menarik tanganku sekali lagi. Kami membeli tiket paling cepat menuju wilayah dengan batas pantai negara Belanda. Kami hanya perlu menunggu 10 menit untuk langsung naik kereta menuju Haarlem, di sebelah Barat Amsterdam.
Setelah 20 menit perjalanan kami sampai di pusat daerah Haarlem. Kami berhenti di Zandvoort an Zee, stasiun paling dekat dengan pantai Haarlem. Setelah beberapa menit berjalan aku dapat melihat pantai. Cuma orang iseng seperti kami yang datang ke pantai di penghujung musim dingin dan terlebih lagi di malam hari yang sudah cukup gelap. Di sisi pantai Haarlem banyak sekali rumah makan yang masih buka. Kami memilih untuk masuk ke dalam bar yang masih ramai. Karena sama sama tidak mengkonsumsi alkohol kami hanya memesan mocktail dan duduk di bagian luar yang tidak begitu ramai.
Malam itu Keiko menjalani perannya sebagai pacar, ia duduk disampingku sambil sesekali merangkulku. Walau bagaimana cara ia bicara sama sekali gak seperti seorang pacar. Katanya kalau ingin full pack aku harus bener benar berpacaran dengannya, namun aku gak mau, lagipula aku tahu bahwa ia Cuma bercanda. Begitu juga Keiko katanya gak akan memberikan full pack secara Cuma Cuma padaku. Aku harus membayar 10 Euro untuk mendapatkan full pack.
“ Buat lo sih pacaran sama gue juga mesti bayar, 10 euro “
“ Males banget!! “ teriakku tepat di telinganya. Berakhir ia yang kini mencoba menjitakku.
Kami menghabiskan minuman kami sambil berbincang, menikmati suasana pantai di malam hari. Sampai akhirnya tidak terasa jarum pendek sudah menunjukkan pukul 12 malam. Aku dan Keiko memutuskan untuk berjalan jalan di bibir pantai. Kami gak membuka sepatu kami, suhunya terlalu dingin dan bisa jadi merusak kaki kami. Sehingga kami hanya berdiri sambil sedikit berjalan jalan, mendengarkan suara ombak malam hari dalam diam. Ini bukan perjalanan pantai pertamaku di Belanda, namun yang ini adalah yang terbaik. Sehingga rasanya aku tidak mau meninggalkan Belanda.
Setelah beberapa kali menguap akhirnya Keiko mengajakku untuk pulang, kami berjalan ke arah stasiun, namun untuk kali ini kami harus menunggu 2 jam untuk keberangkatan kereta ke Delft yang selanjutnya pada pukul setengah tiga pagi, sehingga aku dan Keiko duduk di salah satu kursi tunggu di stasiun. Aku sudah sangat mengantuk, sehingga aku menyandarkan kepalaku pada kursi. Keiko mendekatkan bahu nya ke arah kepalaku.
“ Ini masuk paket free trials kok “ Ucapnya. Aku pun menyandarkan kepalaku pada bahu nya, sudah terlalu lelah tertawa.
Malam itu Keiko gak banyak berkata kata, ia hanya merangkulku selagi aku mencuri curi waktu untuk memejamkan mataku selagi kami menunggu kereta kami datang. Sudah lama sekali, sejak terakhir kali aku menyandarkan kepalaku pada seseorang untuk tidur. Dan gak pernah kusangka aku menyandarkannya pada bahu Keiko, yang katanya Cuma memberiku free trials untuk membuktikan kalau dirinya cukup baik untuk menjadi pacar seseorang.
Namun aku kembali teringat akan Prana, aku teringat perjalanan ku tahun lalu pergi ke Indonesia bersamanya, ketika aku secara tidak sengaja tertidur bersandar pada bahunya. Setitik bagian dalam hatiku berharap hal tersebut akan kembali terjadi, namun suasana stasiun Haarlem di malam hari menyadarkanku, bahwa hal tersebut tidak akan pernah terjadi lagi. Prana sudah tidak mau lagi berbicara denganku, bahkan hanya untuk satu kata.
Tidak sadar aku tertidur, Keiko membangunkanku ketika kereta kami sampai, kami pun duduk di salah satu kursi kereta, perjalanan kali ini cukup makan waktu lama, sehingga aku melanjutkan tidurku. Kali ini Keiko pun tertidur, aku menyandarkan kepalaku di bahu nya, ia merangkulku erat, dan Keiko menyandarkan kepalanya di atas kepalaku. Dan nampaknya malam itu aku memutuskan, Keiko gak usah membayar 5 Euro padaku. Bisa jadi, perasaanku pada Keiko tumbuh lebih banyak lagi sejak malam ini, namun belum cukup untuk meyakinkanku untuk melabuhkan hatiku pada Keiko. Nyatanya perasaan rindu ku pada Prana masih jauh lebih besar.
Continue to Part 14
Sorry for the long wait, here, they're back! :)
No comments:
Post a Comment