08 June 2015

De Tweede Vergadering (Part 4)


“ Tong, punya berita apa? Heboh banget sampai datang ke rumahku “ Aku menghampiri Pitong yang sedang duduk di kursi kayu teras rumahku, aku duduk sambil memijat pijat lembut pundakku, masih merasa pegal karena tadi pagi baru sampai ke Bandung setelah penerbangan 2 jam dari Singapura. Pitong hanya diam, masih mengenakan seragam kerja nya sebagai announcer radio ternama di kota Bandung. “ Tong? “ Ucapku, sedikit bingung karena Pitong sedari tadi hanya diam tanpa berkata kata.
“ Kemarin gue ketemu Naya “
“ Oh iya? Dimana? Udah lama banget ga ketemu Naya, pas wisudaku juga dia ga muncul “ Ucapku, aku tidak tahu mengapa Pitong jauh jauh datang ke rumahku di pagi hari hanya karena ingin memberitahu bahwa ia baru saja bertemu dengan Naya.
“ Bukan dimana nya “ Ucap Pitong, ia tiba tiba memelukku sambil menepuk lembut punggungku. “ Tapi sama siapa nya “ Ucap Pitong. Aku diam. Heran dengan Pitong, dan dengan kalimat yang ia lontarkan satu persatu. Pitong memelukku erat, seakan memberiku kekuatan untuk apa yang akan ia katakan padaku.
Pitong melepaskan pelukannya. “Naya sama Prana dateng ke nikahan temen gue yang temennya Naya juga. Gandengan “ Ucap Pitong. “ Setelah gue tanya, ternyata mereka sekarang pacaran”
Aliran darahku serasa berhenti sekejap, memang sudah hampir dua tahun aku tidak lagi berhubungan dengan Prana. Namun aku tidak pernah menyangka, kini ia berhubungan dengan satu satunya teman dekat wanita ku di kampus. Aku hanya diam, melihat ke arah Pitong. Sedikit sesak setelah mendengar apa yang dikatakan Pitong. Aku tidak berkata kata, marah juga tidak bisa, Prana bukan lagi milikku. Sehingga aku hanya diam, menangis bukan kebiasaanku namun aku dapat merasakan kini mataku sudah mulai basah. Sedikit sesal terasa karena aku dulu memutuskan untuk meninggalkannya.
“ Maaf loh beb...tapi aku gak enak kalo gak kasih tahu ini sama lo...lo kan udah lama banget ga ngobrol sama Naya sama Prana, gue gak mau simpen ini terlalu lama, but if you need me, I got your back, lagian kan sebentar lagi lo ke Belanda...lo bisa lupain ini di Belanda, ya sayang ya.. “ Ucap Pitong.
“ Lo gak salah...malah...makasih... “ Ucapku berat. Menahan tangis, sampai akhirnya tidak terbendung lagi dan aku menghabiskan 1 pak tisu kecil yang dibawa Pitong.


***

“ Tara, Tar “ Ucap Prana membangunkanku, aku membuka mataku perlahan, kami sudah akan turun di halte tempat kami harus turun. “ Berhenti disini kan? “ Aku mengangguk kecil masih sambil mencoba mengumpulkan jiwaku yang berterbangan selagi tertidur.
Aku turun dari bis secara perlahan, disusul oleh Prana, Hardian, Rendra dan Ozki satu persatu. Aku melangkahkan kaki ku di atas trotoar jalan kota yang kemana mana serba jalan kaki dan naik sepeda. Dalam diam Prana berjalan disampingku, disusul dengan Hardian, Rendra dan Ozki yang berjalan berdampingan sambil menggendong travel bag nya masing masing. Kali ini aku terus memikirkan Naya. Sehingga aku tidak banyak berbicara dan tanpa sadar lebih banyak diam dan melamun.
Kadang aku berpikir, bisa bisanya ia datang dengan santai ke Delft ketika aku jauh jauh belajar dari Bandung ke Belanda untuk bisa melupakannya, terlebih lagi melupakan hubungan Prana dan Naya. Namun dimana pun aku, ia tetap tidak pergi, literally tidak pergi sama sekali, bahkan datang ke Delft. Kali ini aku sedikit marah, namun rasa rinduku berhasil mengalahkannya.
“ Main ke Berlin kapan kapan yuk “ Ucap Prana tiba tiba, aku melihat ke arahnya.
“ Se fleksibel nya transportasi disini ke negara lain, tetep aja aku masih mahasiswa, Pran “ Ucapku mengingat tabunganku yang sudah menipis, terlebih lagi dengan rencanaku untuk pulang dan pergi ke Paris bersama teman teman satu rumah untuk merayakan tahun baru nanti.
“ Nanti aku jemput “ Ucap Prana.
“ Jerman Belanda gak kaya rumahmu ke rumahku “
“ Biasa juga gitu kan “

***

“ Aku jemput sekarang “ Ucap Prana. Aku hanya diam, tidak membalas perkataannya lewat telepon. Rasanya sulit memintanya menjemputku padahal aku pun tidak tahu harus pulang menggunakan apa di malam hari ini setelah menghadiri acara ulang tahun temanku di dago atas. Lebih sulit lagi karena kemarin malam aku sedang bertengkar karena PMS ku yang sedikit berlebihan.
“ Jauh..Prana.. “ Ucapku. Namun Prana bersikeras menjemputku.
“ Pokoknya aku jemput, tunggu situ “ Ucap Prana menutup sambungan telepon. Ia masih terdengar marah, namun itulah Prana. Ia tidak pernah membiarkanku pulang sendirian di malam hari, dimanapun aku berada.


***

Sambil menunggu Rendra keluar dari WC aku terdiam sambil melihat ke arah sibuknya Delft Railway Station di sore hari ini. Orang orang berlalu lalang, entah kemana tujuannya dan dari mana, beberapa perempuan dengan baju kerja dan beberapa laki laki yang tidak sabar bertemu dengan keluarganya dirumah. Beberapa anak muda yang mungkin akan pergi ke Amsterdam untuk hang out, beberapa orang Indonesia dengan wajah khas dan tidak sedikit juga berhijab. Negeri ini memang negeri kecil yang ditinggali oleh banyak orang, sehingga sangat banyak sekali jenis jenis orang yang kutemui, apalagi di tempat komunal seperti ini. Pemandangan ini sudah sering kulihat hampir setiap hari, apalagi di kampusku. Namun aku yang benar benar menyukai sebuah tempat baru tetap saja memperhatikan hal hal seperti itu bahkan sampai ke detail detail terkecil. Membuatku sadar bahwa aku hanyalah seorang manusia di antara ribuan manusia yang ada di dunia ini, bahkan jutaan. Jutaan manusia dan aku bertemu dengan Prana. Setelah tinggal di sini, bagiku hal hal kecil seperti itu merupakan suatu takdir yang luar biasa.
Tidak sadar Rendra sudah menggerakkan tangannya di depan wajahku.
“ Lo banyak ngelamun banget, tau “ Ucap Rendra membenarkan letak travel bag yang dipikul oleh bahu kiri nya. Rendra benar, aku terlalu banyak melamun seturunnya kami dari bis. Pikiranku penuh dengan banyak pertanyaan yang bisa saja kulontarkan begitu saja pada Prana. Aku mengelak, namun Rendra menggelengkan kepalanya. “ Bohong, gue kenal lo ga setahun dua tahun, ya “ Ucap Rendra. Aku menghelakan nafasku kencang. Aku melihat ke arah jam stasiun, 30 menit lagi mereka harus segera naik ke kereta agar tidak ketinggalan pesawat dari Amsterdam. Dan Rendra masih berdiri diam, melipat tangannya sambil beberapa kali menyenggolku pelan. Ia menaikkan alisnya jahil, seperti yang seringsekali ia lakukan ketika semasa kuliah aku tidak mau cerita apapun yang mengganggu pikiranku.
“ Engga apa apa, gue mikirin tugas aja “ Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Rendra nampak sebal, ia kembali menyikutku. Rendra, sumpah, kalau waktumu lebih banyak di Delft ini mungkin aku akan menceritakan segalanya. Sayang, Rendra harus pulang ke Yogyakarta besok malam dari Berlin. Namun Rendra tetap memaksaku lagi untuk bercerita. Karena ia tahu ketika ada sesuatu sedang mengganggu pikiranku.
“ Aduuuh udah deh cepet siap siap sana “ Ucapku mendorong dorong Rendra untuk segera bergabung dengan Prana, Hardian dan Ozki yang sudah siap berdiri di jalur masuk ke dalam kereta.
Aku dan Rendra menyusul mereka yang sedari tadi sedang berdiri berbincang ditengah hiruk pikuk aktivitas stasiun. Kereta akan datang dan berangkat dalam waktu lima belas menit lagi. Aku berpamitan dengan Hardian, Ozki dan Rendra, aku memeluk mereka erat. Rasanya berat ditinggalkan oleh Hardian dan Rendra, aku sangat ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya untuk menceritakan segalanya. Namun kami tidak bisa, dan entah kapan akan bertemu lagi dengan Rendra.
“ Jadi, ke Jerman ya? Kalo luang “ Ucap Prana, aku hanya tersenyum, Prana memelukku dengan sedikit canggung. Pelukan yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, aku memeluknya erat, sesaat kecanggungan itu hilang, sampai tiba tiba Hardian menepuk pundak Prana.
“ Kelamaan “ Ucap nya tertawa, aku dan Prana buru buru melepaskan pelukan kami, tidak lama kemudian kereta pun datang. Aku melambaikan tanganku pada mereka sembari berjalan mundur, memberi space untuk penumpang lain yang akan naik.
Dan pada malam itulah, Prana akhirnya meninggalkan Delft, kedatangannya dengan semena mena kembali membuka kenangan kenangan kecil ketika aku dan dia masih bersama. Aku terus memandang punggungnya sampai kereta melaju, meninggalkan Delft untuk bertolak ke Amsterdam. Di tengah hiruk pikuk stasiun aku masih berdiri diam, melihat kereta yang semakin menjauh, dan Prana melihat ke arahku. Ia tersenyum. Kereta tersebut pergi, berjalan di atas rangkaian besi yang akan membawa kereta tersebut pergi menjauhi Delft,membawanya pergi dari kota ini, laki laki yang pernah ada dalam hidupku, mewarnai hidupku dengan warna warna indah, dan meninggalkannya lagi dalam hitam putih.
Prana, laki laki yang jelas berbeda dari laki laki lainnya di kampus, ketika laki laki lain sibuk mencari tahu bagaimana cara mendekati perempuan dengan gaya pakaian yang up to date, laki laki ini setia dengan lagu bergenre metal nya, sambil fokus ke arah laptop, mengerjakan pekerjaan pekerjaan nya yang ia dapatkan bahkan sebelum lulus dari sekolah Arsitektur dengan pembawaannya yang tetap tenang walau tugasnya kadang belum selesai di 3 jam terakhir sebelum deadline. Mencoba berbicara padaku, dengan dunia nya yang luas, dan bagaimana cara ia memandang dunia dari titik yang berbeda. Membuatku jatuh cinta padanya, pada hidupnya, pada caranya memandang sesuatu dari sisi lain, membuatku sadar bahwa dunia ini luas, bahwa dunia ini masih punya segelintir pemikiran yang berbeda, dari yang kutemui seperti biasanya. Dulu. Dulu ia sempat membuatku jatuh cinta, betul betul dimabuk cinta. Sehingga aku yang menggebu gebu ini juga heran, mengapa bisa jatuh cinta dengan laki laki yang kalem dan menghadapi segalanya dengan tenang. Aku adalah cerminan kebalikan sifat Prana.
Dan kini Prana pergi meninggalkan galian kenangan yang terkubur dalam, terbuka dan keluar dengan sendirinya. Sambil melihat ke arah jendela bis, pikiran ini muncul lagi setelah sekian lama aku tidak mempertanyakannya.
“Mengapa dulu kami berpisah? “

***

Selama hidup di Belanda aku tinggal di sebuah rumah bertingkat tiga bergaya modern di sisi jalan kecil yang sedikit sepi dan memiliki jumlah total sepuluh kamar. Sebuah rumah yang entah sejak kapan disewakan khusus untuk murid murid yang berasal dari tanah Asia, entah memang sengaja atau tidak sengaja. Asia timur, asia tengah, bahkan Asia tenggara, seperti aku dan beberapa orang yang tinggal disitu, jumlah kami totalnya sepuluh. Satu satunya tempat yang membuatku tidak merasa asing, tidak ada orang yang tingginya melebihi batas wajar tinggi orang Asia, kecuali satu, laki laki yang punya tinggi 180 centi yang selalu ada di dekatku.
Setelah pulang dari stasiun, aku membuka pintu rumah, semua lampu di dalam gedung bertingkat tiga ini masih menyala terang, menandakan bahwa orang orang didalamnya masih terjaga, belum merasa lelah setelah menjalankan aktivitasnya hari ini. Setelah melangkahkan kaki menuju ruang tengah berisikan tiga sofa Loveseat menghadap ke arah sebuah tv flat screen yang sedang menayangkan film yang aku tidak tahu judulnya, aku langsung duduk di lengan sofa yang masih kosong, sambil melihat seluruh teman temanku sedang duduk dan menatap layar televisi dengan fokus, kalau begini ceritanya pasti berakhir ketiduran di ruang tengah sambil meninggalkan seluruh tugas kuliah. Namun Prana sukses membuatku tidak tergiur untuk bergabung dan menarikku untuk pergi ke kamarku di lantai dua, aku benar benar terlalu lelah untuk hari ini.
Aku baru saja menaiki empat anak tangga ketika seseorang menarik lenganku menahanku untuk naik. “ Dari mana aja? “ Tanya Keiko. Laki laki berambut model top knot tersebut melihatku dengan tajam, mata nya agak sipit namun malam itu aku dapat melihat bola matanya yang berwarna cokelat disinari cahaya lampu dengan sangat jelas. Ia nampak serius, kali ini ia tidak main main.
“ I need rest, Kei “ Aku melanjutkan langkahku namun ia mengikutiku dari belakang.
“ Its him, right? “ Tanya Keiko ketika aku mencari cari kunci kamar di dalam tas ku. Aku melihat ke arahnya, wajahnya nampak khawatir, mungkin takut aku pulang dengan keadaan yang buruk atau mabuk. Aku yang berada di anak tangga yang lebih tinggi darinya membuatku hampir sepantar dengan tubuhnya yang tinggi dan tegap hanya melihat ke arahnya, mencoba menyembunyikan pikiran kalut yang sebetulnya kini memenuhi diriku. Keiko pasti tahu dari Martin bahwa tadi aku bertemu dengan Prana. “ Gue tau dari Martin, and If there’s something you want to tell just tell me “ Ucapnya.
“ Really, gak ada yang terjadi, tadi Cuma semacam reuni kecil “ Ucapku tersenyum. Butuh beberapa saat sampai akhirnya Keiko menganggukkan kepalanya.
“ Okay then...have a good rest “ Ia melambaikan tangan ke arahku sambil turun dari tangga. Aku hanya diam melihat punggung atletisnya pergi meninggalkanku, lalu aku kembali bertolak masuk ke kamarku di lantai dua.
Keiko, merupakan seorang laki laki asli Jakarta blasteran Asia Timur dan Indo. Aku dan dia mendapatkan Beasiswa dari instansi yang sama sehingga dalam proses keberangkatan sampai hampir 1,5 tahun kami disini kami selalu bersama sama. Tinggal satu atap dengannya membuatku mengetahui traits nya dengan cepat, beberapa penghuni rumah bilang sifat kami merupakan satu produk yang sama dikemas dalam packaging yang berbeda. Ditambah lagi kami sama sama mempelajari Arsitektur di sini.
Ini lah, laki laki bermata sedikit sipit yang tingginya sedikit melebihi batas, hampir mencapai 180 cm, yang tentu saja membuatku lebih jomplang lagi ketika berjalan bersama nya, sampai sampai membuatku sedikit menyesal mengapa sewaktu kecil dulu aku tidak pernah berusaha untuk menaikkan tinggi badanku. Tubuh nya yang tinggi dan badan yang tegap dan atletis membuatnya seakan akan dapat menangkapku kapan saja jika aku mencoba kabur dari Belanda. Benar, ia adalah laki laki yang selalu menemaniku kapan saja, kemana saja dan dimana saja selama aku menempuh studi S2 di negeri kincir angin ini.
Ketika membuka pintu kamar aku baru saja teringat kalau aku harus mengerjakan tugas paper per kelompok dengan Keiko yang harus di asistensikan besok, mungkin itu mengapa Keiko menanyakan padaku mengapa aku pulang terlambat selama perjalanan pulang dari stasiun, aku langsung kembali ke lantai bawah dan menghampiri Keiko yang sedang mengambil air mineral dari dispenser di ujung dapur.
“ Keiko! I’m sorry, sorry, sorry, gue lupa banget sama tugas paper kelompok buat besok itu, apa apa, gue harus kerjain apa? “ Aku sedikit khawatir Keiko marah, karena sifatnya yang menggebu gebu dan selalu ceria, membuatku benar benar dapat dengan mudah membedakan suasana hatinya ketika sedang buruk atau tidak.
“ It’s already done “ Keiko tersenyum. Ia meninggalkanku di dapur. Aku masih takut Keiko marah, terakhir kali aku lupa dengan tugas kelompok, Keiko marah marah padaku, walau alasan nya adalah karena suhu hari itu sangat dingin, padahal seingatku kami sedang ada di awal musim panas. Dan percayalah, Keiko yang jarang marah benar benar menyebalkan ketika ia marah, sehingga aku tidak ingin melihatnya kesal atau marah untuk kedua kalinya.
“ But... “ Ucapku. “ I haven’t done anything yet “
Keiko berbalik ke arahku. Ia melihat ke arahku sambil memikirkan hukuman apa yang pantas padaku. Sumpah, apa saja yang penting ia tidak marah lagi. “ Satu cup selama tiga hari ke depan “ Ucap Keiko terkekeh kekeh usil dan meninggalkanku di dapur.
Begitulah Keiko. Rupanya sudah cukup perkenalan tentang Keiko sehingga aku kembali ke kamar dan melanjutkan tidurku. Aku bernafas lega, namun juga sedikit cemas. Berharap tiba tiba saja Martin berbaik hati memberiku potongan harga untuk besok dan 3 hari ke depan walau nampaknya tidak mungkin. Baru saja merelakan gaji ku untuk berbincang dengan Prana, kini aku harus kehilangan uang jajanku untuk mentraktir Keiko.

***

Handphoneku berbunyi nyaring pada pukul 6 pagi, dengan malas aku mencari cari handphone ku entah di sisi bagian mana kasur. Prana menghubungiku untuk ke 3 kalinya, aku mengangkat telepon dengan suara parau, masih benar benar mengantuk dan baru terbangun.
“ Bangun sih, kuliah! Jam 7! “ Ucap Prana dari sambungan telefon. Entah sedang berada di mana namun suaranya terdengar sangat nyata.
Aku terbangun dengan cepat. “Seriously? “
“ Gak usah mandi, Cuma satu mata kuliah tapi penting, aku tunggu depan “ Ucapnya, aku melihat ke arah jendela, Prana sudah duduk di atas motornya, ia melihatku tajam, memintaku untuk segera bersiap siap untuk pergi ke kampus. Sedikit terkejut juga, ia sudah jauh jauh menjemputku karena tahu aku pasti begadang untuk mengerjakan tugas perancangan malam tadi.


***

30 Agustus 2012, Delft, Belanda.

Pagi itu pintu kamarku dihujani ketukan keras. Suhu terlalu dingin sehingga bukannya langsung membuka pintu, aku malah membenamkan diriku di dalam selimut. Rasanya aku tidak rela melepaskan indahnya tidur pagi ini. Namun ketukan pintu semakin kencang seiring dengan aku melihat ke arah jam tangan yang masih terpasang di lengan kananku sejak malam tadi, belum sempat terlepas karena ketiduran.
“ Tara!! Bangun atau kutinggal! “ Teriak Keiko dari luar, aku terkejut ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 pagi ketika aku ada ujian yang sama dengan Keiko pada pukul 7.15, karena dinginnya suhu Delft pagi ini aku dengan cepat mencuci muka, menggosok gigi dan mengganti baju dan menyisir rambutku agar tidak terlihat berantakan, aku dengan cepat membawa tas ku dan keluar dari kamar. Keiko sudah tidak ada di depan kamar, sehingga aku dengan cepat turun dan keluar dari rumah, ia sudah duduk di atas scooter vespa biru nya lengkap dengan helm hitam nya yang sempat ia beli di sebuah Tuesday market ketika kami jalan jalan di Den Haag setelah menghadiri acara di KBRI. Keiko nampak kesal, membangunkanku memang sesulit memindahkan gunung.
Aku dengan cepat duduk di belakangnya. Berpegangan pada baju yang ia gunakan. Bersiap siap karena aku tahu Keiko pasti membawa scooternya dengan kencang.“ Maaf! Semalam habis nonton Walking Dead! “ Ucapku terburu buru menggunakan helm. Keiko dengan cepat membawa motornya, sehingga aku harus berpegangan pada jaket hoodienya yang ia pakai hari ini dengan erat. “ Kei! Pelanin dikit! “
“ We’re running out of time! It’s our last exam before our auntumn break “ Teriak Keiko, sehingga aku harus berpegangan lebih erat pada pinggangnya.
Bagaimanapun aku dan Keiko terlambat, aku tetap tidak melewatkan kesempatan untuk menikmati angin pagi di kota kecil ini, setiap pagi ketika Keiko memboncengku pergi ke kampus menggunakan vespa bekas yang ia beli dengan harga yang cukup murah dengan bantuan dari Martin untuk memperbaiki part part nya yang rusak, baik itu kami terburu buru karena aku yang terlambat atau Keiko yang oversleep, maupun ketika kami tepat waktu sehingga kami dapat menikmati segelas kopi sebelum masuk ke dalam kelas, kami tidak pernah menyia nyiakan kesempatan untuk menikmati pagi hari di Belanda. Namun kali ini aku juga tidak begitu menikmatinya karena untuk pertama kalinya aku terlambat bangun untuk ujian yang cukup penting.
Aku turun dari motor setelah Keiko dengan asal memarkirkan motornya di parking lot kampus. “ Enjoyed it?”Tanya Keiko sambil membantuku melepaskan helm ku.
Aku mengangguk pelan selagi Keiko melepaskan helm ku “ Not so much “ Ucapku sedikit menggelengkan kepalaku.
“ But we have an exam to face, ayo, 10 menit lagi! “ Ucap Keiko sambil melihat ke arah jam tangannya, aku dan Keiko pun berlari menyusuri kampus untuk menuju ke ruangan ujian kami sambi mengatakan ‘Permisi’ pada banyak orang yang berlalu lalang.

***

Aku dan Keiko berjalan menyusuri koridor kampus, tidak seperti tadi pagi ketika kami harus berlari karena takut terlambat untuk masuk ke dalam ruang ujian. Beruntung, aku dan Keiko datang tepat ketika ujian akan dimulai, dan kami menjalani ujian dengan sangat lancar sehingga aku dan Keiko bisa berjalan dengan sangat santai dan menyambut liburan autumn break 3 minggu sebelum memasuki semester sibuk selanjutnya yang akan menjadi semester terakhir kami di TU Delft.
“ So....where did you gonna spend your holiday? “ Tanyaku sambil berjalan menuju tempat Keiko memarkirkan motornya. Keiko melihat ke arahku dari balik hoodie nya sambil sedikit menggigil karena suhu akhir musim panas yang sudah cukup dingin bagi kami yang bertahun tahun tinggal di daerah tropis. “ And you just wear a piece of hoodie, ketika suhu sudah mulai mendingin, lo kan gak kuat dingin, nggak usah so soan kuat “ Ucapku, mengingat Keiko yang kuat terhadap apapun kecuali dingin.
“ I can’t find my coat this morning, gue baru sadar kalau kemarin gue cuci dan belom kering, dan lo pake syal gue, by the way “ Ucap Keiko, aku melihat ke arah syal merah yang kugunakan beberapa hari ini. Tidak pernah sadar bahwa ini miliknya. “ Syal lo tertinggal di Bierhuis beberapa waktu yang lalu, Martin take it to his home and he always forget to bring it back to you, so, you borrowed mine “ Ucap Keiko sambil berusaha menghangatkan kedua tangannya. “ Tapi pake aja dulu, gue masih bisa handle suhu hari ini, lagian lucu kan, bahan lawakan banget kalau ujung musim panas pake winter coat “ Ucap Keiko, walau aku tahu ia sudah merasakan dingin sedingin musim gugur. Keiko benar benar lemah terhadap suhu dingin, bahkan lebih lemah jika dibandingkan dengn aku.
“ Sorry.... “
“ Nah, Het is oke. Jeez, akhir musim panas disini kaya nya nggak ada bedanya sama akhir musim gugur “ Gerutu Keiko yang terus memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaket. “ Back to holiday...lo emang lucky banget bisa pulang ke Indonesia liburan kali ini, meanwhile gue baru bisa kesana lagi sekalian pulang setelah semester sekolah kita beres “
“ Itu kali ya...kenapa dulu orang tua gue gak setuju banget ketika gue milih buat S2 ke San Fransisco, mungkin karena disana gak ada siapa siapa dan gue gak bisa pulang setiap setahun sekali kaya sekarang, kalau disini kan gue ada sanak saudara, walau itu di Amsterdam.. “ Ucapku.
“ Well, Delft udah jadi impian gue dari sejak gue berkecimpung di dunia arsitektur and that’s make me have to face the risk of not coming home in a year” Ucap Keiko. Aku mengangguk mengerti, Keiko memang benar benar mencintai bidang yang ia geluti ini, dapat dilihat dari dirinya yang selalu memperhatikan bangunan yang kami datangi setiap kali kami datang ke gedung baru, dan dilanjutkan dengan ngoceh tentang bagaimana struktur bangunan dan desain bangunan tersebut sampai kadang aku muak mendengarnya, sedikit mengingatkanku pada seseorang yang serupa, Prana. “ Tahun ini kayanya gue mau trip ke England, ada tiket pesawat murah “
“ Oh...I wish I could go there...tapi gue masih sangat memimpikan Santorini sehingga gak bisa melakukan trip kemanapun sampai gue bisa ke Santorini, kecuali trip trip kecil kaya Paris and Dortmund “ Ucapku.
“ I’ll bring you merchandise, tapi make sure you bring me some Indonesian food yang gak akan gue temukan disini, macem kripik yang pedes gitu... “ Ucap Keiko.
“ Mie lidi favorit lo pasti gue bawa “ Ucapku terkekeh, siapa sangka orang bertubuh atletis dan tinggi seperti Keiko ini sangat menyukai mie lidi, yang sering kali di makan oleh perempuan dan anak anak.
Aku tidak pernah habis topik walau kami menghabiskan waktu kami berdua sepanjang hari selama kami tinggal di negeri ini. Keiko yang cerewet ditambah aku yang menggebu gebu membuat kami mengomentari apapun yang ada di depan kami bahkan tentang seorang teman kampus kami yang menggunakan kaus kakinya dengan ketinggian yang berbeda. Sehingga pagi ini pun kami membicarakan tentang liburan kami yang dimulai detik ini juga, aku selalu terlarut dalam pembicaraan bersama Keiko, hingga tanpa terasa kami sudah sampai ke tempat parkir kampus.
“ Come on, let’s go home, gue bantu lo packing untuk besok lusa “

***

1 September 2012, Abu Dhabi, United Arab Emirates.

Aku menggunakan seat belt, tepat ketika pemberitahuan bahwa aku harus segera menggunakan seat belt karena dalam hitungan menit aku akan mendarat di Abu Dhabi International Airport untuk transit. Aku berusaha membangunkan sepupu perempuan Belanda ku yang duduk di sampingku, Jenna. Ia terbangun dengan wajah lelah dan menggunakan seat belt nya. Aku melihat ke arah jendela, tetap saja hanya awan yang ku lihat, karena duduk di baris tengah, aku tidak bisa melihat proses landing, lagipula aku sudah tidak begitu penasaran karena ini sudah ke sekian kalinya dalam dua tahun ini aku melakukan take off dan landing di Abu Dhabi.
“ You gonna join us for holiday?? “ Tanya Jenna selagi proses pendaratan. Aku menggelengkan kepalaku.
“ Sadly, no. I only have three weeks holiday and I will spend the two weeks in Bandung so I can’t join you for now, but I’m gonna coming back to Amsterdam with all of you and I promise you to takes you to cool places in Bandung when you’re arrive there, okay? “ Jenna mengangguk mengerti.
Jenna, anak pertama keluarga tante ku yang tinggal di Amsterdam akan menghabiskan waktu liburan di Abu Dhabi sebelum berkunjung ke Indonesia, sedangkan aku hanya akan menghabiskan waktu tiga jam di airport untuk transit dan langsung terbang ke Jakarta. Tante Erica berkali kali memintaku untuk ikut berlibur di Abu Dhabi selama satu minggu, namun aku menolak, rasanya sudah terlalu rindu dengan tanah Jawa. Tante Erica sedikit kecewa, namun ia mengerti. Ia tahu aku dan Jenna sangat dekat sejak aku tinggal di Eropa dan menginap di Amsterdam setiap satu bulan sekali, sehingga ia berharap bahwa aku dapat menemani Jenna selama di Abu Dhabi. Karena adik adiknya terpaut umur yang cukup jauh dengan Jenna seringkali membuatnya sedikit kesepian.
Pendaratan berlangsung dengan sukses, aku turun dari pesawat bersamaan dengan Jenna dan keluarganya. Suhu Abu Dhabi masih cukup panas di awal musim gugur, ditambah lagi suhu daerah pantai nya cukup membuatku ingin sekali melepas seluruh coat yang kugunakan selama di pesawat.
“ Hati hati ya, jangan sampai ketinggalan pesawat “ Ucap Tante Erica yang akan meninggalkanku di airport untuk melanjutkan perjalananku ke Jakarta setelah kami mengambil koper kami masing masing dari bagasi. Aku mengangguk. Ia nampak tidak dapat melepasku pergi sendiri, seorang perempuan bertubuh kecil dari Asia Tenggara dengan koper besarnya yang bisa diculik kapan saja. Namun aku mencoba meyakinkannya bahwa aku akan baik baik saja, aku sudah beberapa kali melakukan transit sehingga aku sudah cukup paham tentang apa yang harus ku lakukan.
“ I’ve done this for several times “ Ucapku sambil memeluk Tante Erica yang nampak masih juga nampak khawatir, Tante Erica memelukku erat sambil terus terusan menasehatiku untuk selalu melihat ke arah jam tangan agar tidak ketinggalan pesawat, setelah berpamitan, mereka meninggalkanku dan aku melanjutkan perjalananku menggunakan pesawat besar milik Etihad yang akan terbang ke arah Tenggara dunia.
Karena sudah terlalu lelah dengan penerbangan enam jam dari Amsterdam ke Abu Dhabi, aku memutuskan untuk tidak pergi keluar dan menghabiskan waktu 3 jam transit untuk beristirahat di Airport Lounge. Selagi aku duduk di Lounge, aku hanya melihat ke arah handphone, membuka beberapa account social media, melahap cemilan yang kubeli selagi aku masih di Amsterdam untuk mengganjal perutku dan membaca beberapa majalah Times yang disediakan oleh pihak bandara sambil menikmati lagu dari earplug yang terpasang pada iPod hitamku.
Suara Thom Yorke yang dengan merdunya menyanyikan lagu Karma Police membuatku memejamkan mataku perlahan setelah membaca halaman terakhir majalah Times edisi dua bulan yang lalu yang disediakan oleh pihak bandara. Setelah memasang alarm yang cukup kencang dan memastikan tidak ada orang yang akan membawa koperku aku memberanikan diri untuk mulai memejamkan mataku untuk 5 atau 7 menit.
Tiba tiba saja seseorang menepuk lututku pelan, aku membuka mataku sambil membuka earplug yang terpasang, aku melihat ke arah orang yang menepuk lututku. Seorang laki laki yang benar benar ku kenal, berdiri di depanku yang sedang santai duduk di sofa lounge terminal 3 ini.

(Continue to part 5)

No comments: