20
Agustus 2012, Delft,
Belanda.
Pohon pohon mulai menggugurkan daunnya seiring semakin
dinginnya cuaca awal musim gugur tahun ini, di satu kota kecil di bagian
tenggara Rotterdam, Belanda, Delft. Aku dan Aidan, anak laki laki berumur 5
tahun asuhanku ini berjalan menyusuri trotoar jalan Jacoba van Beierent yang
kini dihiasi oleh daun daun yang siap menggugurkan daunnya. Kami berjalan kaki
sambil menikmati angin awal musim gugur hanya ditemani suara beberapa sepeda
yang berlalu lalang sambil menyalakan bel nya yang nyaring. Ya, suasana yang
setiap hari kunikmati dua tahun terakhir.
" What do you want to eat for today's lunch? " Aku
bertanya pada Aidan sambil mengambil sehelai daun yang jatuh di atas rambut
cokelat terangnya. Anak laki laki yang tingginya hanya setara dengan pinggangku
–cukup tinggi untuk ukuran anak TK di Indonesia, dengan erat memegang tangan
kananku sementara bahu kiri ku menopang tote
bag raksasa berisi buku buku
kuliah Arsitektur yang sebenarnya sangat ingin kuletakkan sejak aku keluar dari
kelas siang ini pada summer semester
yang terpaksa kujalani karena beberapa mata kuliah yang harus ku kejar demi
kembali ke Indonesia di tahun depan.
" Pizza " Aidan melihat ke arahku sambil tersenyum dan memperlihatkan
gigi kecil nya, sedikit tertawa dengan tatapan memohon untuk dapat melahap
makanan super enak bernama pizza untuk
makan siangnya. Siapa yang tidak suka pizza.
" You just ate pizza last night! " Aku menyeringai,
mengingat bahwa Aidan baru saja melahap dua potong besar Super Supreme dari
Pizza Hut yang kami pesan melalui delivery
service semalam ketika menunggu kedua orang tua Aidan pulang dari
perjalanan ke luar kota, Aidan hanya membalasnya dengan tawa kecilnya sambil
menggendong tas kecil bergambar karakter film animasi Blue’s Clues yang berwarna biru tua dengan langkahnya yang santai.
Aku memberikan Aidan waktu untuk berfikir dan memutuskan
makanan apa yang akan memenuhi perut kecilnya siang ini. Sementara aku kembali
menikmati angin awal musim gugur, musim favoritku sejak pertama kali aku
menginjakkan kaki di Eropa, walau sedikit dingin bagiku yang sudah bertahun
tahun tinggal di negara beriklim tropis sebelum datang ke negeri kincir angin
ini.
Namaku Tara, Tara Alexandra Widjaya, putri pertama dari
pasangan seorang insinyur di bidang sipil dan arsitektur, dengan seorang
psikolog penulis buku buku psikologi yang sempat tenar pada zaman nya. Aku
sendiri, sarjana Arsitektur dari salah satu kampus swasta di kota Bandung,
tentu saja di negara asalku, Indonesia. Dan kini pergi beribu ribu kilometer
jauhnya dari Bandung untuk menuntut ilmu tingkat lanjut dan mendalami
Arsitektur Lansekap di salah satu Institut Teknik terbaik di Belanda, TU Delft.
Meninggalkan kedua orang tuaku dengan dua adikku yang keduanya masih duduk di bangku
sekolah menengah atas.
Sanak keluarga yang tinggal di Amsterdam –hanya beberapa
kilometer di sebelah timur Delft, 1 jam perjalanan menggunakan kereta- membuatku
hidup sendirian di sebuah kamar di salah satu rumah yang bertingkat 3 di
pinggir jalan Westvest, karena menumpang di Amsterdam nampak tidak memungkinkan
apalagi jika aku ada kuliah pagi. Bergantung pada uang saku beasiswa, dan
selama beberapa bulan terakhir aku juga bergantung pada gaji pekerjaan part time ku, mengasuh Aidan, seorang british yang baru saja pindah ke Belanda
karena tuntutan pekerjaan ayahnya.
Hampir setiap hari aku menjemputnya di TK setiap pukul
1 siang kecuali hari Selasa dan Kamis, karena jadwal kuliah siang ku, hal
tersebut membuatku dengan terpaksa, mengerjakan tugas sambil menjaga Aidan di
rumahnya, belajar untuk ujian ketika ia tidur siang, membuatkannya makan siang,
dan mengajari sedikit basic bahasa Belanda, walau ia sudah
banyak mempelajarinya dari neneknya yang sudah tinggal lama di Delft. Semua ini
aku lakukan demi tujuanku, berlibur ke beberapa negara di dekat Belanda, dan
juga pergi ke Santorini. Pulau di bagian tenggara perairan Yunani yang sangat
indah dan mungkin merogoh dompetku lebih dalam dari perjalanan lainnya.
" I want sandwich " Aidan
memecah keheningan suasana siang hari Jacoba van Beirent yang di penuhi oleh
pepohonan besar yang melindungi kami dari sinar matahari sisa sisa musim panas ini.
Aku melihat ke arah tubuh kecilnya yang nampak begitu ringan baginya
untuk dibawa berjalan menyusuri trotoar dan tersenyum, mengangguk setuju."
Okay... But first, you should answer my questions...like usual, and we’re going
to go to SPAR, buying some groceries for your lunch"
Aidan menghelakan nafas dari hidung kecilnya, nampaknya sedikit
kesal karena harus menjawab pertanyaan pertanyaanku tentang bahasa Belanda di
saat seperti ini. Namun Aidan hanya mengangguk lemas. " Let's start
with greetings, okay? " Tanyaku
tersenyum kecil pada Aidan, ia hanya mengangguk sambil terus berjalan di bawah
bayangan pepohonan yang masih rimbun, ditiup oleh angin segar negeri kincir
angin ini. " Good night? " Aku melontarkan pertanyaan pertamaku.
Aidan diam, sambil mencibirkan bibir kecilnnya, ia melihat
ke arahku, memandangku dengan pandangan memohon, meminta pertolongan karena ia
tidak tahu jawabannya. Aku tertawa gemas melihat ia mencibirkan bibirnya. Namun
akhirnya ia menemukan jawabannya. " Goede Natch "
" Correct, how about good morning? " Ucapku
sambil melihat ke arah SPAR yang sudah beberapa langkah lagi, supermarket skala
kecil yang ada di dekat Welhoeckstraat, jalan kecil nan sunyi yang berada hanya
beberapa menit dari sekolah Aidan, tempat dimana rumah kecil bergaya minimalis
tempat Aidan tinggal berada. Aku kembali melihat ke arah anak itu, ia nampak
masih berfikir keras untuk mencari jawabannya. Lagi lagi aku tersenyum gemas
melihatnya kebingungan dan membiarkan Aidan mencari jawabannya. Memang kadang
sedikit lucu, wajah anak caucasian nya
terlihat sangat imut ketika ia sedang dipaksa untuk berfikir. Masih sambil
menggandeng jari jari kecilnya aku melihat lihat ke sekeliling, melihat ke arah
pemandangan negeri ini yang tidak pernah bosan ku nikmati walau sudah
menghabiskan 1 tahun tinggal di sini. Membiarkan semilir angin merasuk melewati
rambut hitamku yang panjangnya kini sedikit lebih panjang dari bahu.
" Guten Morgen "
Aku terkejut akan suara yang kudengar dan langsung melihat
ke arah Aidan. Kata tersebut memang merupakan salah satu bahasa Jerman yang
cukup banyak dikenal orang, namun aku terkejut mengetahui bahwa Aidan
mengetahuinya dan terlebih lagi, suaranya agak berat seperti suara seorang pria. "
Aidan, it’s Deustch not Dutch "
" I haven't answer it " Ucap
Aidan kebingungan dengan suaranya yang ringan dan bernada nyaring. Aku kerap
mencari cari dari mana suara tersebut berasal, tidak mungkin hanya dalam
hitungan detik suara Aidan berubah menjadi sangat berat. Aku mencoba melihat ke
arah jalan, mencari siapapun yang melewati jalan ini, namun jalan siang itu
sedang kosong, bahkan jika pun ada hanyalah seorang lelaki tua yang berjalan di
trotoar seberang sana, suaranya tidak akan terdengar sampai sini. Aku sedikit
takut untuk melihat ke arah sumber suara, namun aku memberanikan diri untuk
melihat ke belakang.
" Aku yang jawab " Ucap seorang lelaki di
belakangku, aku perlahan lahan melihat ke belakang, sedikit kaget dan berusaha
untuk memberanikan diri, melihat orang yang sedari tadi mendengar percakapan
kami. Namun aku hanya diam mematung melihat siapa yang ada di depanku saat
ini.Hatiku sedikit berdebar, angin terasa lebih dingin dari biasanya seakan
musim dingin datang 3 bulan lebih cepat. Aku terdiam mematung sampai ia kembali
membuka mulutnya.
" Halo " Ucapnya santai sambil tersenyum ke
arahku, dengan suara serak khas yang sangat familiar di telingaku. Tubuhnya
lebih berisi dari sejak terakhir kali aku bertemu dengannya, tidak lagi sangat
kurus seperti dulu sehingga aku dapat melihat dengan jelas urat urat nya yang
menandakan bahwa ia seorang pekerja keras. Garis garis rahangnya masih terlihat
jelas, mempertegas wajahnya sehingga benar benar memberikan kesan maskulin,
wajahnya yang diselimuti kulit yang agak gelap dihiasi kumis tipis diatas
bibirnya dan rambut pendeknya yang
panjangnya selalu ia pertahankan sejak dulu ia memutuskan untuk memangkas
rambut gondrongnya. Dan tentu saja,
dia masih jauh lebih tinggi dibandingkan tubuh kecilku yang berhenti tumbuh
sejak aku lulus menjadi sarjana arsitektur beberapa tahun yang lalu. Ia
tersenyum, tanpa memperlihatkan gigi nya, senyum khas yang selalu ia berikan
pada semua orang, termasuk diriku.
Aku masih terdiam mematung, melihat sesosok laki laki yang
dulu menghiasi pandanganku selama 4,5 tahun kuliah arsitektur di Bandung.
Bahkan terlalu terkejut melihat dia yang seharusnya ada di Berlin untuk
melanjutkan studi S2 nya, kini ada di Belanda, terlebih lagi di Delft, sebuah
kota kecil yang kupikir tidak akan banyak orang tahu. Aku terlalu fokus melihat
ke arahnya sehingga aku tidak sadar Aidan sudah berdiri di belakang kaki ku,
bersembunyi karena ketakutan bertemu orang baru yang baru pertama kali ia lihat
" Tara, who's that? " Aidan sedikit mengintip dari balik kaki ku sambil
menarik ujung kemeja flanel bermotif kotak yang kugunakan hari ini.
Aku berlutut di depan Aidan
sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena dihembus angin. "
Aidan, he is my friend, Prana, say hello to him " Aku menunjuk ke arah
Prana menggunakan dagu ku, sembari mengajari Aidan bagaimana bersikap ketika
bertemu dengan orang baru.
" What is hello in Indonesia? " Tanya
Aidan sambil melirik ke arah Prana sambil sesekali dan menggaruk kepalanya. Aku
tertawa gemas mendengar pertanyaan nya, ia benar benar ingin mencoba berbicara
dalam bahasaku untuk berkenalan dengan Prana.
" He's speak english just like you, go " Ucapku
sambil berdiri dan melangkahkan kakiku mendekat pada Prana yang sedang
memasukkan kedua tangannya kedalam dua saku celana nya sambil mengajak Aidan
untuk mendekat. Anak itu hanya diam mendekat padaku, masih mencoba
menyembunyikan dirinya dibalik kaki ku. Melihat Aidan yang nampak malu malu,
Prana berlutut di depan Aidan. Mengulurkan tangan besarnya, Aidan dengan malu
malu menjabat tangan Prana, tangan kecilnya nampak sangat kecil dibandingkan dengan tangan Prana.
" I'm Prana, what's your name? " Tanya
Prana. Aidan tidak menjawab dan melihat ke arahku. Aidan masih nampak malu malu,
aku mencoba memberitahu Prana bahwa Aidan sedikit malu, sehingga Prana pun
berdiri dan menjabat tanganku. " Apa kabar? "
" Fine " Aku menganggukan kepalaku, sambil melepaskan jabatan tangan
kami.
" Keponakanmu? " Tanya Prana, ia masih ingat
bahwa aku memiliki seorang keponakan berdarah Belanda yang kini tinggal di
Amsterdam.
Aku menggelengkan kepalaku, " My uncle friend's son. Baru pindah dari England and they ask me to babysit
him and teach him basic Dutch " Jelasku tersenyum sambil
menggandeng tangan Aidan yang masih mencoba bersembunyi di belakangku. Prana
melihat ke arah Aidan, nampaknya Prana sangat ingin berbincang dengan Aidan,
namun melihat Aidan yang malu malu, ia kembali berlutut sambil mengeluarkan
sebungkus permen Katjes dengan plastik berwarna biru dari saku dalam jaket
parka nya dan memberikannya pada Aidan.
" Its a gummy candies, you like candies, right? " Ucap
Prana tersenyum, Aidan melihat ke arahku, aku mengangguk mengiyakan agar ia
mengambil permen yang diberikan Prana dari Jerman, sedikit hadiah untuk Aidan,
walau aku tahu kedua orang tuanya akan melarangnya jika mereka tahu. Ia pun
mengambilnya, masih sedikit malu malu.
" Thank you " Aidan tersenyum malu, dan kini ia sudah tidak lagi
bersembunyi di belakang kaki ku walau ia masih memegang tanganku erat. Anak itu
betul betul luluh hanya karena sebungkus permen.
“ Don’t tell your
mother “ Prana mengelus lembut rambut
Aidan, lalu melihat ke arahku, seakan mengerti kekhawatiranku ketika Aidan
menerima permen darinya, Aidan sedikit tertawa sambil menganggukan kepalanya
pelan, Aidan nampak sangat senang sehingga kini ia tidak lagi bersembunyi
dibalik kaki ku.
Seakan tahu pertanyaan di dalam otakku mengapa Prana bisa
ada disini, ia langsung memberitahunya sebelum aku bertanya. " Aku lagi liburan
aja bareng Hardian " Ucap Prana, membuatku teringat akan Hardian, teman
kuliahku yang dulu berjualan pulsa telefon selular dan sering ku hutangi karena
pada masa kuliah dulu kami belum mengenal social
media semacam Black Berry Messenger dan Twitter seperti sekarang ini
sehingga dulu kami harus menghabiskan pulsa hanya untuk bertanya tentang tugas
melalui SMS, bahkan untuk pacaran. " Lalu salah satu temenku mau kunjungi
keluarganya di Delft, dan Hardian bilang kamu ada di Delft juga dan Hardian
bilang katanya kamu update status di twitter kalau kamu sedang dalam perjalanan
menuju Kindercentrum "
" Kindercentrum, iya itu TK nya Aidan " Ucapku
teringat bahwa tadi dalam perjalanan menjemput Aidan aku baru meng update
status di account twitter ku, mengutarakan
kekesalan ku pada jam responsi dosen ku yang membuat aku tidak dapat menikmati
makan siang sebelum menjemput Aidan di Kindercentrum yang jaraknya lumayan jauh
dari TU Delft, tempatku menuntut ilmu Arsitektur Lansekap. Mengakibatkan
perutku sudah beberapa kali berbunyi dalam perjalanan menjemput Aidan.
" Ya..itu...dan aku mutusin buat kesini, ya kebetulan
lagi di Delft, aku baru mau jalan ke Kindercentrum dan liat kamu di jalan.
" Ucapnya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya seiring
dengan semilir dingin angin akhir musim panas yang berhembus.
Aku hanya mengangguk mengerti. " Lalu Hardian mana?
" Tanyaku heran.
" Hardian sama temenku yang di rumah keluarganya yang
di Delft itu, ngerti lah, biasa. Hardian " Ucap Prana. Aku
mengangguk mengerti, aku tahu, Hardian memang sengaja memberi Prana waktu untuk
bertemu denganku berdua saja. Sebuah usaha yang selalu ia lakukan sejak aku dan
Prana berpisah beberapa tahun yang lalu, dan ternyata sampai sekarang ia tidak
menyerah walau sudah berkali kali gagal. " Mau Hardian ku panggil ke sini?
"
" Gak usah, bulan kemarin aku sama beberapa temenku ke
Dortmund, dan ketemu juga sama dia kok, kebetulan waktu itu dia lagi di Hanover
jadi aku minta temenin dia juga untuk keliling keliling, sementara beberapa
temanku waktu itu punya urusan masing masing juga di beberapa daerah di Jerman,
dan aku memutuskan buat keliling Dortmund aja, kamu juga tau bahasa Jerman ku basic banget karena udah lama gak di
latih, dan Dortmund itu paling dekat dengan Belanda " Ucapku, ingin
berbagi keluh kesah akan sulitnya mengatur uang ketika sedang mengenyam studi
di negeri orang, melalui kalimat bahwa Dortmund yang paling dekat dengan
Belanda, yang juga berarti tiket nya paling murah dibandingkan pergi ke negara
lainnya.
" Aku malah gak tahu kamu pernah belajar bahasa
Jerman, remember? "
Ucapnya sambil menaikkan satu alisnya. Aku kembali mematung, tiba tiba saja
teringat bahwa memang aku tidak pernah memberitahunya kalau aku pernah
mengikuti kursus bahasa Jerman di tempat yang sama dengannya selama satu tahun
di tahun terakhir ku kuliah, sebagai ancang ancang jika saja aku harus pergi ke
Jerman, bukan Belanda seperti impianku. Aku tersenyum kaku pada ucapannya, dan
jujur saja sudah sangat lama sejak terakhir kali aku berbicara dengannya
sehingga dalam beberapa pertanyaan atau kalimat yang ia katakan aku tidak tahu
harus menjawabnya apa.
Lalu aku kembali melihat ke Aidan yang nampaknya sudah tak
sabar untuk pulang ke rumah. Ia sudah menghabiskan permen Katjesnya sendirian
selama kami sibuk berbincang, dan aku terus mengingatkan diriku agar Aidan
menggosok gigi nya setiba ia dirumah agar orang tua nya tidak tahu bahwa ia
sudah melahap sebungkus permen Katjes dalam hitungan menit. Kalau orang tuanya
tahu aku bisa mati. Aidan menarik narik kemejaku dan berbisik agar kami cepat
pergi ke SPAR, ia sudah sangat lapar, begitu juga aku.
" Gimana kalau ngobrolnya nanti aja, kita mau ke SPAR
dulu sekarang, disana " Ucapku sambil menunjuk ke arah bagunan kecil
berbentuk kubus di ujung jalan Krakeelpolderweg. Hanya tinggal beberapa langkah
lagi namun Prana membuatnya menjadi sangat lama dengan kedatangannya yang tiba
tiba. " Lalu ke rumah Aidan karena dia mesti lunch dulu, dan karena kamu ada disini,
aku mesti anter dulu dia ke rumah neneknya di Plateelstraat setelah itu kita
bisa minum kopi di Bierhuis " Mengingat bahwa ia sangat menyukai kopi
sehingga dulu bisa minum 3 gelas kopi dalam sehari. Aku pun memutuskan untuk
meninggalkan Aidan di rumah neneknya walau itu membuat bayaranku hari ini akan
dipotong cukup besar. Karena aku tidak yakin bahwa aku dapat membawa Prana ke
rumah Aidan untuk sekedar berbincang, dan ya, aku juga butuh tempat yang lebih
santai untuk mencairkan kekakuanku, yang sampai sekarang masih membeku.
" Whatever it is , ayo. " Prana mengangguk pelan. Menyetujui rencanaku.
***
Wisudawan
Arsitektur membanjiri gedung kuliah Arsitektur, pada akhirnya siang ini aku
melakukan adegan melempar topi toga yang selama ini hanya ku lihat melalui
layar kaca dan sampai saat ini prosesi pelemparan toga terbaik adalah film
Princess Diaries 2. Opening film ketika para wisudawan melempar topi toga
nya. Intinya, pada Sabtu siang ini aku merayakan keberhasilanku menjadi
seorang Tara Alexandra Wijaya, S.T.
Setelah mengenakan
kembali topi toga ku, aku melihat ke arahnya. Ia berbincang dengan beberapa
teman lelakinya, tertawa bahagia karena pada akhirnya kami menyelesaikan studi
kami menjadi seorang sarjana teknik, studi yang cukup berat karena harus
menghabiskan banyak waktu begadang hanya demi mendapatkan nilai minimal untuk
lulus. Kami berhasil, lulus dengan kantung mata tebal di bawah mata kami. Namun
untuk hari ini aku menutupinya dengan make up yang selaras dengan warna kebaya
yang kugunakan di hari besar ini.
" Taraaaa,
selamat yah!! I'm so proud of you!! Doain gue
nyusul periode depan!! " Ucap Pitong, seorang lelaki dengan kulit putih
dan badan yang kurus ini langsung memelukku setelah aku berbalik ke arahnya.
Aku memeluk erat Pitong, cowok agak kemayu yang menemaniku selama kuliah, mulai dari
ospek, makan siang, mengerjakan tugas, survey dan studi banding, cari tukang
cilok di siang bolong, makan baso cuanki dibawah sinar terik matahari kota
Bandung, bahkan sampai menemaniku mengganti pembalut di wc gedung rektorat
karena aku yang memiliki sedikit masalah sanitasi. Bisa jadi ia memang partner
terbaikku yang menemani masa kuliahku.
" Lo mesti
nyusul cepet yah, nanti gue cariin kerja di Singapur biar lo bisa temenin gue
makan siang lagi " Ucapku sambil tertawa.
" Kapan lo
berangkat? " Tanya Pitong melepaskan pelukannya.
" Minggu
depan Tong, gue mesti beres beresin apartemen dulu sebelum gawe, adapt dulu sama keadaan disana, aduh
Tong...sori banget yah gue gak bisa temenin lo ngerjain tugas akhir kaya lo
kemarin temenin gue... " Ucapku menyesal karena aku tidak bisa menemani
Pitong, padahal Pitong yang sudah setia menemaniku mengerjakan tugas akhir dan
pergi kesana kemari mencari referensi dan data yang di butuhkan.
" Udah, yang
penting, lo doain gue lulus, biar gue bisa cepet susul lo ke Singapur, ok?
" Ucap Pitong dengan nada bicaranya yang khas, aku hanya tersenyum
mengangguk dan kembali memeluk laki laki yang agak kemayu itu. Beberapa temanku
bergabung dengan aku dan Pitong, namun aku kembali berbalik, melihat ke arah
Prana yang sedang menggendong keponakan perempuannya.
Aku pernah
berharap, mengabadikan foto ku dan Prana dalam toga kami ketika kami lulus
nanti, namun kini harapan itu hanyalah sebuah harapan kosong. Kami berdiri
terpisah dengan jarak yang cukup jauh, jangankan berfoto, menyapa nya pun sudah
tidak pernah kulakukan.
Hanya ini yang ada
di pikiranku sekarang : apa yang akan ia lakukan setelah lulus. Aku tahu ia
pintar sehingga mungkin ia tidak akan mendapatkan kesulitan untuk bekerja dan
ia bisa bekerja di konsultan besar di Bandung sedangkan aku sendiri harus pergi
merantau ke Singapur untuk bekerja di kantor konsultan milik Pamanku.
Dan kini aku
sadar, aku sangat bergantung padanya 3 tahun pertama dulu. Aku tidak akan bisa
mengerjakan seluruh pekerjaan gambar teknik ku tanpa dia, dan mungkin aku tidak
bisa lulus sekarang jika dulu ia tidak membantuku mengerjakan tugas Fisika
Bangunan.
Aku mengumpulkan
keberanian untuk berbicara lagi dengannya untuk mengucapkkan selamat dan
berterimakasih.
" Pulangnya
lo ada acara keluarga gak? " Tanya salah satu teman ku yang langsung
membuyarkan lamunanku dan rencanaku untuk memperbaiki hubungan kami.
" Iya gue mau lunch dulu bareng nyokap sama bokap,
nanti kalau udah beres lo semua kabar kabarin aja kita mau ketemu dimana"
Ucapku.
Dan aku kembali
melihat ke arah Prana.
Mungkin hari ini
hari terakhirku, melihat dia diam diam, memperhatikan segala gerakannya. Iya,
ini hari terakhirku. Aku mengurungkan kembali lagi niatku dan
menyembunyikannya entah sampai kapan,
***
(To be continue to Part 2)
No comments:
Post a Comment