08 June 2015

De Tweede Vergadering (Part 5)

 Tiba tiba saja seseorang menepuk lututku pelan, aku membuka mataku sambil membuka earplug yang terpasang, aku melihat ke arah orang yang menepuk lututku. Seorang laki laki yang benar benar ku kenal, berdiri di depanku yang sedang santai duduk di sofa lounge terminal 3 ini.
 Aku sedikit berdebar saking terkejutnya melihat laki laki tersebut, sehingga aku tidak dapat berkata kata. “ Hai “ Ucapnya, aku masih sangat terkejut, dan terus melihat ke arahnya. “ Ini....coincidence atau gimana ya....” Ucap nya. Suara seraknya sangat akrab di telingaku. Aku masih terkejut melihatnya di depanku, di Abu Dhabi, tempat yang tidak pernah kupikir akan bertemu dengannya setidaknya untuk kali ini. Ia mengenakan jaket biru favoritnya yang sering ia pakai di masa kuliahnya di Bandung, celana jeans dan sepatu converse hitam dengan menarik koper besar dan menopang shoulder bag di bahu nya. Sosok yang kulihat masih sama dengan ia yang datang ke Delft beberapa minggu lalu dan kembali ke Jerman. 
 “ Aku memang akan pulang...Aku kan udah bilang waktu itu “ Ucapku. Ia juga tampak sangat terkejut. Tanpa berkata kata ia duduk di sampingku, melihat ke arahku. Seperti biasanya, aku tidak dapat menebak apa yang sedang ia rasakan sekarang, namun ia beberapa kali melihat lagi ke arahku, memastikan bahwa aku benar benar Tara. 
 “ Gak sangka ketemunya di Abu Dhabi dan lebih sempitnya lagi, terminal 3 kan Cuma untuk pernerbangan Etihad... “ Ucapnya. Aku mengangkat kedua bahuku, tanda tidak tahu. Ia melihat ke arah tiket nya yang sedari tadi ia pegang bersama dengan passport nya. “ Flight number? “ 
 Aku memberikan tiketku yang kusimpan di dalam leather sling bag yang kugunakan hari itu. Kami mencocokkan nya. Setelah melihat beberapa angka yang tertera pada tiket, Prana menghembuskan nafasnya kencang. “ Same “ Ucapku. 
 “ Wow...“ Ucapnya sambil bersandar pada sofa kembali menghelakan nafasnya panjang. Betul betul sebuah kebetulan yang menakutkan. Kami masih mencoba menenangkan diri menghadapi shock kecil ini sehingga untuk beberapa saat kami tidak saling berbicara. “ Jadi, kita di satu pesawat? Walau dengan jarak seat yang berjauhan? “ Ucapnya kembali membuka pembicaraan. Aku mengangguk pelan. 
 “ Well, kamu bisa dengan santai datang ke Delft tapi nampaknya kamu terkejut banget bertemu aku di Abu Dhabi “ Ucapku melihat ke arahnya, berpura pura tidak terlihat terkejut walau jantungku masih berdebar kencang. Ia melihat ke arahku. Ia beranjak dari sandarannya.
 “ Kita gak janjian, kita gak saling kontak, kita gak saling tau kalau kita mau ke Abu Dhabi, terlebih lagi pulang ke Indonesia, dan kita ketemu di tempat transit dari tempat yang berbeda, you came far away from Netherland by a local planes and I just come from Germany, and we’re taking the same plane, and we’re met in the lounge “ Ucapnya, entah terkejut, entah senang, aku masih tidak dapat menebak apa yang ia rasakan sekarang. Namun ia mengatakannya sedikit lebih cepat dari biasanya. Dan lebih banyak, dapat kusimpulkan bahwa ia benar benar sedang terkejut.
 Ia benar, sejak dari Delft, aku dan Prana belum pernah lagi saling kontak, maupun melalui e-mail ataupun media sosial, sehingga aku tidak pernah memberitahu Prana kalau aku akan pergi sekarang dan entah ini kebetulan atau memang takdirnya aku bertemu dengan dia, tapi ini memang sangat mengejutkan untuk kami berdua. 
 Sehingga kami berdua hanya diam dalam hening, sambil mendengarkan suara alunan musik dari speaker lounge. Aku beberapa kali melihat ke arahnya, mungkin sama seperti yang ia lakukan, memastikan bahwa ia benar benar Prana. 
***
“ Pran, nanti, kalau aku di Belanda, kamu di Jerman, kita janjian ya? Di Abu Dhabi, atau Dubai ketika transit “ Ucapku tersenyum. Setelah membicarakan kampus di eropa yang akan menjadi destinasi kami setelah lulus S1. “ Gak usah janjian, kalau kita mau pulang bareng ke Indonesia, aku jemput ke Delft “ Ucap Prana dengan tenang. “ Mahal...tau, sekarang aja bisa bilang gitu, nanti mah gak tahu... “ Ucapku. Prana menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingkingku. “ Promise “ Ucap Prana. “ Aku akan jemput kamu sebelum pulang ke Indonesia “
***
Sambil melihat ke arah kelingkingku, aku hanya diam, sudah tidak mungkin aku menunggunya untuk menjemputku ke Delft sebelum ia pulang ke Indonesia seperti yang ia janjikan dulu, Prana bukan lagi seseorang untukku. Bahkan berharap ia akan memberitahuku bahwa ia akan pulang pun nampaknya percuma. Aku melihat ke arahnya. “ Kok gak bilang waktu kamu ke Delft kalau akan ke Bandung dalam waktu dekat ini? “ Ucapku memecahkan fokusnya yang sedang membaca berita dalam bahasa Jerman dari handphone nya, ia melihat ke arahku. “ Family emergency, Ibu dan Bapak kan udah gak sekuat dulu lagi, Teteh mau lahiran dalam waktu dekat, aku harus bantu Aa beberapa minggu ini, kebetulan masih holiday juga, sekalian tengok yang lain, nge charge semangat buat tugas akhir juga...tapi risk nya, pulang dari sini langsung kuliah ” Ucapnya perlahan. Naya, pikirku dalam hati, Naya yang mungkin benar benar ia nanti nanti dalam kepulangannya kali ini, terlebih lagi untuk memulihkan tenaganya untuk menghadapi akhir semester yang akan benar benar sibuk. “ Teh Gani? Punya anak lagi? “ Tanyaku mencoba mengalihkan pikiranku dari Naya dan semua potongan potongan masa lalu yang perlahan lahan kembali muncul dalam benakku. Prana menangguk senang. “ Yup..anak ke dua” “ It’s been a long time ya... Lenna pasti udah gede deh “ “ Udah bisa skypean denganku, tunggu, aku punya fotonya “ Ucap Prana tersenyum. Ia mengeluarkan handphone nya, aku mengintip ke arah foto yang terpampang di halaman home nya, dan aku hanya terpaku diam, melihat siapa yang ada di wallpaper smartphone nya, foto dirinya dengan Naya, saling kontak melalui skype. Aku mulai melamun, kembali terpikirkan olehku, apa ia masih menyimpan fotoku dan dia. Lamunanku buyar ketika Prana memperlihatkan foto Lenna yang sudah menggunakan seragam tk. Aku tersenyum senang, sedikit rindu juga dengan Lenna, keponakannya yang kadang takut padaku ketika aku datang ke rumah Prana, namun kadang juga ingin mengantarku pulang sampai keluar dari pagar dan benar benar pergi dari pelataran rumahnya. Aku masih fokus pada foto foto Lenna, perkembangannya dari kecil sampai sebesar ini, namun tiba tiba saja Prana melihat ke arahku, lalu ia menautkan kelingkingku dengan kelingkingnya. “ Dulu aku pernah janji kalau aku pulang aku akan jemput kamu di Delft “ Ucap Prana. Aku terkejut melihat ke arah Prana, ia masih mengingatnya, janji nya yang kupikir akan hanya menjadi sebuah janji kecil yang sudah ia lupakan. “ Sorry, that I don’t pick you up “ Ucap Prana tersenyum. Ia melepaskan kelingkingnya dan kembali bersandar pada sofa. Ia mencoba memejamkan matanya sementara mataku terus melihat ke arahnya. Mencoba mengerti dan tidak lagi berharap suatu hari nanti ia akan menjemputku ke Delft.
***
“ You’re already feel comfortable, Miss? “ Tanya seorang pramugari Etihad dengan seragam hitamnya ketika ia melewatiku. Aku menganggukan kepalaku. “ Thank you.. “ Ucapku tersenyum, ia meninggalkanku yang duduk di baris tengah pesawat. Dan hari ini, aku memutuskan untuk tidak lagi memejamkan mataku selama perjalananku dari Abu Dhabi menuju Jakarta, setelah menunggu 2 jam dalam percakapan percakapan singkat, dan proses take off yang sukses, duduk di samping aisle membuatku dapat dengan jelas melihat seseorang yang juga duduk di samping aisle di row yang berbeda 3 kursi di depanku. Prana. Nampaknya ia akan menghabiskan perjalanan dengan tidur, sedangkan aku yakin bahwa aku tidak lagi bisa tidur untuk perjalanan kali ini, pertemuan kami di Abu Dhabi yang cukup mengerikan dan lebih dari sebuah kebetulan membuka lagi kenangan kenangan, rencana rencana dan janji janji ketika aku dan dia berencana untuk melanjutkan studi ke Eropa. Jika kami masih bersama mungkin seharusnya aku sedang duduk di sampingnya untuk perjalanan ini, tidak sendirian dan duduk dengan dua orang wanita sosialita yang nampaknya baru saja berbelanja di Abu Dhabi, menghabiskan uang suaminya. “ Duh jeng emang nih bagus bagus banget barangnya yang gue dapet “ Ucap wanita yang duduk di sampingku, perawakannya tidak beda jauh dengan Syahrini, yang entah sekarang masih berduet dengan pasangannya Anang atau tidak karena aku sudah tidak lagi mengetahui apapun tentang kehidupan showbiz Indonesia. Aku kembali melihat ke arah Prana, namun nampaknya kini ia sedang melihat ke arahku, menggerakkan tangannya memberi isyarat agar aku menghampirinya. Aku perlahan berdiri dan menghampirinya tanpa mengganggu orang orang yang ingin beristirahat di dalam pesawat pada siang hari itu. Prana menepuk kursi yang kebetulan kosong di sampingnya, entah karena penumpangnya membatalkan terbangnya atau bagaimana, ia memintaku untuk duduk disitu. “ Gak usah “ Ucapku kembali sambil berbalik, tiba tiba saja Prana menarik lenganku pelan. “ Take your coat, your bag, and sit here, ini perjalanan jauh, Tara, gak 1 jam 2 jam. Aku tahu benar kamu enggak bisa baca buku di perjalanan, walaupun kamu itu benar benar suka membaca “ Ucapnya dengan pelan, tidak ingin orang orang dapat mendengar suaranya dengan jelas. Begitulah Prana, ia dengan mudahnya memaksaku untuk mengikuti sarannya dengan cara khas nya, melihat ke arah mataku dengan tajam, tanpa tersenyum sedikitpun. Aku pun langsung mengambil jaket dan sling bag ku dan duduk di sampingnya, tepat di samping jendela. “ Emang gak akan ketahuan? “ “ This is a nonstop flight jadi gak mungkin ada orang yang tiba tiba datang duduk di seat ini kan, tenang lah. “ Ucap Prana. Aku mengangguk pelan. Dan disini aku duduk,di samping Prana, dalam 6 jam perjalanan dari Abu Dhabi menuju Jakarta. Tepat seperti seharusnya jika kami masih bersama. Dan untuk pertama kalinya lagi duduk di samping jendela sehingga aku dapat melihat awan yang menutupi dataran Asia ini dengan jelas, setelah lama tidak melihat awan dalam penerbangan. “ Ke Bandung naik apa? “ Tanya Prana. “ Travel dong, apa lagi “ “ Mau bareng? “Aku sedikit terkejut akan ajakannya, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ia hanya ingin menjadi teman untuk perjalanan panjangku kali ini. “ Okay... “ Ucapku mengangguk setelah menghelakan nafasku. Kami kembali hening, aku meletakkan earplug ke telingaku. Prana benar, sebesar apapun kecintaanku pada buku aku tidak pernah bisa membaca dengan fokus jika aku ada di dalam sebuah perjalanan, walaupun itu buku fiksi favoritku. Aku menyalakannya dengan volume yang cukup besar, dengan sedikit maksud agar aku tidak perlu berbicara banyak dengan Prana karena aku tidak tahu apa yang harus ku katakan padanya dalam perjalanan panjang ini, sehingga aku tidak sadar bahwa Prana sudah memanggilku beberapa kali sampai ia menepuk pundakku. “ You need something? Aku mau ke wc, kalau sekalian you want an O.J or, anything else aku bisa mintain ke belakang “ Ucap Prana yang sudah bersiap siap berdiri dari kursi nya. “ No, no, I’m fine “ Ucapku tersenyum. Prana pun berdiri dan meninggalkanku. Aku melihat ke arah jendela, melihat awan dan langit yang agak oranye, entah ini sudah dimana namun bagian dunia ini sudah akan menghadapi sore hari sehingga aku sangat yakin akan datang ke Indonesia di malam hari atau subuh. Setidaknya view langit dari atas sini membantu menenangkanku, menjernihkan pikiranku akan apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi Prana yang penuh kejutan kali ini. Prana kembali datang dan duduk di sampingku lagi. Ia bersandar pada kursi, melihat ke arahku. “ What? “ Tanyaku yang merasakan tatapan tajam menghujamku sebelum kembali menggunakan earplug, sejak dulu ia memang tidak dapat melepaskan hidupnya dari musik, sehingga ia akan sangat sengsara jika ia kehilangan earplug nya. “ Jadi inget, dulu kita pernah jalan bareng setelah putus, watching movie in cinema, sit like this “ Ucap Prana terkekeh pelan. “ And hold my hand “ Ucapku pelan, aku juga tidak tahu mengapa kata kata tersebut keluar dari mulutku secara otomatis. “ Kiss your hand “ Ucap Prana melanjutkan, kami saling bertatapan, menciptakan suasana yang sedikit canggung dan langsung memalingkan wajah masing masing, malu. “ I’m going to have some sleep “ Ucap Prana mengenakan hoodie jaket birunya dan mengatur posisi tidurnya. “ Yeah me too “ Ucapku bersandar ke kursi sambil melihat ke arah jendela, membuat alasan di tengah tengah kecanggungan yang terjadi. Aku kembali menggunakan earplug ku, mendengarkan lagu sambil melihat langit yang semakin gelap, semakin gelap, gelap, dan gelap... Hingga tanpa terasa kebosanan perjalanan panjang ini dikalahkan oleh rasa kantuk yang kembali datang.
***
Ia memegang tanganku perlahan dan menciumnya dengan kecupan kecil. Aku hanya diam, dan melihat ke arahnya, mengingat kini aku dan dia sudah tidak lagi bersama, ia bilang hari ini mungkin untuk terakhir kalinya kita jalan bersama. Aku pun tidak melepasnya, selama film berjalan, aku dan dia terus berpegangan tangan, mengetahui fakta bahwa setelah ini mungkin tangan kita tidak akan lagi bertemu, bahkan mungkin mata kita tidak lagi saling bertatap. Seetelah film selesai dan lampu di nyalakan, ia melepaskan pegangannya, tanpa melihat ke arahku mengajak untuk pulang dan keluar dari teater. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi berhubungan langsung dengannya.
***
“ Wake up please “ Ucap seorang pramugari dengan nada sopan yang membuat kami terbangun, tidak sadar aku sudah bersandar pada pundak Prana dan ia merangkulku selagi tadi aku tertidur, kami bangun dalam suasana awkward di depan flight attendant berwajah Arab tersebut. “ We’re gonna land in 20 minutes, I hope you can check your belongings and prepare for the landing, we’re already in Indonesia “ Ucapnya tersenyum dan meninggalkan kami setelah memastikan kami dapat menggunakan seat belt kami. Kami hanya diam, tidak saling bertatap. Aku diam diam melihatnya, begitu juga Prana, dan ia hanya tertawa kecil, begitu juga aku. Dan kami tertawa, mentertawakan kejadian awkward kecil ini. Entah apa yang membuatnya merangkulku, dan entah apa yang membuatku menyandarkan kepalaku pada bahu nya. “ Sorry, my mistake “ Ucap Prana tersenyum. I really hate to admit it but it feels like bahwa ini merupakan tidur ku yang paling nyaman selama aku melakukan perjalanan udara. Bahkan niatku untuk tidak tidur hilang dengan mudahnya tergantikan dengan tidur empat jam dengan sangat nyenyak. Namun entah mengapa hal ini sedikit mencairkan suasana canggung yang terjadi sejak kami bertemu di Lounge. Landing berlangsung dengan sukses, aku dan Prana turun dari pesawat dan menghirup angin tropis khas Jawa setelah sekian lama tidak menghirupnya, aku sedikit menggigil kedinginan karena kami sampai di dini hari yang dingin. Kami berjalan dalam diam, mengambil koper dan keluar dari terminal. Prana menghelakan nafas panjangnya. “ Home...” Ucap Prana tersenyum, aku hanya melihat ke arahnya yang sedang menikmati angin di landasan udara bandara Soekarno Hatta. Setelah mengambil koper kami keluar dari terminal, bandara cukup ramai walau waktu setempat masih menunjukkan pukul 3 pagi waktu Indonesia Barat. “ Prana, emang ada travel jam segini “ Tanyaku ragu. “ Cari dulu aja yuk “ Ajak Prana sambil melihat ke arahku, ia membantuku membawakan sling bag yang sedari tadi ku bawa sementara aku hanya menarik koper besarku yang cukup berat. Aku membiarkannya berbincang sendiri dengan travel agent yang membuka counter di dekat pintu keluar arrival gate, sementara aku tidak dapat melepaskan pandanganku darinya, mencoba sekeras mungkin mengatakan pada diriku sendiri bahwa kini kami hanya sebatas teman, tidak lebih. “ Tara, ada yang berangkat jam empat “ Ucapnya, aku hanya mengangguk selagi masih mencoba mengabari keluargaku di rumah agar menjemputku pukul tujuh pagi di Bandung. Aku memberikan uangku yang sudah sempat ku tukar di money changer Bandara, Prana membeli tiket travel sementara aku berbicara dengan adik laki laki ku yang terbangun dengan malasnya. Kami mencari tempat duduk untuk menunggu travel kami datang, kepalaku mulai terasa sangat berat karena terlalu banyak tidur, aku pun mencari cari obat sakit kepala untuk meringankan sakit kepalaku dan meminumnya selagi aku duduk menunggu travel sedangkan Prana mencoba menghubungi keluarganya. “ Omong omong, siapa yang sering muncul di facebook mu itu?” Tanya Prana setelah ia selesai berbicara dengan kakak laki lakinya melalui telepon. “ Itu, orang Indonesia yang fotonya sering sama kamu. Yang rambutnya top knot agak cokelat “ “ Oh....itu, Keiko “ “ Temen? “ Tanya Prana terkekeh kekeh. Nampaknya ia benar benar ingin tahu apa aku sempat dekat lagi dengan laki laki lain setelah berpisah darinya. “ Temen! “ Ucapku sedikit jengkel. Prana hanya tertawa kecil. Kami kembali diam, aku sangat ingin mengatakan bahwa aku belum bisa lagi memiliki hubungan dengan laki laki lain setelah berpisah dengannya, walau sudah sempat dekat dengan beberapa orang Belanda selama tinggal di Eropa. “ Naya kuat ya kamu tinggal lama “ Ucap ku. Prana pun hanya diam sambil melihat ke arahku. “ Kuat “ Ucapnya singkat. Ia terlihat sangat ingin mengalihkan topik pembicaraan ini, entah karena risih karena ada di dekatku, entah karena rasa bersalah nya. “ Lama juga ya, kamu dengan Naya “ Ucapku. Prana tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil ke arahku. Tidak menjawab.
***
Selama perjalanan ke Bandung kami tidak tidur, aku dan Prana saling menceritakan bagaimana kuliah kami masing masing di Jerman dan di Belanda. Prana menceritakanku bagaimana mahalnya barang barang di Jerman dan ia sempat hampir bangkrut di awal awal perkuliahan karena belum terbiasa mengatur uang Euro. Bagaimana ia berusaha mengerti apa yang dosennya katakan dalam mata kuliah yang tidak menggunakan bahasa Inggris untuk pengantar kuliah dan bagaimana ia mencari cari Asian Food ketika ia sudah terlalu lapar dan sudah terlalu boros mencari pengganti karbohidrat. Bagaimana ia tetap bermusik dengan beberapa teman teman satu flat nya dan tetap menjalankan hobi nya. Aku bercerita bagaimana aku dan Keiko mencari motor bekas yang dijual agar kami lebih mudah untuk pergi ke kampus, bagaimana aku bisa sangat dekat dengan Martin dan bagaimana aku bertahan ketika sedang bokek bokeknya dan cerita cerita ku selama menjadi nanny. Dan bagaimana aku harus merelakan tidurku untuk bangun di pagi hari, hanya untuk mencari buku buku fiksi di free market yang diadakan setiap hari Rabu di sebuah lapangan kecil di dekat kampusku. Sejak dulu aku dan Prana memang memiliki sedikit perbedaan, selain Prana yang lebih tenang dan aku yang menggebu gebu. Aku menghabiskan waktu ku untuk mendengarkan lagu lagu classic rock, dan beberapa lagu post rock sementara Prana lebih banyak mendengarkan lagu heavy metal dan folk. Aku menghabiskan uangku untuk membeli buku buku fiksi, sementara Prana menghabiskan uangnya untuk buku yang lebih berguna dari sekedar hiburan. Aku dapat menikmati seluruh genre film, sementara Prana lebih menikmati film film yang harus berfikir keras dan film film fiksi yang surealis. Namun perbedaan perbedaan itu tidak menghalangi kami untuk terus bersama, dan mengetahui bahwa di tengah tengah perbedaan itu ada sedikit kesamaan kecil diantara kami yang mengikat kami untuk terus menjalani hubungan kami dengan perbedaan perbedaan yang kami miliki. Ya, setidaknya sampai sebelum ego kami masing masing akhirnya membuat kami berpisah. Prana menceritakan segalanya dalam perjalanan 2 jam tersebut, seakan ia mencoba kembali membawaku pada dunia nya, kembali membawaku pada cara pandangnya yang pernah membuatku jatuh cinta. Ia kembali lagi menghadirkan dirinya, Prana yang tidak dapat lepas dari musik, pekerja keras, dan juga berwawasan luas, dengan pembawaannya yang tenang seperti biasanya, walau terkadang sedikit mudah marah dan sedikit sulit mengekspresikan perasaannya. Namun aku terlalu terlena, ingin mendengar seluruh ceritanya, ingin tahu apakah ia masih sama seperti Prana yang dulu, atau sudah berubah sehingga menghadirkan Prana yang baru, hingga tidak terasa kami sudah sampai di pull travel di bilangan Cihampelas ketika matahari sudah sepenuhnya terbit. Ia sudah terlebih dahulu dijemput oleh kakaknya yang dapat kami lihat dari jendela mobil, kakaknya nampak sangat terkejut melihatku dengan Prana turun dari travel. “ Tara, kok..bareng? “ Tanya laki laki yang umurnya tidak berbeda jauh dari kami, namun rambutnya yang botak plontos membuatnya terlihat sedikit lebih muda dari umur sebenarnya. Aku menjabat tangannya. “ Scary kan, kita ketemu di Abu Dhabi... “ Ucap Prana. Aku hanya tertawa. Kakaknya nampak tersenyum jahil melihat Prana, aku tahu betul apa maksud dari senyumnya. Kakak mana yang tidak ingin menggoda adiknya ketika adiknya sudah puber, walau adiknya sudah mencapai umur yang cukup dewasa untuk merasakan cinta. Ya, aku termasuk dalam kategori kakak tipe tersebut, karena walaupun adik laki laki ku yang terakhir sudah duduk di tahun kedua di SMA, aku tetap saja menggodanya jika ia bercerita padaku bahwa ia menyukai seorang perempuan, dan aku selalu menggoda adik perempuanku yang kini sudah duduk di tahun terakhirnya di SMA setiap kali Mama menelefonku dan menceritakan padaku bahwa adikku baru saja diantar oleh seorang lelaki di malam minggu. Aku terus menggoda mereka walau aku berada jauh di Belanda. “ Ya udah, mau gabung gak Tar? “ Ucapnya menawarkan. Prana nampak tidak berkutik di depan kakaknya sehingga aku juga sedikit menahan tawa ku melihat Prana. “ Adikku udah jalan kesini “Ia mengangguk mengerti, ia pun berpamitan denganku, ucapnya ia juga harus buru buru karena masih ada pekerjaan lain di kantornya, ia pergi meninggalkan kami sambil menarik koper Prana. Aku dan Prana pun hanya saling melambaikan tangan, mengucapkan sampai jumpa dan ia mengikuti kakaknya masuk ke dalam mobil. Baru saja mesin mobil dinyalakan, Prana kembali turun, menghampiriku. “ Pulang ke Belanda lagi kapan? “ Ucapnya, sedikit berantakan seperti tidak tahu apa yang harus katakan. “ 2 minggu disini pokoknya...Kenapa? “ “ I have something to gave to you....tapi nanti, setelah Teh Gani lahiran, sooo....it would be, next week? Aku ke rumahmu, masih di sana kan? “ Aku mengangguk. Karena tentu saja aku tidak pernah pindah pindah lagi sejak aku tinggal di sana di umurku yang ke 2 tahun. “ Okay, nanti ku kabari lagi....bye “ Ucap Prana singkat, kami saling melambaikan tangan, Prana masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan pelataran parkir pull travel Cipaganti cabang Cihampelas. Dan disini aku duduk, menikmati angin pagi kota Bandung yang sudah sangat lama tidak aku hirup. Melihat crowded nya jalanan Cihampelas di pagi hari Sabtu ini. Masih terbayang dalam benakku, bahwa pagi ini aku baru saja melakukan perjalanan yang cukup panjang dari Abu Dhabi, ke Jakarta, dan ke Bandung dengan seseorang yang tidak pernah kusangkasangka akan kembali muncul di hadapanku. Bahkan sampai adikku menjemputku dengan mobil Jazz silvernya aku tetap tidak dapat melupakan bahwa pagi itu aku terus memperhatikan binar matanya yang sangat terang ketika ia bercerita tentang Jerman, negara tujuan yang menjadi cita citanya sejak kecil. Bagaimana ia mendengar ceritaku, seakan sangat tertarik untuk mengetahui bagaimana kehidupanku selama aku di Belanda. Pertemuan kami di Abu Dhabi kembali membuka kenangan kenangan yang ku coba lupakan di Belanda. Dan keberadaanku di kota Bandung memudahkanku membuka kenangan kenangan tersebut satu persatu
.
***

(Continue to part 6)

No comments: