20 September 2014

De tweede vergadering (part 1)



20 Agustus 2012, Delft, Belanda. 

Pohon pohon mulai menggugurkan daunnya seiring semakin dinginnya cuaca awal musim gugur tahun ini, di satu kota kecil di bagian tenggara Rotterdam, Belanda, Delft. Aku dan Aidan, anak laki laki berumur 5 tahun asuhanku ini berjalan menyusuri trotoar jalan Jacoba van Beierent yang kini dihiasi oleh daun daun yang siap menggugurkan daunnya. Kami berjalan kaki sambil menikmati angin awal musim gugur hanya ditemani suara beberapa sepeda yang berlalu lalang sambil menyalakan bel nya yang nyaring. Ya, suasana yang setiap hari kunikmati dua tahun terakhir.  
" What do you want to eat for today's lunch? " Aku bertanya pada Aidan sambil mengambil sehelai daun yang jatuh di atas rambut cokelat terangnya. Anak laki laki yang tingginya hanya setara dengan pinggangku –cukup tinggi untuk ukuran anak TK di Indonesia, dengan erat memegang tangan kananku sementara bahu kiri ku menopang tote bag raksasa berisi buku buku kuliah Arsitektur yang sebenarnya sangat ingin kuletakkan sejak aku keluar dari kelas siang ini pada summer semester yang terpaksa kujalani karena beberapa mata kuliah yang harus ku kejar demi kembali ke Indonesia di tahun depan.
" Pizza " Aidan melihat ke arahku sambil tersenyum dan memperlihatkan gigi kecil nya, sedikit tertawa dengan tatapan memohon untuk dapat melahap makanan super enak bernama pizza untuk makan siangnya. Siapa yang tidak suka pizza.
" You just ate pizza last night! " Aku menyeringai, mengingat bahwa Aidan baru saja melahap dua potong besar Super Supreme dari Pizza Hut yang kami pesan melalui delivery service semalam ketika menunggu kedua orang tua Aidan pulang dari perjalanan ke luar kota, Aidan hanya membalasnya dengan tawa kecilnya sambil menggendong tas kecil bergambar karakter film animasi Blue’s Clues yang berwarna biru tua dengan langkahnya yang santai.
Aku memberikan Aidan waktu untuk berfikir dan memutuskan makanan apa yang akan memenuhi perut kecilnya siang ini. Sementara aku kembali menikmati angin awal musim gugur, musim favoritku sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Eropa, walau sedikit dingin bagiku yang sudah bertahun tahun tinggal di negara beriklim tropis sebelum datang ke negeri kincir angin ini.  
Namaku Tara, Tara Alexandra Widjaya, putri pertama dari pasangan seorang insinyur di bidang sipil dan arsitektur, dengan seorang psikolog penulis buku buku psikologi yang sempat tenar pada zaman nya. Aku sendiri, sarjana Arsitektur dari salah satu kampus swasta di kota Bandung, tentu saja di negara asalku, Indonesia. Dan kini pergi beribu ribu kilometer jauhnya dari Bandung untuk menuntut ilmu tingkat lanjut dan mendalami Arsitektur Lansekap di salah satu Institut Teknik terbaik di Belanda, TU Delft. Meninggalkan kedua orang tuaku dengan dua adikku yang keduanya masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Sanak keluarga yang tinggal di Amsterdam –hanya beberapa kilometer di sebelah timur Delft, 1 jam perjalanan menggunakan kereta- membuatku hidup sendirian di sebuah kamar di salah satu rumah yang bertingkat 3 di pinggir jalan Westvest, karena menumpang di Amsterdam nampak tidak memungkinkan apalagi jika aku ada kuliah pagi. Bergantung pada uang saku beasiswa, dan selama beberapa bulan terakhir aku juga bergantung pada gaji pekerjaan part time ku, mengasuh Aidan, seorang british yang baru saja pindah ke Belanda karena tuntutan pekerjaan ayahnya.
Hampir setiap hari aku menjemputnya di TK setiap pukul 1 siang kecuali hari Selasa dan Kamis, karena jadwal kuliah siang ku, hal tersebut membuatku dengan terpaksa, mengerjakan tugas sambil menjaga Aidan di rumahnya, belajar untuk ujian ketika ia tidur siang, membuatkannya makan siang, dan mengajari sedikit basic bahasa Belanda, walau ia sudah banyak mempelajarinya dari neneknya yang sudah tinggal lama di Delft. Semua ini aku lakukan demi tujuanku, berlibur ke beberapa negara di dekat Belanda, dan juga pergi ke Santorini. Pulau di bagian tenggara perairan Yunani yang sangat indah dan mungkin merogoh dompetku lebih dalam dari perjalanan lainnya.
" I want sandwich "  Aidan memecah keheningan suasana siang hari Jacoba van Beirent yang di penuhi oleh pepohonan besar yang melindungi kami dari sinar matahari sisa sisa musim panas ini.  Aku melihat ke arah tubuh kecilnya yang nampak begitu ringan baginya untuk dibawa berjalan menyusuri trotoar dan tersenyum, mengangguk setuju." Okay... But first, you should answer my questions...like usual, and we’re going to go to SPAR, buying some groceries for your lunch" 
Aidan menghelakan nafas dari hidung kecilnya, nampaknya sedikit kesal karena harus menjawab pertanyaan pertanyaanku tentang bahasa Belanda di saat seperti ini. Namun Aidan hanya mengangguk lemas. " Let's start with greetings, okay? " Tanyaku tersenyum kecil pada Aidan, ia hanya mengangguk sambil terus berjalan di bawah bayangan pepohonan yang masih rimbun, ditiup oleh angin segar negeri kincir angin ini. " Good night? " Aku melontarkan pertanyaan pertamaku.  
Aidan diam, sambil mencibirkan bibir kecilnnya, ia melihat ke arahku, memandangku dengan pandangan memohon, meminta pertolongan karena ia tidak tahu jawabannya. Aku tertawa gemas melihat ia mencibirkan bibirnya. Namun akhirnya ia menemukan jawabannya. " Goede Natch "     
" Correct, how about good morning? " Ucapku sambil melihat ke arah SPAR yang sudah beberapa langkah lagi, supermarket skala kecil yang ada di dekat Welhoeckstraat, jalan kecil nan sunyi yang berada hanya beberapa menit dari sekolah Aidan, tempat dimana rumah kecil bergaya minimalis tempat Aidan tinggal berada. Aku kembali melihat ke arah anak itu, ia nampak masih berfikir keras untuk mencari jawabannya. Lagi lagi aku tersenyum gemas melihatnya kebingungan dan membiarkan Aidan mencari jawabannya. Memang kadang sedikit lucu, wajah anak caucasian nya terlihat sangat imut ketika ia sedang dipaksa untuk berfikir. Masih sambil menggandeng jari jari kecilnya aku melihat lihat ke sekeliling, melihat ke arah pemandangan negeri ini yang tidak pernah bosan ku nikmati walau sudah menghabiskan 1 tahun tinggal di sini. Membiarkan semilir angin merasuk melewati rambut hitamku yang panjangnya kini sedikit lebih panjang dari bahu.
" Guten Morgen " 
Aku terkejut akan suara yang kudengar dan langsung melihat ke arah Aidan. Kata tersebut memang merupakan salah satu bahasa Jerman yang cukup banyak dikenal orang, namun aku terkejut mengetahui bahwa Aidan mengetahuinya dan terlebih lagi, suaranya agak berat seperti suara seorang pria. " Aidan, it’s Deustch not Dutch " 
" I haven't answer it " Ucap Aidan kebingungan dengan suaranya yang ringan dan bernada nyaring. Aku kerap mencari cari dari mana suara tersebut berasal, tidak mungkin hanya dalam hitungan detik suara Aidan berubah menjadi sangat berat. Aku mencoba melihat ke arah jalan, mencari siapapun yang melewati jalan ini, namun jalan siang itu sedang kosong, bahkan jika pun ada hanyalah seorang lelaki tua yang berjalan di trotoar seberang sana, suaranya tidak akan terdengar sampai sini. Aku sedikit takut untuk melihat ke arah sumber suara, namun aku memberanikan diri untuk melihat ke belakang.
" Aku yang jawab " Ucap seorang lelaki di belakangku, aku perlahan lahan melihat ke belakang, sedikit kaget dan berusaha untuk memberanikan diri, melihat orang yang sedari tadi mendengar percakapan kami. Namun aku hanya diam mematung melihat siapa yang ada di depanku saat ini.Hatiku sedikit berdebar, angin terasa lebih dingin dari biasanya seakan musim dingin datang 3 bulan lebih cepat. Aku terdiam mematung sampai ia kembali membuka mulutnya.
" Halo " Ucapnya santai sambil tersenyum ke arahku, dengan suara serak khas yang sangat familiar di telingaku. Tubuhnya lebih berisi dari sejak terakhir kali aku bertemu dengannya, tidak lagi sangat kurus seperti dulu sehingga aku dapat melihat dengan jelas urat urat nya yang menandakan bahwa ia seorang pekerja keras. Garis garis rahangnya masih terlihat jelas, mempertegas wajahnya sehingga benar benar memberikan kesan maskulin, wajahnya yang diselimuti kulit yang agak gelap dihiasi kumis tipis diatas bibirnya dan rambut pendeknya  yang panjangnya selalu ia pertahankan sejak dulu ia memutuskan untuk memangkas rambut gondrongnya. Dan tentu saja, dia masih jauh lebih tinggi dibandingkan tubuh kecilku yang berhenti tumbuh sejak aku lulus menjadi sarjana arsitektur beberapa tahun yang lalu. Ia tersenyum, tanpa memperlihatkan gigi nya, senyum khas yang selalu ia berikan pada semua orang, termasuk diriku.   
Aku masih terdiam mematung, melihat sesosok laki laki yang dulu menghiasi pandanganku selama 4,5 tahun kuliah arsitektur di Bandung.  Bahkan terlalu terkejut melihat dia yang seharusnya ada di Berlin untuk melanjutkan studi S2 nya, kini ada di Belanda, terlebih lagi di Delft, sebuah kota kecil yang kupikir tidak akan banyak orang tahu. Aku terlalu fokus melihat ke arahnya sehingga aku tidak sadar Aidan sudah berdiri di belakang kaki ku, bersembunyi karena ketakutan bertemu orang baru yang baru pertama kali ia lihat
" Tara, who's that? " Aidan sedikit mengintip dari balik kaki ku sambil menarik ujung kemeja flanel bermotif kotak yang kugunakan hari ini.
Aku berlutut di depan Aidan sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena dihembus angin. " Aidan, he is my friend, Prana, say hello to him " Aku menunjuk ke arah Prana menggunakan dagu ku, sembari mengajari Aidan bagaimana bersikap ketika bertemu dengan orang baru.
" What is hello in Indonesia? " Tanya Aidan sambil melirik ke arah Prana sambil sesekali dan menggaruk kepalanya. Aku tertawa gemas mendengar pertanyaan nya, ia benar benar ingin mencoba berbicara dalam bahasaku untuk berkenalan dengan Prana.
" He's speak english just like you, go " Ucapku sambil berdiri dan melangkahkan kakiku mendekat pada Prana yang sedang memasukkan kedua tangannya kedalam dua saku celana nya sambil mengajak Aidan untuk mendekat. Anak itu hanya diam mendekat padaku, masih mencoba menyembunyikan dirinya dibalik kaki ku. Melihat Aidan yang nampak malu malu, Prana berlutut di depan Aidan. Mengulurkan tangan besarnya, Aidan dengan malu malu menjabat tangan Prana, tangan kecilnya nampak sangat kecil dibandingkan dengan tangan Prana.
" I'm Prana, what's your name? " Tanya Prana. Aidan tidak menjawab dan melihat ke arahku. Aidan masih nampak malu malu, aku mencoba memberitahu Prana bahwa Aidan sedikit malu, sehingga Prana pun berdiri dan menjabat tanganku. " Apa kabar?
" Fine " Aku menganggukan kepalaku, sambil melepaskan jabatan tangan kami.
" Keponakanmu? " Tanya Prana, ia masih ingat bahwa aku memiliki seorang keponakan berdarah Belanda yang kini tinggal di Amsterdam.
Aku menggelengkan kepalaku, " My uncle friend's son. Baru pindah dari England and they ask me to babysit him and teach him basic Dutch " Jelasku tersenyum sambil menggandeng tangan Aidan yang masih mencoba bersembunyi di belakangku. Prana melihat ke arah Aidan, nampaknya Prana sangat ingin berbincang dengan Aidan, namun melihat Aidan yang malu malu, ia kembali berlutut sambil mengeluarkan sebungkus permen Katjes dengan plastik berwarna biru dari saku dalam jaket parka nya dan memberikannya pada Aidan.
" Its a gummy candies, you like candies, right? " Ucap Prana tersenyum, Aidan melihat ke arahku, aku mengangguk mengiyakan agar ia mengambil permen yang diberikan Prana dari Jerman, sedikit hadiah untuk Aidan, walau aku tahu kedua orang tuanya akan melarangnya jika mereka tahu. Ia pun mengambilnya, masih sedikit malu malu.
" Thank you " Aidan tersenyum malu, dan kini ia sudah tidak lagi bersembunyi di belakang kaki ku walau ia masih memegang tanganku erat. Anak itu betul betul luluh hanya karena sebungkus permen.  
“ Don’t tell your mother “ Prana mengelus lembut rambut Aidan, lalu melihat ke arahku, seakan mengerti kekhawatiranku ketika Aidan menerima permen darinya, Aidan sedikit tertawa sambil menganggukan kepalanya pelan, Aidan nampak sangat senang sehingga kini ia tidak lagi bersembunyi dibalik kaki ku.
Seakan tahu pertanyaan di dalam otakku mengapa Prana bisa ada disini, ia langsung memberitahunya sebelum aku bertanya. " Aku lagi liburan aja bareng Hardian " Ucap Prana, membuatku teringat akan Hardian, teman kuliahku yang dulu berjualan pulsa telefon selular dan sering ku hutangi karena pada masa kuliah dulu kami belum mengenal social media semacam Black Berry Messenger dan Twitter seperti sekarang ini sehingga dulu kami harus menghabiskan pulsa hanya untuk bertanya tentang tugas melalui SMS, bahkan untuk pacaran. " Lalu salah satu temenku mau kunjungi keluarganya di Delft, dan Hardian bilang kamu ada di Delft juga dan Hardian bilang katanya kamu update status di twitter kalau kamu sedang dalam perjalanan menuju Kindercentrum "
" Kindercentrum, iya itu TK nya Aidan " Ucapku teringat bahwa tadi dalam perjalanan menjemput Aidan aku baru meng update status di account twitter ku, mengutarakan kekesalan ku pada jam responsi dosen ku yang membuat aku tidak dapat menikmati makan siang sebelum menjemput Aidan di Kindercentrum yang jaraknya lumayan jauh dari TU Delft, tempatku menuntut ilmu Arsitektur Lansekap. Mengakibatkan perutku sudah beberapa kali berbunyi dalam perjalanan menjemput Aidan.
" Ya..itu...dan aku mutusin buat kesini, ya kebetulan lagi di Delft, aku baru mau jalan ke Kindercentrum dan liat kamu di jalan. " Ucapnya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya seiring dengan semilir dingin angin akhir musim panas yang berhembus.
Aku hanya mengangguk mengerti. " Lalu Hardian mana? " Tanyaku heran.
" Hardian sama temenku yang di rumah keluarganya yang di Delft itu, ngerti lah, biasa. Hardian "  Ucap Prana. Aku mengangguk mengerti, aku tahu, Hardian memang sengaja memberi Prana waktu untuk bertemu denganku berdua saja. Sebuah usaha yang selalu ia lakukan sejak aku dan Prana berpisah beberapa tahun yang lalu, dan ternyata sampai sekarang ia tidak menyerah walau sudah berkali kali gagal. " Mau Hardian ku panggil ke sini? "
" Gak usah, bulan kemarin aku sama beberapa temenku ke Dortmund, dan ketemu juga sama dia kok, kebetulan waktu itu dia lagi di Hanover jadi aku minta temenin dia juga untuk keliling keliling, sementara beberapa temanku waktu itu punya urusan masing masing juga di beberapa daerah di Jerman, dan aku memutuskan buat keliling Dortmund aja, kamu juga tau bahasa Jerman ku basic banget karena udah lama gak di latih, dan Dortmund itu paling dekat dengan Belanda " Ucapku, ingin berbagi keluh kesah akan sulitnya mengatur uang ketika sedang mengenyam studi di negeri orang, melalui kalimat bahwa Dortmund yang paling dekat dengan Belanda, yang juga berarti tiket nya paling murah dibandingkan pergi ke negara lainnya.
" Aku malah gak tahu kamu pernah belajar bahasa Jerman, remember? " Ucapnya sambil menaikkan satu alisnya. Aku kembali mematung, tiba tiba saja teringat bahwa memang aku tidak pernah memberitahunya kalau aku pernah mengikuti kursus bahasa Jerman di tempat yang sama dengannya selama satu tahun di tahun terakhir ku kuliah, sebagai ancang ancang jika saja aku harus pergi ke Jerman, bukan Belanda seperti impianku. Aku tersenyum kaku pada ucapannya, dan jujur saja sudah sangat lama sejak terakhir kali aku berbicara dengannya sehingga dalam beberapa pertanyaan atau kalimat yang ia katakan aku tidak tahu harus menjawabnya apa.
Lalu aku kembali melihat ke Aidan yang nampaknya sudah tak sabar untuk pulang ke rumah. Ia sudah menghabiskan permen Katjesnya sendirian selama kami sibuk berbincang, dan aku terus mengingatkan diriku agar Aidan menggosok gigi nya setiba ia dirumah agar orang tua nya tidak tahu bahwa ia sudah melahap sebungkus permen Katjes dalam hitungan menit. Kalau orang tuanya tahu aku bisa mati. Aidan menarik narik kemejaku dan berbisik agar kami cepat pergi ke SPAR, ia sudah sangat lapar, begitu juga aku.  
" Gimana kalau ngobrolnya nanti aja, kita mau ke SPAR dulu sekarang, disana " Ucapku sambil menunjuk ke arah bagunan kecil berbentuk kubus di ujung jalan Krakeelpolderweg. Hanya tinggal beberapa langkah lagi namun Prana membuatnya menjadi sangat lama dengan kedatangannya yang tiba tiba. " Lalu ke rumah Aidan karena dia mesti lunch dulu, dan karena kamu ada disini, aku mesti anter dulu dia ke rumah neneknya di Plateelstraat setelah itu kita bisa minum kopi di Bierhuis " Mengingat bahwa ia sangat menyukai kopi sehingga dulu bisa minum 3 gelas kopi dalam sehari. Aku pun memutuskan untuk meninggalkan Aidan di rumah neneknya walau itu membuat bayaranku hari ini akan dipotong cukup besar. Karena aku tidak yakin bahwa aku dapat membawa Prana ke rumah Aidan untuk sekedar berbincang, dan ya, aku juga butuh tempat yang lebih santai untuk mencairkan kekakuanku, yang sampai sekarang masih membeku.
" Whatever it is , ayo. " Prana mengangguk pelan. Menyetujui rencanaku.

***

Wisudawan Arsitektur membanjiri gedung kuliah Arsitektur, pada akhirnya siang ini aku melakukan adegan melempar topi toga yang selama ini hanya ku lihat melalui layar kaca dan sampai saat ini prosesi pelemparan toga terbaik adalah film Princess Diaries 2. Opening film ketika para wisudawan melempar topi toga nya. Intinya, pada Sabtu siang ini aku merayakan keberhasilanku menjadi seorang Tara Alexandra Wijaya, S.T. 
Setelah mengenakan kembali topi toga ku, aku melihat ke arahnya. Ia berbincang dengan beberapa teman lelakinya, tertawa bahagia karena pada akhirnya kami menyelesaikan studi kami menjadi seorang sarjana teknik, studi yang cukup berat karena harus menghabiskan banyak waktu begadang hanya demi mendapatkan nilai minimal untuk lulus. Kami berhasil, lulus dengan kantung mata tebal di bawah mata kami. Namun untuk hari ini aku menutupinya dengan make up yang selaras dengan warna kebaya yang kugunakan di hari besar ini.
" Taraaaa, selamat yah!! I'm so proud of you!! Doain gue nyusul periode depan!! " Ucap Pitong, seorang lelaki dengan kulit putih dan badan yang kurus ini langsung memelukku setelah aku berbalik ke arahnya. Aku memeluk erat Pitong, cowok agak kemayu  yang menemaniku selama kuliah, mulai dari ospek, makan siang, mengerjakan tugas, survey dan studi banding, cari tukang cilok di siang bolong, makan baso cuanki dibawah sinar terik matahari kota Bandung, bahkan sampai menemaniku mengganti pembalut di wc gedung rektorat karena aku yang memiliki sedikit masalah sanitasi. Bisa jadi ia memang partner terbaikku yang menemani masa kuliahku.
" Lo mesti nyusul cepet yah, nanti gue cariin kerja di Singapur biar lo bisa temenin gue makan siang lagi " Ucapku sambil tertawa. 
" Kapan lo berangkat? " Tanya Pitong melepaskan pelukannya.
" Minggu depan Tong, gue mesti beres beresin apartemen dulu sebelum gawe, adapt dulu sama keadaan disana, aduh Tong...sori banget yah gue gak bisa temenin lo ngerjain tugas akhir kaya lo kemarin temenin gue... " Ucapku menyesal karena aku tidak bisa menemani Pitong, padahal Pitong yang sudah setia menemaniku mengerjakan tugas akhir dan pergi kesana kemari mencari referensi dan data yang di butuhkan. 
" Udah, yang penting, lo doain gue lulus, biar gue bisa cepet susul lo ke Singapur, ok? " Ucap Pitong dengan nada bicaranya yang khas, aku hanya tersenyum mengangguk dan kembali memeluk laki laki yang agak kemayu itu. Beberapa temanku bergabung dengan aku dan Pitong, namun aku kembali berbalik, melihat ke arah Prana yang sedang menggendong keponakan perempuannya.
Aku pernah berharap, mengabadikan foto ku dan Prana dalam toga kami ketika kami lulus nanti, namun kini harapan itu hanyalah sebuah harapan kosong. Kami berdiri terpisah dengan jarak yang cukup jauh, jangankan berfoto, menyapa nya pun sudah tidak pernah kulakukan.  
Hanya ini yang ada di pikiranku sekarang : apa yang akan ia lakukan setelah lulus. Aku tahu ia pintar sehingga mungkin ia tidak akan mendapatkan kesulitan untuk bekerja dan ia bisa bekerja di konsultan besar di Bandung sedangkan aku sendiri harus pergi merantau ke Singapur untuk bekerja di kantor konsultan milik Pamanku. 
Dan kini aku sadar, aku sangat bergantung padanya 3 tahun pertama dulu. Aku tidak akan bisa mengerjakan seluruh pekerjaan gambar teknik ku tanpa dia, dan mungkin aku tidak bisa lulus sekarang jika dulu ia tidak membantuku mengerjakan tugas Fisika Bangunan. 
Aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara lagi dengannya untuk mengucapkkan selamat dan berterimakasih.
" Pulangnya lo ada acara keluarga gak? " Tanya salah satu teman ku yang langsung membuyarkan lamunanku dan rencanaku untuk memperbaiki hubungan kami. 
" Iya gue mau lunch dulu bareng nyokap sama bokap, nanti kalau udah beres lo semua kabar kabarin aja kita mau ketemu dimana" Ucapku. 
Dan aku kembali melihat ke arah Prana. 
Mungkin hari ini hari terakhirku, melihat dia diam diam, memperhatikan segala gerakannya. Iya, ini hari terakhirku. Aku mengurungkan kembali lagi niatku dan menyembunyikannya entah sampai kapan, 

*** 

(To be continue to Part 2) 

No comments: