Setelah turun dari bis aku langsung berlari, sambil sedikit berhati hati karena pertemuan antara sepatu boots ku dan jalanan yang licin karena salju yang bisa saja menyebabkan selip, aku berlari menyusuri trotoar jalan. Aku memperlambat lari ku ketika sampai di Reiner de Graaf, salah satu rumah sakit besar di Delft. Dengan cepat aku masuk ke dalam, mencari ruangan tempat Keiko dirawat.
Mentor Keiko yang ternyata lebih idealis dibandingkan mentorku , sudah 5 hari ini ia kurang tidur, bahkan beberapa hari gak tidur karena harus me revisi thesis nya yang masih stuck di bab 3 sementara aku sudah akan bergerak menuju bab 4, sehingga tadi pagi aku pergi ke kampus sendiri, menggunakan bus. Katanya Keiko mau ambil satu hari istirahat. Dan tepat ketika aku baru saja sampai ke kampus, Lin Shu menghubungi nomorku katanya Keiko tumbang dan dilarikan ke rumah sakit oleh Pedro, Soo Young dan bantuan Martin yang berlari dari Bierhuis ke rumah kami untuk memboyong Keiko menggunakan ambulans.
Aku segera masuk ke nomor kamar yang sudah dikirimkan Martin melalui pesan singkat, sebuah kamar kecil dengan dua ranjang untuk dua pasien, Keiko terbaring di ranjang paling dekat dengan jendela, dan ranjang yang satu lagi kosong, kursi tamu pun kosong sehingga Keiko hanya sendiri di dalam kamar, memejamkan matanya. Selang infus terpasang di tangan nya, dan ia hanya terbaring lemas. Aku menghampiri Keiko dan duduk di kursi yang diletakkan di sisi kasur.
Keiko nampak lemah, rambutnya berantakan dan kantung matanya betul betul tebal, untuk pertama kalinya Keiko sakit sampai tumbang, karena sakit Keiko yang paling parah hanyalah flu di awal musim dingin dan awal musim semi. Sehingga kini untuk pertama kalinya aku melihat Keiko hanya berbaring lemas dengan nafasnya yang beraturan. Seperti sadar akan kehadiranku, Keiko membuka matanya perlahan, lalu melihatku. Di saat begini ia masih dapat tersenyum.
“ Sori ya, gue udah terlanjur ngobrol sama dosen gue waktu Lin Shu telefon “ Keiko mengangguk pelan, mencoba meyakinkanku bahwa ia tidak apa apa, walau aku tahu ia betul betul lemah hari ini. “ Lalu kata dokter apa? “
“ Terlalu kecapean, harus istirahat disini semalam “ Jelas Keiko singkat.
“ Lo juga sih disuruh tidur gak mau aja, kan gini jadinya. Gue suruh lo tidur terus tuh bukan apa apa, kita emang anak tingkat akhir tapi lo tetep butuh tidur Kei, gue khawatir lo tumbang begini nih, kan lo malah gak bisa ngerjain dua hari kedepan? “ Ucapku dengan nada sedikit tinggi, tanda khawatir. Sementara Keiko hanya tertawa. Dengan perlahan ia meletakkan tangannya yang tidak di infus di atas kepalaku, lalu mengacak acak rambutku, sedikit mengelusnya halus.
“ Thank you for worrying me “ Ucap Keiko. Aku meletakkan tangannya dari atas kepalaku, kembali ke atas kasur, mengangguk membalas ucapannya. “ Thesis lo gimana? Bab tiga nya kena revisi lagi? “ Ucapnya lemas.
“ Bisa gak sih lagi kaya gini gak usah ngomongin thesis dulu? “ Ucapku kesal, mengingat juga bahwa pendahuluan bab empat thesisku benar benar habis di coreti oleh spidol merah. Namun lagi lagi ia hanya terkekeh, melihatku yang sedang kesal.
Sesegera mungkin aku menyuruhnya untuk kembali beristirahat setelah kuganggu waktunya dengan kedatanganku yang terburu buru. Keiko kerap kali mengatakan bahwa ia tidak apa apa, padahal wajahnya sudah sangat pucat, dan badannya sedikit lebih kurus ketimbang liburan kemarin. Ia benar benar mengerahkan seluruh tenaganya untuk thesis yang kini ia kerjakan. Setelah memastikan Keiko memejamkan matanya, aku pun keluar dari ruangan kamar yang serba putih itu, lalu pergi ke lantai dasar untuk mengisi perutku yang belum juga sempat kuisi sejak keluar dari kelas.
Aku bergegas turun dan mencari cari counter makanan yang ada di dalam rumah sakit. Aku pun duduk di sebuah ruangan kecil cafetaria dengan suasana hangat dari kayu kayu yang ditempel sebagai dekorasi interior tersebut. Menyandarkan badanku, sedikit beristirahat setelah buru buru pergi meninggalkan kampus untuk melihat keadaan Keiko.
Setelah menghabiskan sepiring Uitsmijter spek en kaas, yaitu beberapa telur goreng dengan daging asap dan keju. Aku bersandar pada kursi, melihat ke arah jendela kaca, memperhatikan orang berlalu lalang. Tamu, dokter, dan beberapa pasien yang berjalan jalan menggunakan kursi roda. Lagi lagi, orang orang ini menyadarkanku bahwa aku hanyalah satu dari jutaan orang yang ada di dunia ini.
Aku benar benar mengkhawatirkan Keiko, karena ia kelelahan sampai harus dirawat satu malam di rumah sakit. Omong omong soal Keiko, akhir akhir ini hubungan antara aku dan Keiko memang semakin dekat, sampai beberapa orang di rumah mengatakan pada kami agar aku lebih baik segera berpacaran dengan Keiko karena mereka pikir kami betul betul cocok, dan Lin Shu mengaku bahwa ia selalu saja iri setiap kali Keiko memberikan perhatian lebih padaku. Setiap kali mendengar siapapun mengatakan hal tersebut Keiko hanya meresponnya dengan tawa, sementara aku belum pernah memikirkannya sampai kesana, karena entah mengapa sore ini pun hal yang terbesit dalam benakku adalah menghubungi Hardian, karena sejak kepulanganku dari Berlin aku belum pernah sama sekali memberi kabar bahwa aku sampai saat ini baik baik saja.
Namun bukan tidak mungkin akhir akhir ini aku memang sangat sensitif pada apa yang terjadi sekelilingku, maksudku, Keiko. Sejak beberapa orang dirumah mengatakan hal tersebut aku lebih sering memperhatikan Keiko diam diam, dan aku jadi merasa bahwa memang perhatian yang diberikan Keiko padaku sedikit lebih dari perhatian pada seorang sahabat. Jadi, selain Prana, sebagian kecil isi otakku diisi oleh Keiko. Namun aku tidak yakin bahwa aku sudah benar benar pergi dari Prana, lalu pindah pada Keiko. Bagaimanapun, Keiko itu sahabatku, dan kini, di cafetaria rumah sakit ini, aku menekan tombol di atas handphone ku, menulis nomor Eropa Hardian, lalu meletakkan handphone tersebut di telingaku dan menyadari bahwa aku sudah melakukan hal yang bodoh tepat ketika Hardian mengangkat telefonku.
“ Hallo? “ Ucap Hardian dari Jerman sana. Aku menghelakan nafasku, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku ucapkan pada Hardian setelah meninggalkan mereka di Berlin dengan aksi yang cukup sinematis.
“ Har? Ini aku, Tara “ Hardian sempat diam aku tahu ia terkejut, namun ia akhirnya angkat bicara, dan aku sudah tahu apa yang akan ia katakan.
“ It takes 3 months sampai lo mau bicara dan hubungin kita? Tahu kalau kita khawatir sementara nggak ada satupun cara untuk ngehubungin lo? “ Ucap Hardian terdengar sedikit marah.
“ Ya...sorry “ Ucapku singkat, dan aku hanya diam sebelum melanjutkan kalimatku. “ You know, its, really hard for me, admitting that he still with Naya, after all what we do the night before, gue tuh kaya selingkuhan gitu jadinya, Har “ Ucapku, menceritakan segalanya dalam kalimat singkat pada Hardian, meminta agar Hardian mengerti.
Hardian hanya diam. “ Tapi, Tar “
“ Har, gue tuh nelefon lo buat nanya kabar lo sama Ozki, so please, I’m trying to move on, again “ Ucapku. Berbohong karena sebenarnya aku begitu ingin tahu apa yang kini sedang Prana lakukan, kemana ia pergi 3 bulan kemarin, dan bagaimana kondisi Prana sekarang. Namun aku menahannya, kupikir dengan tidak mencari tahu lebih mudah untuk melupakannya, walau sampai sekarang nyata nya aku belum melupakan sama sekali perjalananku 3 bulan yang lalu menuju pusat kota negara Jerman tersebut. “ Jadi, lo pulang tahun ini? “
Hardian tidak langsung menjawabnya. Kami diam sejenak, mungkin Hardian mengerti, karena setahuku Hardian memang benar benar selalu mengerti tentang apa yang aku rasakan bahkan sejak kami masih duduk di bangku kuliah, tak lama kemudian ia menjawab pertanyaanku. “ Habis lebaran, gue lamaran...dan mudah mudahan akhir tahun menikah kalau lancar, lo harus loh dateng “
“ Har, of course gue dateng, serius deh, summer ini mudah mudahan gue udah pulang “ Ucapku, mengingat aku dan Keiko kini sedang mengejar wisuda di musim semi.
Bagaimana dengan Prana? Kapan dia akan pulang? Apa mungkin aku bertemu lagi dengannya di Abu Dhabi? Atau aku mungkin gak pulang bersama nya? Bagaimana thesisnya Prana? Sehat? Apa dia selalu begadang seperti masa kuliahnya di Bandung? Apa dia mengerjakan tugasnya sambil makan mie di Lon Men? Semua pertanyaan itu berputar dalam kepalaku dan aku berusaha untuk tidak mengeluarkannya, dan aku sadar itu sangat sulit, karena hanya butuh beberapa menit untuk sadar, bahwa aku benar benar merindukan Prana. Berlin membuatku tidak dapat melupakan Prana sedikitpun.
Tapi aku menyimpannya dalam hati. Bukannya bertanya tentang Prana, aku bertanya tentang Ozki, yang katanya setelah lulus ia akan kembali ke kampung halamannya di Frankfurt, dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat ditunda selama ia menjalani studi Magister di Hanover.
Dan seluruh pertanyaan tentang Prana masih berputar di dalam otakku, berputar dan sedikit bercampur dengan pikiranku tentang Keiko. Namun sebelum semuanya membuncah, aku langsung memutuskan untuk mengakhiri telefon. Kembali memfokuskan pikiranku pada kehidupanku di Belanda, dan meyakinkan diri bahwa aku harus benar benar mengeluarkan Prana dari otakku. Namun lamunanku pecah karena pesan singkat dari Martin yang mengabarkan bahwa ia ada di rumah sakit, membawa beberapa makanan untukku yang akan menunggu Keiko malam ini. Ayo Tara, kapan kau akan sadar bahwa kau tidak harus lagi mencari cari Prana.
***
Keiko gak banyak berkata kata pada malam itu, ia benar benar menggunakan waktunya untuk beristirahat di ruang rumah sakit yang serba putih ini, sambil sesekali mendengarkan satu album instrumen karya Chick Corea yang berjudulkan The Ultimate adventure melalui earplugs nya. Setelah Martin menghabiskan makan malamnya bersama ku di kamar rawat Keiko, ia pulang, kembali ke Bierhuis. Aku duduk bersndar di kursi berlapis kulit yang agak keras, diletakkan di sisi kasur sambil membaca novel Harry Potter versi bahasa Belanda, hal yang kulakukan setiap bulan agar aku mengingat kosakata kosakata bahasa Belanda yang cukup sulit dihafal untukku. Sementara Keiko berbaring lemas, menonton acara televisi yang diletakkan di dinding kamar bagian atas.
Aku melihat ke arah jendela kaca, langit sudah mulai gelap, namun Keiko masih membuka matanya. “ Tidur gih “ Ucapku berdiri dan duduk di sisi kasur Keiko setelah meletakkan novelku di atas meja. Keiko mengangguk, nampaknya ia juga sudah mengantuk, aku membantunya untuk menurunkan kasurnya yang ia naikkan sehingga ia dapat bersandar, lalu menyelimutinya. Aku masih duduk di sisi kasur, dan Keiko berbaring, ia melihat ke arahku.
“ Pulang gih “ Ucap Keiko lemas.
“ Lalu siapa yang nunggu lo , besok juga gue gak ada jadwal “
“ I’m not a child, pulang sana “ Keiko sedikit memaksa, namun aku tidak mau meninggalkan Keiko malam ini. Aku berhutang pada Keiko karena dulu ia selalu menemaniku ketika aku belum dapat beradaptasi dengan baik pada suhu rendah.
“ Gak apa apa, anggap aja ini balesan gue karena dulu dulu lo yang suka ngerawat gue ketika sakit “ Ucapku sambil mengusap pundak Keiko lembut. “ Off to sleep, go “ Aku turun dari kasur dan kembali duduk di kursi.
Aku meletakkan kedua lenganku di atas sisi kasur, sambil menopang dagu dan melihat ke arah Keiko yang perlahan tertidur, gak jarang melihat Keiko tertidur, ketika ia ketiduran di sofa, atau ketika ia diam diam mencuri waktu tidur di kelas ketika kuliah, namun nampaknya ini adalah tidur nya yang paling nyaman.
Keiko, sahabatku. Akhirnya tumbang juga. Keiko, sahabatku. Laki laki paling kuat yang pernah kukenal semenjak aku memulai kehidupnku di Eropa, laki laki paling tegar dengan kehidupan latar keluarganya yang keras, berjuang sendiri tanpa ditemani satupun saudara kandung, laki laki dengan tawa paling lepas gak peduli sedang ada dimana dia, laki laki yang tanpa sadar selalu ada disampingku kemanapun aku pergi selama kami meninjakkan kaki di Delft.
Namun kini ia terbaring, lemas seperti tanpa ada sedikit kekuatan, membuatnya nampak berbeda, jauh berbeda dari Keiko di kesehariannya. Aku terus memperhatikannya, dan tanpa sadar aku sedikit merasakan sebuah gejolak aneh, kembali memikirkan apa yang orang orang rumah bilang padaku, bahwa kami terlihat sangat cocok bersama. Aku kembali mengusap pundaknya lembut hingga ia benar benar tertidur. Aku menyayangi Keiko, namun hanya karena dia sahabatku, dan baru kali ini aku memikirkan bagaimana jika Keiko tiba tiba menyatakan perasaan yang tidak pernah kupikirkan sama sekali, bahwa ia menyayangiku sebagai seorang kekasih. Selain kembali jatuh pada Prana dan tidak lulus ujian akhir, aku punya satu lagi ketakutan yang menghantuiku, yaitu Keiko menyimpan perasaan padaku, karena untuk saat ini jika itu terjadi aku betul betul tidak tahu harus mengatakan apa, karena jauh di dalam hatiku, aku masih benar benar mengharapkan Prana kembali datang ke Delft untuk menemuiku.
Aku bersandar pada kursi dan kembali terlarut pada buku ku, Harry Potter en de Vuurbeker, terlarut dalam kisah bagaimana Harry terjebak dalam turnamen Triwizard, bersama Cedric, Fleur dan Victor Krum. Namun tanpa terasa, aku sedikit demi sedikit mulai mengantuk, tanpa sadar aku memejamkan mataku, merebahkan kepalaku pada sisi kasur. Dan akhirnya tertidur.
***
Keiko memegang kepalaku, katanya aku seperti demam, karena tubuhku panas sekali, untuk berjalanpun tenagaku sudah habis karena bersin, sehingga Keiko dengan cepat menggendongku diatas punggungnya, ia berjalan keluar dari Bierhuis menopang berat tubuhku sampai ke gedung flat. Keiko langsung membaringkanku di atas kasur kamarku dibantu oleh Lin Shu.
Ia dengan cepat mengompres kepalaku, agar demamnya agak turun, dan mencarikanku makanan hangat untuk dimakan sebelum aku menelan obat flu yang biasa kumakan. Sampai akhirnya aku tertidur.
Dan malam itu aku terbangun karena keringat yang sudah terlalu banyak, dan aku melihat Keiko sedang bersandar pada kursi, namun matanya terpejam dan nampaknya ia benar benar tertidur, aku menyelimutinya dengan selimut tipis yang ada di dalam lemari kamarku sebelum melanjutkan tidur. Dan sampai pagi, ia masih tertidur duduk disana. Rupanya ia menungguku semalaman.
***
Aku terbangun karena semburat cahaya matahari yang sudah masuk kedalam kamar, kudapati aku tertidur dengan posisi duduk namun merebahkan tangan dan kepala di sisi kasur dengan buku Harry Potter di tanganku. Aku sangat terkejut melihat kasur itu kosong, padahal seharusnya Keiko masih terbaring disana. Aku mulai panik karena Keiko tidak ada di dalam sudut kamar manapun, namun tiba tiba saja pintu kamar mandi terbuka, Keiko keluar dengan pakaian pasien nya yang berwarna hijau dan memegang kantung infus.
“ Susah banget tau buang air dengan satu tangan megang infus begini “ Ucap Keiko mengeluh hebat. Ia sudah nampak lebih sehat dari malam tadi.
“ Kenapa gak bangunin gue! “ Ucapku menghampirinya dan memegang kantung infusan nya, lalu memapahnya untuk berjalan menuju kasur.
Namun ia mengelak. “ I’m totally healthy, udah ah “ Ia duduk di atas kasur, lalu aku menggantungkan kantung infusnya. Tiba tiba saja pintu kamar terbuka, seorang perawat datang untuk mengantarkan sarapan Keiko. Setelah suster itu pergi aku langsung mengambil makanan nya dan mempersiapkan sarapan Keiko. “ Tara, udah “ Ucap Keiko berdiri menarik lenganku.
“ Lo pasien, lo duduk di atas kasur “ Ucapku memaksa. Membukakan plastik yang terdapat di atas mangkuk guna menutupi isi mangkuk tersebut dari virus virus yang bisa saja tersebar di rumah sakit ini.
“ I’m healthy, gue udah totally sehat “ Namun aku lansung mendorongnya pelan agar ia duduk di atas kasurnya. Keiko bersandar sambil menghelakan nafasnya, aku tahu ia tidak suka diperlakukan sebagai orang yang lemah, terlebih itu dengan seorang perempuan. Namun kondisinya semalam betul betul mengkhawatirkan sehingga membuatku sedikit khawatir berlebih untuk saat ini.
“ Kemarin, buat ngomong aja kayanya tuh lo ga sanggup tau gak sih! “ Ucapku menaikkan kasur Keiko agar ia dapat bersandar.
Aku menyodorkan semangkuk mashed potatoes pada Keiko. Ia mengambilnya dan melahapnya dengan cepat. Seperti Keiko pada biasanya yang sedikit terburu buru dalam menghabiskan makanannya. Karena jika aku makan bersama Keiko, ketika aku baru menghabiskan seperempat makananku, Keiko sudah menghabiskan seluruh makanannya, dan kadang kadang ia akan mulai melahap porsi keduanya.
Aku menyodorkannya segelas air dan Keiko langsung meminumnya habis, atau mungkin agak terburu buru, seperti Keiko yang biasanya. Banyak omong dan ngerasa dirinya sehat merupakan tanda tanda bahwa Keiko memang sehat, ketika ia sakit seperti seluruh pribadi ceria Keiko hilang dari dirinya sehingga hampir saja kemarin aku merasa bahwa aku gak menemani Keiko, tapi menemani orang yang hampir sekarat. Tapi melihatnya seperti ini, mencari cari channel televisi di pagi hari sambil ngomel, membuatku lega, tandanya dia sudah sehat betul.
“ Tara “ Ucap Keiko tiba tiba ketika ia sedang mencari channel televisi untuk ia tonton.
Aku menengok ke arahnya. “ Ya? “
“ Lo bener bener mengkhawatirkan gue? “ Tanya Keiko, aku tentu saja mengangguk. Ketika sahabatmu, satu satunya orang yang kau kenal dekat di negeri orang ini sakit, hingga dilarikan ke rumah sakit. Tentu saja kau pasti akan khawatir. Keiko menatapku dengan tatapan yang sering kali ia labuhkan padaku. Lalu dengan singkat membuka mulutnya. “ Dankjewel “ Keiko tersenyum.
***
10 Januari 2013, Delft, Belanda
Malam itu, aku duduk di depan meja belajarku, melihat ke arah layar laptop, mengerjakan thesis yang nampaknya gak selesai selesai, padahal bulan depan aku sudah harus sidang akhir untuk mendapatkan gelar masterku, aku terus bertahan, walau mataku sudah sangat perih karena terlalu lama melihat ke arah layar monitor. Keiko sibuk dengan thesis nya sendiri, mengejar beberapa ketertinggalan ketika kemarin ia sakit. Sehingga aku dan Keiko seharian mengurung diri di kamar kami masing masing di hari libur ini, dan menggantungkan hidup pada siapapun penghuni rumah yang berlalu lalang untuk membawakan kami minum atau makanan. Sampai akhirnya malam tiba, mataku sudah terlalu lelah sehingga aku memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membaringkan tubuhku di atas kasur.
Aku baru saja sedikit memejamkan mataku ketika tiba tiba saja handphone ku berbunyi, menandakan seseorang menghubungi nomor eropa ku, namun di layar LCD nampak sebuah nomor yang gak dikenal. Sehingga aku menjawabnya dengan menekan tombol hijau.
“ Allo “ Ucapku. Entah kebodohan apa yang sedang bergelimang hebat di dalam otakku sehingga menjawab telefon dengan bagaimana Peach biasa menjawab telefonnya.
“ Hallo, Tara “ Ucap suara itu pelan. Aku terperangah bangun, mendengar suara yang ada di seberang sana. Aku masih diam, tidak membalas sapaan nya. “ Perlu 3 bulan untuk bisa hubungin kamu lagi? “ Ucapnya. Aku tidak mampu berkata kata. Perasaanku terlalu kalut, gak tahu harus mengatakan apa, marah dan rindu nampaknya jadi sebuah rasa yang gak bisa diungkapkan dengan kata kata yang mudah. “ Apa kabar? “ Ucapnya santai.
“ Halo, Pran “ Ucapku pelan. Masih gak tahu harus berkata apa. “ Baik, kamu? “
“ Baik juga, jadi setelah hilang selama 3 bulan lebih, kemana aja? “ Ucapnya santai, sedikit rasa kesal kini sudah menang dari rasa rinduku, setelah apa yang terjadi di Berlin, kini dia dengan santainya menghubungiku, bertanya padaku seakan tidak ada apa apa yang terjadi disana. Sehingga aku memutuskan untuk langsung memutuskan sambungan telefon, namun Prana terus menghubungiku, aku melemparkan handphoneku di atas kasur dan pergi meninggalkan kamar.
Turun ke teras sampai suara handphone tidak lagi terdengar, duduk di teras dan akhirnya menangis. Sungguh aku rindu, namun rasa kesal dan marahku kini sedang menang, menutupi sedikit rasa rindu sehingga membuat perbandingan yang gak seimbang. Tiba tiba pintu rumah terbuka, aku tidak tahu siapa yang datang. Namun orang itu duduk di sampingku.
Tanpa berkata ia memelukku, dari baunya aku tahu itu Keiko. Aku terus menangis membasahi kaus abu abu nya, ditengah dinginnya Belanda, hanya terdengar suara isakanku, entah menangisi apa, menangis karena rindu, atau menangis karena kesal. Namun aku tahu dengan pasti, bahwa aku menangisi Prana. Yang sebetulnya cukup bodoh, memikirkan alasan, mengapa aku harus menangis?
Tara, lagi lagi kau belum juga sadar.
***
(Continue to Part 13)
Thank you for reading!
Please, leave comment on the comment board so I can improve everything I write :)
1 comment:
Rauda aku jadi fans ya semangat nulisnya. Keren keikonya jadi pengen gondrong lagi
Post a Comment