“Het is oke , ik weet dat je moet echt blij zijn als iemand uit duitsland komen hier om je te zien “ (Tidak apa apa, kamu pasti sangat senang ketika ada seseorang datang padamu dan lagi dari Jerman) Ucapnya mencoba menenangkanku, mungkin sudah terlalu banyak kekhawatiran yang ia tangkap dari caraku meminta maaf padanya. Aku menyeringai senang, Aidan juga nampak senang bertemu dengan neneknya, yang pasti memanjakannya seharian ini walau ia sedikit kecewa karena aku harus pergi.
“ Maak je geen zorgen over Aidan , en neem de tijd. Laat hem zien hoe groot is Delft” (jangan khawatir tentang Aidan, gunakan waktu mu dan perlihatkan bagaimana indahnya Delft)
“ Aidan, be nice, ok ? “ Ucapku sambil sedikit membungkuk melihat ke arah Aidan yang sudah berdiri di samping neneknya, memegang jari jari neneknya dan mengangguk. Ia sedikit menarik jari jari neneknya, tidak sabar dengan kue yang sering kali dibuat oleh neneknya setiap kali menengok ke rumah Aidan ketika aku sedang menjaganya. Sebetulnya aku juga sangat menantikannya, kue cokelat dengan sedikit butiran keju yang rasanya luar biasa lezat mengingatkanku pada nenek ku di Bandung. Namun aku harus mengharapkannya lain waktu, mengingat kini Prana sedang berdiri di belakangku, menungguku. Aku pun pergi meninggalkan teras setelah berterimakasih untuk kesekian kalinya.
Aku menuruni 3 anak tangga rendah menuju trotoar jalan. Prana sedang memasukkan tangannya ke dalam saku parka nya, melihat ke sekeliling, seperti kebiasaannya, ia memang sangat senang memperhatikan sebuah tempat baru. Cuaca Delft di akhir musim panas sudah mulai terasa dingin. Menghitung hari untuk benar benar masuk ke musim gugur dan harus kembali bersiap untuk menghadapi musim dingin. Dimana winter pertamaku di eropa betul betul menyiksaku, namun nampaknya musim dingin kali ini tidak akan separah tahun lalu. Tapi tetap saja baru memasuki akhir musim panas pun aku sudah harus mengenakan kemeja tebal dan syal kemana mana. Serius, suhu Eropa belum juga mau menerimaku dengan baik sehingga dengan semena mena suhu ini menyiksaku dan membunuhku secara perlahan.
Dalam perjalanan, sesekali aku melihat ke arah Prana yang tetap lebih tinggi dari ku. Entah aku yang tidak juga tumbuh tinggi atau memang laki laki ini yang pertumbuhannya terlalu pesat. Sejak dulu, selalu saja begini. Tinggiku yang tidak sama sekali berkembang dari 155cm nampak sangat jomplang di bandingkan dengannya yang memiliki tinggil 175cm. Aku semakin terlihat seperti kurcaci, mungkin jika aku dengan Prana naik ke dalam bus yang sama di sini, kondektur nya akan mengira bahwa aku adiknya dan memberi setengah harga seperti harga anak anak. Atau lebih parahnya, aku akan dianggap sebagai anaknya.
“ Jadi juga kuliah di Belanda “ Prana menoleh padaku tiba tiba ketika aku sedang melihat ke arahnya. Aku langsung memalingkan wajah, kembali melihat ke arah pepohonan yang membayangi trotoar, menghasilkan suara suara yang ikut meramaikan suasana dan berpaduan dengan suara angin. Sedikit malu karena sudah berkali kali tertangkap basah sedang memperhatikan dirinya.
“ Ga boleh? “ Aku mendongkak sedikit menengadah melihat wajahnya.
“ Ya boleh, tapi, kalo ga salah ada yang udah nyerah gitu pas tingkat 2... “ Ucap Prana dengan nada jahilnya, ia tersenyum jahil sambil melirik ke arahku. Aku menyikutnya pelan, biasanya dulu aku langsung menjewernya, dan berakhir ia memelukku. Namun kini aku menahannya. Dan ini sedikit terasa berbeda.
“ Wah parah ya kamu bawa bawa masa lalu “
“ I said so, that you can do it “ Ucapnya singkat. This is what I hate, ketika ia mengatakan “sudah ku bilang” setiap kali aku sedikit panik dan ia menanggapinya dengan tenang. Lalu setelah melewati masa masa panik itu ia akan mengatakan hal tersebut. Aku betul betul iri dengan caranya menghadapi masalah masalah semasa kuliah dulu, ia tetap tenang sementara aku tersiksa dengan ke panikanku.
Dan kami pun kembali terjebak dalam hening, melangkahkan kaki di atas trotoar dengan daun daun kering yang berserakan, diselimuti angin dingin kota kecil ini. Aku kembali melihat ke arahnya, sedikit kerinduan muncul, namun ia bukan lagi milikku, ia bukan lagi laki laki yang dapat ku hubungi hanya untuk mencari segelas kopi di tengah malam atau mengendarai motornya untuk menjemputku di kampus setelah mengikuti kegiatan himpunan di malam hari.
Kami kembali hening, sesekali aku melihat ke arah jalan, sesekali kembali melihat tulang tulang rahangnya yang tegas, garis garis yang dulu kerap kali ku kecup ketika aku dilanda rindu. Namun kini kami hanya berjalan berdampingan, tanpa saling menautkan jari, sementara jari jari kami sibuk sendiri mencari tempat hangat di saku saku yang ada pada pakaian kami. Walau tanpa sadar rasanya rinduku berteriak minta keluar dari hatiku yang terkunci rapat.
“ Udah pulang ke Bandung? “ Tanya Prana sambil bersiap menyebrang jalan arteri yang cukup lebar.
“ Next month juga berangkat ke Bandung, kebagian autumn break karena ambil summer semester tahun ini “
Prana hanya mengangguk mengerti. Kami terus berjalan sampai ke pertigaan, tanpa melihat ke arah lampu stopan dengan terburu buru aku turun dari trotoar ke jalan, namun tiba tiba ia menarikku, bertepatan dengan sebuah skuter yang melaju dengan kecepatan tinggi hampir menyerempetku. “ Kamu tuh kebiasaan kalo nyebrang gak hati hati, gak di Bandung gak di Belanda “ Teriak Prana sambil melihat ke arah lampu stopan belum menunjukkan kami boleh menyebrang. Aku menghelakan nafasku, aku pasti sedang terburu buru sehingga kebiasaan burukku kembali muncul.
Ketika lampu stopan tanda kami boleh menyebrang berubah menjadi hijau, Prana langsung menarik lenganku sambil berjalan melalui zebra cross bersama para penyebrang lainnya. Prana langsung melepaskan tangannya setelah kami sampai di seberang jalan dan dengan cepat memasukkan tangannya ke dalam saku jaket nya. “ Lihat lihat kalau mau nyebrang ” Ucap Prana sedikit kesal.
“ Kamu, nyebrangnya gak hati hati! “ Ucap Prana menarikku yang hampir terserempet motor. “ Liat kanan kiri kalo jalan! “ Ucap Prana, ia langsung menggenggam erat tanganku, mengajakku menyebrang dan selalu berpindah ke sisi arah mobil melaju. Walau yang kutahu ia sedikit pendiam dan selalu tenang, untuk masalah ini ia selalu memarahi ku dengan sedikit keras.
“ Sori “ Ucapku singkat. “ Lalu ini pengangannya ga akan di lepas? “ Tanyaku melihat ke arah Prana yang masih menggenggam erat tanganku sebelum masuk ke dalam toko buku Djawa di jalan braga. Prana hanya tersenyum.
“ Gak apa apa lah, biar dunia tau kalo kamu udah milik aku, gak bisa lagi direbut orang”Ucapnya, entah dari mana ia belajar kata kata itu, namun siang itu ia berhasil membuat wajahku memerah.
“ Mikirin apa sih? “ Tanya Prana, aku terkejut dan langsung melihat ke arahnya. Ia sudah memegang dua cup dengan uap panas tersembul dari dalam cup. Sambil duduk ia meletakkan satu cup capucinno panas dengan choco granule di depanku dan segelas kopi hitam untuk ia nikmati sendiri. Aku melihat ke arah cup tersebut.
“ Kok tahu extra choco granule nya? “ Ucapku heran, choco granule memang komponen wajib di atas foam cappucinno ku setiap kali aku memesan cappucinno. “ Masih inget apa gimana “ Aku betul betul berusaha menahan senyum lebarku, terkejut karena ia masih mengingat kebiasaanku.
Prana terkekeh kecil. “ Waktu aku pesen, baristanya, barista nya sebut nama kamu gitu, dia langsung bilang capucinno with granule, emang kamu langganan disini? “
Ada kekecewaan ketika aku mendengarnya. Rupanya dia sudah lupa tentang kebiasaan anehku yang satu ini. Aku pun melihat ke arah meja bar, seorang laki laki caucasian berambut pendek dan pirang berdiri di belakang bar, dengan kemeja biru kesayangan dan celemek hitamnya yang selalu ia pakai setiap kali ia menjaga bar, baru ingat bahwa hari ini jadwal kerja nya, seorang mahasiswa S2 asal Rotterdam yang juga bersekolah di Delft. “ Actually, yes, Martin is one of our best friend “ Ucapku sambil melambaikan tangan ke arahnya. “ Dia juga di Delft bareng denganku, Cuma dia itu di Industrial, he’s the best barista we ever known in Delft, makanya kami selalu kesini di jam kerja nya, karena walaupun ini milik dia, tapi dia gak disini setiap hari “ Ucapku masih sedikit kecewa sambil melihat cangkir putih di depanku, granule yang di ingat Martin, bukan yang diminta Prana. Aku kembali melihat ke arah Martin dan ia melambaikan tangannya padaku.
“ Martin nya cukup ganteng juga, pantes betah “ Goda Prana sambil melihat ke arah Martin yang sedang meracik kopi nya dibelakang meja bar.
“ Engga...“ Aku menggelengkan kepalaku pelan. Setelah sedikit meneguk kopi ku aku kembali melihat ke arah Martin. “ Dia itu baru nikah tau “
“Semuda itu? “ Tanya Prana nampak sangat terkejut. Sama terkejutnya dengan ketika Martin memberitahu ku bahwa Martin sudah menikah pada saat pertama kali kami berbincang bincang di larut malam bersama Martin.
“ He’s already 33 years old “
Prana nampak kaget, lalu ia tertawa kecil, kagum melihat ke arah Martin. Mungkin Prana akan lebih tertawa kagum lagi jika tahu bahwa anaknya sudah berumur 2 tahun. Aku memperhatikannya, mendengarkan lagi tawa ringan yang dulu selalu aku dengar setiap hari. Tiba tiba saja Prana melihatku “ Wait, you just said ‘our’...sepertinya ini bagian yang cukup interesting “
“ No, nothing interesting to tell about, ‘our’ means....me and my friend, sama sama tinggal satu rumah. Kind of best friend...more like brother “ Aku masih sedikit sangsi untuk menceritakan tentang laki laki lain pada Prana walau itu hanya sahabatku, namun entah mengapa hatiku mengatakan bahwa pembicaraan tentang hal tersebut sebaiknya dihindari pada pertemuan ini.
“ Oh, I see “ Prana nampak tidak ingin membahasnya lebih jauh lagi. Aku pun merasa lega karena aku benar benar tidak ingin kecanggungan yang sudah sedikit cair kembali membeku dan menyelimuti kami.
Kami pun sama sama menikmati kopi kami, di sebuah kedai kopi kecil bernuansa kayu yang membuat segalanya terasa hangat di salah satu bagian kota Delft, ditemani track dari playlist yang biasa di putar setiap kali Martin bekerja, satu album penuh yang dinyanyikan oleh Jamie Cullum dari album album lamanya dan beberapa lagu Jamiroquai, dan juga suara dering bel sepeda di jalan yang terdengar sampai ke dalam. keadaan kedai yang sepi membuat Martin bergoyang mengikuti irama Funk Jazz tanpa harus dilihat oleh orang banyak sambil meracik kopi dan melatih latte art nya.
“ Udah berhenti ngerokok? “ Tanyaku, Prana melihat ke arahku. Aku tentu saja ingat bahwa ia pernah menjadi perokok berat di tahun terakhir kami berpacaran. Bisa bisa menghabiskan satu bungkus dalam dua hari.
“ Disini mesti irit, jadi...awal awal disini one pack in a month, kesininya lagi kalau emang lagi pengen banget “ Ucapnya.
Aku benar benar tidak tahu apa lagi yang harus kami bicarakan untuk mengisi keheningan yang kami ciptakan sendiri, walau kecanggungan itu sudah sedikit hilang, tetap saja seakan tidak ada topik yang tepat untuk dibicarakan. Kedatangan tiba tiba ini tentu sangat mengejutkan, bahkan lebih mengejutkan dibandingkan dengan kedatangan adik laki laki ku yang tiba tiba ada di kamarku bulan kemarin.
“ Hardian ajak kesini dong “ Ucapku mencari topik pembicaraan. Terlebih lagi mungkin akan lebih baik jika ada Hardian bersama kami.
“ Kayaknya dia udah beres, aku kabarin ya “ Ucapnya mengeluarkan handphone nya.
Ia berdiri dari tempatnya duduk, sedikit menjauh dari meja yang berada di dekat pintu masuk sambil melihat keluar melalui kaca yang ada pada pintu kayu di dekat kami. Terdengar sedang bercakap dengan bahasa Jerman yang tidak begitu aku mengerti. Sementara aku melihat Martin dengan wajah bingung, lebih pada penasaran dengan orang yang kubawa kesini, aku memberinya isyarat untuk menceritakan siapa orang ini nanti. Sampai akhirnya Prana menekan tombol telefon merah dan kembali meletakkan handphone nya ke dalam saku. Ia kembali duduk di depanku. “ Jalan kesini “ Ucapnya tersenyum, aku membalas senyumnya, sambil menerka nerka mengapa ia memilih untuk menemuiku dibandingkan menikmati Delft dengan teman temannya.
Tidak lama, seseorang membuka pintu kedai, kemudian ia meneriakkan namaku, Hardian berdiri di ujung pintu dengan rambut gondrong dan tubuhnya yang sudah jauh lebih tinggi dari sejak masa kuliah di Bandung, disampingnya seorang kaukasia berambut cokelat berhidung mancung, kulit putih bersih dan berpostur tinggi tegap khas orang jerman dan menyusul, seorang laki laki berambut cepak sedikit berantakan dengan mata sedikit sipit yang benar benar sudah lama tidak kutemui.
“ YA AMPUN Rendra!!!! “ Aku benar benar terkejut dengan kedatangan si sipit dari Tasikmalaya tersebut, anak rantau yang sangat dekat denganku selama kuliah di Bandung dulu. Aku langsung bangkit dari duduk dan memeluk Rendra terlebih dahulu. “ Prana kamu gak bilang sama si Rendra ini!! “ Ucapku terlalu excited bertemu jajaka yang kini tinggal di Jogjakarta dan membuka studio interior di sana bersama teman temannya. “ Rendra!! Kamu ini!! Di Delft loh!! “
“ Rezeki gue lagi ada buat liburan kesini, kapan lagi gue dapet orderan besar besaran dan dapet tiket murah ke Eropa “ Ucap Rendra tertawa, aku lanjut memeluk Hardian saking rindu dengan pemuda yang tinggal di Jerman ini, tetap rindu dengan Hardian walau beberapa minggu yang lalu ia menemaniku menjelajahi Dortmund, lalu Hardian mengenalkanku pada kaukasia yang sedari tadi hanya diam melihat reuni kecil ini, ia seorang asli Jerman yang kuliah bersama Hardian yang bernama Ozki.
“ Tadinya mau liburan kesini bareng Arya, tapi ya, arsitek yang alih fungsi jadi gitaris sih ya...jadwal manggung padat “ Ucap Rendra sambil duduk di sampingku. Aku melihat ke arah Prana, Prana nampak senang melihat pertemuan ini, terlebih lagi dengan aku yang nampaknya terlalu menggebu gebu, ralat. Selalu menggebu gebu. Entah memang iya, atau hanya perasaanku saja. Tapi senyuman yang ia perlihatkan membuatku kembali mengingat senyum nya yang dulu ia berikan setiap kali melihatku tertawa saking senang.
Memang benar dulu aku sangat bersahabat baik dengan Hardian, Rendra, Arya dan Prana. Ketika saat masa kuliah, ke tomboy an ku meningkat 200 persen sehingga aku tidak begitu dekat dengan perempuan manapun di kampus kecuali beberapa perempuan tomboy, Pitong yang bagiku seorang teman perempuan dan seorang perempuan yang sedikit mirip denganku bernama Naya, mereka yang selalu menemaniku, menerimaku dengan sifat ku yang agak rebel dengan sisa tingkat kefeminiman 25%.
Hardian merupakan anak rantau dari salah satu daerah Kabupaten Bandung, sempat menjajakan pulsa namun bangkrut karena terlalu banyak dihutangi anak anak di kampus, sampai ia lulus hampir semua gunung di jawa sudah ia taklukkan dan sudah lama berpacaran dengan kekasihnya, yang lebih tepatnya mereka seperti kembar non identik dengan sifat yang sangat serupa bernama Rasti yang kini ia tinggalkan di Indonesia karena Hardian melanjutkan sekolahnya di Jerman bersama Prana.
Sedangkan Rendra merupakan laki laki dengan tingkat seni yang tinggi sehingga membuatku terkagum kagum dengan hasil tangan nya yang begitu luwes dan hidup. Kini ia sedang menjalani kuliah S2 nya di salah satu universitas di Jogjakarta, melanjutkan karir seni nya bersama teman temannya dengan membangun sebuah kantor konsultan interior yang kudengar sudah sangat sukses. Sampai saat ini ia belum juga mengabariku kalau kalau ia akan menikah dalam waktu dekat.
Arya, ter rebel diantara kami, orang paling santai namun lulus tepat waktu. Orang yang kadang pendiam namun kadang tidak, asli Lampung yang tinggal di Bandung. Rambutnya gondrong dan tidak pernah terlihat dengan rambut cepak selama kuliah dulu, dan sekarang ia masih berarsitektur namun waktunya lebih banyak terbagi untuk band metal nya yang sedang naik daun di dunia musik keras. Sayang nya ia tidak dapat ikut ke Delft bersama Hardian dan Rendra.
Sedangkan Prana.
Jika dibandingkan dengan aku, Hardian, Rendra dan Arya yang sedikit menggebu gebu, Prana nampak lebih tenang dan kalem. Walau kadang ia membuat kami tertawa dengan ucapan ucapannya yang sedikit absurd, namun di situasi tertentu, ia yang paling dewasa diantara kami, terlebih lagi otaknya paling encer di seantero mahasiswa laki laki yang banyak sekali kutemui di kampusku yang merupakan institut teknik. Yang pasti Prana pernah membuatku bahagia ketika ada di sampingnya.
Dan siang itu aku menikmati sisa hari menikmati segelas kopi sambil bernostalgia, membiacarakan tentang health, wealth, life, dan sedikit mengajarkan Ozki bahasa Indonesia. Merencanakan kepulangan bersama ke Indonesia di hari raya Lebaran, pertunangan Hardian dan Rasti yang akan dilangsungkan tahun depan, mencari jodoh terbaik untuk Rendra, dan aku.
Entah memang perasaanku atau memang benar, Rendra dan Hardian selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali kami mulai membicarakan hidup Prana, hingga yang kutahu hanyalah ia berhasil mendapatkan nilai yang baik selama kuliah ini dan akan lulus dengan gelar M.Arch di penghujung tahun ini. Prana tidak banyak bicara, hanya tertawa dan sesekali menegak kopi nya, seperti biasanya, tetap tenang dan sedikit kalem.
Tidak lama kemudian Martin ikut bergabung, menemani Ozki sebagai satu satunya europian di meja kayu kedai kecil ini.
Sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, sehingga mereka harus segera pergi ke stasiun untuk kembali ke Amsterdam. Setelah kami berpamitan dengan Martin aku mengantar mereka ke stasiun menggunakan bis kota sambil menunggu matahari tenggelam. Aku duduk di samping Prana yang terus melihat ke arah jendela bis selama perjalanan. Tatapannya nampak kosong, melihat ke arah langit Delft yang sudah mulai berubah warna menjadi oranye, aku selalu ingin tahu apa yang ada di dalam pikirannya, namun dari sejak aku mengenalnya hingga kini, aku belum pernah bisa menebak isi hatinya, tidak ada sedikitpun celah untuk mengintip. Termasuk sekarang.
Sampai kami masuk ke dalam bis, dan aku duduk di bagian dalam paling dekat kaca sementara Prana duduk di sampingku. Langit sore yang terlihat dari jendela besar bis membuatku kembali teringat tentang kami. Kali ini bagian yang sedikit membuatku sesak. Namun dengan bodohnya kata kata ini keluar dari mulutku. Terlontar begitu saja tanpa memikirkan apapun.
“ Salam untuk Naya ya “ Aku menoleh ka arahnya.
Prana hanya tersenyum dan mengangguk dengan sedikit canggung, ia kembali melihat ke arah jendela kaca. Aku memalingkan muka ku, melihat ke arah koridor bis sambil menyandarkan badanku pada jok, mencoba memejamkan mata, barang dapat waktu tidur selama 5 atau 7 menit.
“ Aidan, be nice, ok ? “ Ucapku sambil sedikit membungkuk melihat ke arah Aidan yang sudah berdiri di samping neneknya, memegang jari jari neneknya dan mengangguk. Ia sedikit menarik jari jari neneknya, tidak sabar dengan kue yang sering kali dibuat oleh neneknya setiap kali menengok ke rumah Aidan ketika aku sedang menjaganya. Sebetulnya aku juga sangat menantikannya, kue cokelat dengan sedikit butiran keju yang rasanya luar biasa lezat mengingatkanku pada nenek ku di Bandung. Namun aku harus mengharapkannya lain waktu, mengingat kini Prana sedang berdiri di belakangku, menungguku. Aku pun pergi meninggalkan teras setelah berterimakasih untuk kesekian kalinya.
Aku menuruni 3 anak tangga rendah menuju trotoar jalan. Prana sedang memasukkan tangannya ke dalam saku parka nya, melihat ke sekeliling, seperti kebiasaannya, ia memang sangat senang memperhatikan sebuah tempat baru. Cuaca Delft di akhir musim panas sudah mulai terasa dingin. Menghitung hari untuk benar benar masuk ke musim gugur dan harus kembali bersiap untuk menghadapi musim dingin. Dimana winter pertamaku di eropa betul betul menyiksaku, namun nampaknya musim dingin kali ini tidak akan separah tahun lalu. Tapi tetap saja baru memasuki akhir musim panas pun aku sudah harus mengenakan kemeja tebal dan syal kemana mana. Serius, suhu Eropa belum juga mau menerimaku dengan baik sehingga dengan semena mena suhu ini menyiksaku dan membunuhku secara perlahan.
Dalam perjalanan, sesekali aku melihat ke arah Prana yang tetap lebih tinggi dari ku. Entah aku yang tidak juga tumbuh tinggi atau memang laki laki ini yang pertumbuhannya terlalu pesat. Sejak dulu, selalu saja begini. Tinggiku yang tidak sama sekali berkembang dari 155cm nampak sangat jomplang di bandingkan dengannya yang memiliki tinggil 175cm. Aku semakin terlihat seperti kurcaci, mungkin jika aku dengan Prana naik ke dalam bus yang sama di sini, kondektur nya akan mengira bahwa aku adiknya dan memberi setengah harga seperti harga anak anak. Atau lebih parahnya, aku akan dianggap sebagai anaknya.
“ Jadi juga kuliah di Belanda “ Prana menoleh padaku tiba tiba ketika aku sedang melihat ke arahnya. Aku langsung memalingkan wajah, kembali melihat ke arah pepohonan yang membayangi trotoar, menghasilkan suara suara yang ikut meramaikan suasana dan berpaduan dengan suara angin. Sedikit malu karena sudah berkali kali tertangkap basah sedang memperhatikan dirinya.
“ Ga boleh? “ Aku mendongkak sedikit menengadah melihat wajahnya.
“ Ya boleh, tapi, kalo ga salah ada yang udah nyerah gitu pas tingkat 2... “ Ucap Prana dengan nada jahilnya, ia tersenyum jahil sambil melirik ke arahku. Aku menyikutnya pelan, biasanya dulu aku langsung menjewernya, dan berakhir ia memelukku. Namun kini aku menahannya. Dan ini sedikit terasa berbeda.
“ Wah parah ya kamu bawa bawa masa lalu “
“ I said so, that you can do it “ Ucapnya singkat. This is what I hate, ketika ia mengatakan “sudah ku bilang” setiap kali aku sedikit panik dan ia menanggapinya dengan tenang. Lalu setelah melewati masa masa panik itu ia akan mengatakan hal tersebut. Aku betul betul iri dengan caranya menghadapi masalah masalah semasa kuliah dulu, ia tetap tenang sementara aku tersiksa dengan ke panikanku.
Dan kami pun kembali terjebak dalam hening, melangkahkan kaki di atas trotoar dengan daun daun kering yang berserakan, diselimuti angin dingin kota kecil ini. Aku kembali melihat ke arahnya, sedikit kerinduan muncul, namun ia bukan lagi milikku, ia bukan lagi laki laki yang dapat ku hubungi hanya untuk mencari segelas kopi di tengah malam atau mengendarai motornya untuk menjemputku di kampus setelah mengikuti kegiatan himpunan di malam hari.
Kami kembali hening, sesekali aku melihat ke arah jalan, sesekali kembali melihat tulang tulang rahangnya yang tegas, garis garis yang dulu kerap kali ku kecup ketika aku dilanda rindu. Namun kini kami hanya berjalan berdampingan, tanpa saling menautkan jari, sementara jari jari kami sibuk sendiri mencari tempat hangat di saku saku yang ada pada pakaian kami. Walau tanpa sadar rasanya rinduku berteriak minta keluar dari hatiku yang terkunci rapat.
“ Udah pulang ke Bandung? “ Tanya Prana sambil bersiap menyebrang jalan arteri yang cukup lebar.
“ Next month juga berangkat ke Bandung, kebagian autumn break karena ambil summer semester tahun ini “
Prana hanya mengangguk mengerti. Kami terus berjalan sampai ke pertigaan, tanpa melihat ke arah lampu stopan dengan terburu buru aku turun dari trotoar ke jalan, namun tiba tiba ia menarikku, bertepatan dengan sebuah skuter yang melaju dengan kecepatan tinggi hampir menyerempetku. “ Kamu tuh kebiasaan kalo nyebrang gak hati hati, gak di Bandung gak di Belanda “ Teriak Prana sambil melihat ke arah lampu stopan belum menunjukkan kami boleh menyebrang. Aku menghelakan nafasku, aku pasti sedang terburu buru sehingga kebiasaan burukku kembali muncul.
Ketika lampu stopan tanda kami boleh menyebrang berubah menjadi hijau, Prana langsung menarik lenganku sambil berjalan melalui zebra cross bersama para penyebrang lainnya. Prana langsung melepaskan tangannya setelah kami sampai di seberang jalan dan dengan cepat memasukkan tangannya ke dalam saku jaket nya. “ Lihat lihat kalau mau nyebrang ” Ucap Prana sedikit kesal.
***
“ Sori “ Ucapku singkat. “ Lalu ini pengangannya ga akan di lepas? “ Tanyaku melihat ke arah Prana yang masih menggenggam erat tanganku sebelum masuk ke dalam toko buku Djawa di jalan braga. Prana hanya tersenyum.
“ Gak apa apa lah, biar dunia tau kalo kamu udah milik aku, gak bisa lagi direbut orang”Ucapnya, entah dari mana ia belajar kata kata itu, namun siang itu ia berhasil membuat wajahku memerah.
***
“ Kok tahu extra choco granule nya? “ Ucapku heran, choco granule memang komponen wajib di atas foam cappucinno ku setiap kali aku memesan cappucinno. “ Masih inget apa gimana “ Aku betul betul berusaha menahan senyum lebarku, terkejut karena ia masih mengingat kebiasaanku.
Prana terkekeh kecil. “ Waktu aku pesen, baristanya, barista nya sebut nama kamu gitu, dia langsung bilang capucinno with granule, emang kamu langganan disini? “
Ada kekecewaan ketika aku mendengarnya. Rupanya dia sudah lupa tentang kebiasaan anehku yang satu ini. Aku pun melihat ke arah meja bar, seorang laki laki caucasian berambut pendek dan pirang berdiri di belakang bar, dengan kemeja biru kesayangan dan celemek hitamnya yang selalu ia pakai setiap kali ia menjaga bar, baru ingat bahwa hari ini jadwal kerja nya, seorang mahasiswa S2 asal Rotterdam yang juga bersekolah di Delft. “ Actually, yes, Martin is one of our best friend “ Ucapku sambil melambaikan tangan ke arahnya. “ Dia juga di Delft bareng denganku, Cuma dia itu di Industrial, he’s the best barista we ever known in Delft, makanya kami selalu kesini di jam kerja nya, karena walaupun ini milik dia, tapi dia gak disini setiap hari “ Ucapku masih sedikit kecewa sambil melihat cangkir putih di depanku, granule yang di ingat Martin, bukan yang diminta Prana. Aku kembali melihat ke arah Martin dan ia melambaikan tangannya padaku.
“ Martin nya cukup ganteng juga, pantes betah “ Goda Prana sambil melihat ke arah Martin yang sedang meracik kopi nya dibelakang meja bar.
“ Engga...“ Aku menggelengkan kepalaku pelan. Setelah sedikit meneguk kopi ku aku kembali melihat ke arah Martin. “ Dia itu baru nikah tau “
“Semuda itu? “ Tanya Prana nampak sangat terkejut. Sama terkejutnya dengan ketika Martin memberitahu ku bahwa Martin sudah menikah pada saat pertama kali kami berbincang bincang di larut malam bersama Martin.
“ He’s already 33 years old “
Prana nampak kaget, lalu ia tertawa kecil, kagum melihat ke arah Martin. Mungkin Prana akan lebih tertawa kagum lagi jika tahu bahwa anaknya sudah berumur 2 tahun. Aku memperhatikannya, mendengarkan lagi tawa ringan yang dulu selalu aku dengar setiap hari. Tiba tiba saja Prana melihatku “ Wait, you just said ‘our’...sepertinya ini bagian yang cukup interesting “
“ No, nothing interesting to tell about, ‘our’ means....me and my friend, sama sama tinggal satu rumah. Kind of best friend...more like brother “ Aku masih sedikit sangsi untuk menceritakan tentang laki laki lain pada Prana walau itu hanya sahabatku, namun entah mengapa hatiku mengatakan bahwa pembicaraan tentang hal tersebut sebaiknya dihindari pada pertemuan ini.
“ Oh, I see “ Prana nampak tidak ingin membahasnya lebih jauh lagi. Aku pun merasa lega karena aku benar benar tidak ingin kecanggungan yang sudah sedikit cair kembali membeku dan menyelimuti kami.
Kami pun sama sama menikmati kopi kami, di sebuah kedai kopi kecil bernuansa kayu yang membuat segalanya terasa hangat di salah satu bagian kota Delft, ditemani track dari playlist yang biasa di putar setiap kali Martin bekerja, satu album penuh yang dinyanyikan oleh Jamie Cullum dari album album lamanya dan beberapa lagu Jamiroquai, dan juga suara dering bel sepeda di jalan yang terdengar sampai ke dalam. keadaan kedai yang sepi membuat Martin bergoyang mengikuti irama Funk Jazz tanpa harus dilihat oleh orang banyak sambil meracik kopi dan melatih latte art nya.
“ Udah berhenti ngerokok? “ Tanyaku, Prana melihat ke arahku. Aku tentu saja ingat bahwa ia pernah menjadi perokok berat di tahun terakhir kami berpacaran. Bisa bisa menghabiskan satu bungkus dalam dua hari.
“ Disini mesti irit, jadi...awal awal disini one pack in a month, kesininya lagi kalau emang lagi pengen banget “ Ucapnya.
Aku benar benar tidak tahu apa lagi yang harus kami bicarakan untuk mengisi keheningan yang kami ciptakan sendiri, walau kecanggungan itu sudah sedikit hilang, tetap saja seakan tidak ada topik yang tepat untuk dibicarakan. Kedatangan tiba tiba ini tentu sangat mengejutkan, bahkan lebih mengejutkan dibandingkan dengan kedatangan adik laki laki ku yang tiba tiba ada di kamarku bulan kemarin.
“ Hardian ajak kesini dong “ Ucapku mencari topik pembicaraan. Terlebih lagi mungkin akan lebih baik jika ada Hardian bersama kami.
“ Kayaknya dia udah beres, aku kabarin ya “ Ucapnya mengeluarkan handphone nya.
Ia berdiri dari tempatnya duduk, sedikit menjauh dari meja yang berada di dekat pintu masuk sambil melihat keluar melalui kaca yang ada pada pintu kayu di dekat kami. Terdengar sedang bercakap dengan bahasa Jerman yang tidak begitu aku mengerti. Sementara aku melihat Martin dengan wajah bingung, lebih pada penasaran dengan orang yang kubawa kesini, aku memberinya isyarat untuk menceritakan siapa orang ini nanti. Sampai akhirnya Prana menekan tombol telefon merah dan kembali meletakkan handphone nya ke dalam saku. Ia kembali duduk di depanku. “ Jalan kesini “ Ucapnya tersenyum, aku membalas senyumnya, sambil menerka nerka mengapa ia memilih untuk menemuiku dibandingkan menikmati Delft dengan teman temannya.
Tidak lama, seseorang membuka pintu kedai, kemudian ia meneriakkan namaku, Hardian berdiri di ujung pintu dengan rambut gondrong dan tubuhnya yang sudah jauh lebih tinggi dari sejak masa kuliah di Bandung, disampingnya seorang kaukasia berambut cokelat berhidung mancung, kulit putih bersih dan berpostur tinggi tegap khas orang jerman dan menyusul, seorang laki laki berambut cepak sedikit berantakan dengan mata sedikit sipit yang benar benar sudah lama tidak kutemui.
“ YA AMPUN Rendra!!!! “ Aku benar benar terkejut dengan kedatangan si sipit dari Tasikmalaya tersebut, anak rantau yang sangat dekat denganku selama kuliah di Bandung dulu. Aku langsung bangkit dari duduk dan memeluk Rendra terlebih dahulu. “ Prana kamu gak bilang sama si Rendra ini!! “ Ucapku terlalu excited bertemu jajaka yang kini tinggal di Jogjakarta dan membuka studio interior di sana bersama teman temannya. “ Rendra!! Kamu ini!! Di Delft loh!! “
“ Rezeki gue lagi ada buat liburan kesini, kapan lagi gue dapet orderan besar besaran dan dapet tiket murah ke Eropa “ Ucap Rendra tertawa, aku lanjut memeluk Hardian saking rindu dengan pemuda yang tinggal di Jerman ini, tetap rindu dengan Hardian walau beberapa minggu yang lalu ia menemaniku menjelajahi Dortmund, lalu Hardian mengenalkanku pada kaukasia yang sedari tadi hanya diam melihat reuni kecil ini, ia seorang asli Jerman yang kuliah bersama Hardian yang bernama Ozki.
“ Tadinya mau liburan kesini bareng Arya, tapi ya, arsitek yang alih fungsi jadi gitaris sih ya...jadwal manggung padat “ Ucap Rendra sambil duduk di sampingku. Aku melihat ke arah Prana, Prana nampak senang melihat pertemuan ini, terlebih lagi dengan aku yang nampaknya terlalu menggebu gebu, ralat. Selalu menggebu gebu. Entah memang iya, atau hanya perasaanku saja. Tapi senyuman yang ia perlihatkan membuatku kembali mengingat senyum nya yang dulu ia berikan setiap kali melihatku tertawa saking senang.
Memang benar dulu aku sangat bersahabat baik dengan Hardian, Rendra, Arya dan Prana. Ketika saat masa kuliah, ke tomboy an ku meningkat 200 persen sehingga aku tidak begitu dekat dengan perempuan manapun di kampus kecuali beberapa perempuan tomboy, Pitong yang bagiku seorang teman perempuan dan seorang perempuan yang sedikit mirip denganku bernama Naya, mereka yang selalu menemaniku, menerimaku dengan sifat ku yang agak rebel dengan sisa tingkat kefeminiman 25%.
Hardian merupakan anak rantau dari salah satu daerah Kabupaten Bandung, sempat menjajakan pulsa namun bangkrut karena terlalu banyak dihutangi anak anak di kampus, sampai ia lulus hampir semua gunung di jawa sudah ia taklukkan dan sudah lama berpacaran dengan kekasihnya, yang lebih tepatnya mereka seperti kembar non identik dengan sifat yang sangat serupa bernama Rasti yang kini ia tinggalkan di Indonesia karena Hardian melanjutkan sekolahnya di Jerman bersama Prana.
Sedangkan Rendra merupakan laki laki dengan tingkat seni yang tinggi sehingga membuatku terkagum kagum dengan hasil tangan nya yang begitu luwes dan hidup. Kini ia sedang menjalani kuliah S2 nya di salah satu universitas di Jogjakarta, melanjutkan karir seni nya bersama teman temannya dengan membangun sebuah kantor konsultan interior yang kudengar sudah sangat sukses. Sampai saat ini ia belum juga mengabariku kalau kalau ia akan menikah dalam waktu dekat.
Arya, ter rebel diantara kami, orang paling santai namun lulus tepat waktu. Orang yang kadang pendiam namun kadang tidak, asli Lampung yang tinggal di Bandung. Rambutnya gondrong dan tidak pernah terlihat dengan rambut cepak selama kuliah dulu, dan sekarang ia masih berarsitektur namun waktunya lebih banyak terbagi untuk band metal nya yang sedang naik daun di dunia musik keras. Sayang nya ia tidak dapat ikut ke Delft bersama Hardian dan Rendra.
Sedangkan Prana.
Jika dibandingkan dengan aku, Hardian, Rendra dan Arya yang sedikit menggebu gebu, Prana nampak lebih tenang dan kalem. Walau kadang ia membuat kami tertawa dengan ucapan ucapannya yang sedikit absurd, namun di situasi tertentu, ia yang paling dewasa diantara kami, terlebih lagi otaknya paling encer di seantero mahasiswa laki laki yang banyak sekali kutemui di kampusku yang merupakan institut teknik. Yang pasti Prana pernah membuatku bahagia ketika ada di sampingnya.
Dan siang itu aku menikmati sisa hari menikmati segelas kopi sambil bernostalgia, membiacarakan tentang health, wealth, life, dan sedikit mengajarkan Ozki bahasa Indonesia. Merencanakan kepulangan bersama ke Indonesia di hari raya Lebaran, pertunangan Hardian dan Rasti yang akan dilangsungkan tahun depan, mencari jodoh terbaik untuk Rendra, dan aku.
Entah memang perasaanku atau memang benar, Rendra dan Hardian selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali kami mulai membicarakan hidup Prana, hingga yang kutahu hanyalah ia berhasil mendapatkan nilai yang baik selama kuliah ini dan akan lulus dengan gelar M.Arch di penghujung tahun ini. Prana tidak banyak bicara, hanya tertawa dan sesekali menegak kopi nya, seperti biasanya, tetap tenang dan sedikit kalem.
Tidak lama kemudian Martin ikut bergabung, menemani Ozki sebagai satu satunya europian di meja kayu kedai kecil ini.
Sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, sehingga mereka harus segera pergi ke stasiun untuk kembali ke Amsterdam. Setelah kami berpamitan dengan Martin aku mengantar mereka ke stasiun menggunakan bis kota sambil menunggu matahari tenggelam. Aku duduk di samping Prana yang terus melihat ke arah jendela bis selama perjalanan. Tatapannya nampak kosong, melihat ke arah langit Delft yang sudah mulai berubah warna menjadi oranye, aku selalu ingin tahu apa yang ada di dalam pikirannya, namun dari sejak aku mengenalnya hingga kini, aku belum pernah bisa menebak isi hatinya, tidak ada sedikitpun celah untuk mengintip. Termasuk sekarang.
Sampai kami masuk ke dalam bis, dan aku duduk di bagian dalam paling dekat kaca sementara Prana duduk di sampingku. Langit sore yang terlihat dari jendela besar bis membuatku kembali teringat tentang kami. Kali ini bagian yang sedikit membuatku sesak. Namun dengan bodohnya kata kata ini keluar dari mulutku. Terlontar begitu saja tanpa memikirkan apapun.
“ Salam untuk Naya ya “ Aku menoleh ka arahnya.
Prana hanya tersenyum dan mengangguk dengan sedikit canggung, ia kembali melihat ke arah jendela kaca. Aku memalingkan muka ku, melihat ke arah koridor bis sambil menyandarkan badanku pada jok, mencoba memejamkan mata, barang dapat waktu tidur selama 5 atau 7 menit.
***
(Continue to Part 4)
No comments:
Post a Comment