Suara orang orang yang mulai berkegiatan di pagi hari terdengar sampai ke kamar sehingga membuatku membuka mata walau masih merasa mengantuk, aku benar benar ingin kembali tidur namun matahari yang sinarnya sudah memenuhi kamar Prana melalui jendela membuatku tidak dapat lagi memejamkan mata sehingga dengan tubuh lunglai aku keluar dari kamar, Prana dan Hardian masih tidur dengan lelap, memeluk selimut dan membasahi bantal dengan air liurnya masing masing, sementara Ozki sedang membuat keributan kecil di bar dapur, membuka tutup lemari, mencari sesuatu.
“ Hey, what are you looking for? “ Tanyaku, sangat beruntung Ozki merupakan orang Jerman yang fasih berbahasa Inggris sehingga kami gak perlu banyak menggunakan bahasa isyarat karena aku sama sekali gak bisa berbahasa Jerman dan Ozki sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia atau Belanda.
“ Coffee “ Ucapnya, aku membantu Ozki mencarinya dan kami samasekali tidak menemukannya. Kami gak tega untuk membangunkan Prana karena ia nampak terlihat sangat lelah. Sehingga Ozki memutuskan untuk mencari coffeeshop terdekat atau minimarket terdekat dan memintaku untuk menemaninya. Dengan berusaha sekuat mungkin untuk tidak membuat suara yang akan membangunkan Hardian dan Prana, setelah menggunakan coat kami masing masing, kami keluar dari flat tanpa menguncinya. Aku dan Ozki dengan cepat turun ke bawah dan keluar dari gedung flat.
“ So, you’re going back with Prana aren’t you? “ Tanya Ozki sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaket dan berjalan disampingku. Pertanyaan yang benar benar tidak ingin kujawab, bahkan aku pikirkan jawabannya. Sehingga aku hanya mengangkat bahu ku.
“ Ask Prana “ Ucapku.
“ He’s really nice actually, I heard so many stories about Prana and you from Hardian, and I often visit Berlin in weekend and slept in Prana’s flat, he’s even really don’t care If I make a big mess in his room, in the next day he’s always try to make it tidy no matter how much we tell him that we’re gonna make some mess again “ Ucap Ozki. Betul betul Prana yang menyukai kerapihan, aku tertawa.
“ Tell me more “ Ujarku, sehingga akhirnya Ozki terus menceritakan cerita cerita perjalanan nya bersama Prana dalam beberapa kali kunjungannya ke ibu kota negara Jerman ini, Berlin. Hal tersebut setidaknya memberitahuku bahwa Prana baik baik saja selama ia tinggal di sini. Setelah berjalan beberapa menit, kami menemukan sebuah minimarket, setelah masuk dan sedikit berkeliling, Ozki lansung mengambil paper cup untuk mewadahi capucinno dari mesin otomatis mini market tersebut.
“ Today is his birthday, last night I’m buying him a cake, and you two should buy him cake too I think “ Ucapku setelah Ozki membayar kopi nya dan susu kotak ku.
“ Yeah Hardian told me last night, we’re planning to give him surprise when you two get home but me and Hardian just overslept, and when I woke up sun already shine so I think we’re too late then Hardian continue his sleep while me searching for a coffee in Prana’s kitchen “ Ucap Ozki sambil meminum kopi nya. Aku dan Ozki keluar dari minimarket, berjalan di atas trotoar sambil menikmati minuman pagi nya masing masing. “ You love him, aren’t you? “ Tanya Ozki tiba tiba.
Aku diam tidak dapat menjawab atas pertanyaan Ozki yang serba tiba tiba.
“ Maybe “ Ucapku singkat sambil sedikit menggigil kedinginan, memasukkan tangan kedalam saku coat ku.
Setelah beberapa menit berjalan, kami sampai di gedung flat Prana, dengan cepat kami naik ke atas, ingin membangunkan Hardian dan Prana karena Ozki menceritakanku tentang suatu tempat di Berlin yang membuatku tertarik dan ingin segera mengajak Prana pergi kesana. Namun kamar flat terbuka ketika kami sampai, mungkin Hardian dan Prana sudah bangun, namun Hardian hanya berdiri di samping pintu ketika aku dan Ozki baru masuk ke dalam kamar.
“ Prana udah bangun? “ Tanyaku pada Hardian, namun Hardian hanya diam, tidak menjawab apa apa sementara aku hanya berdiri terkejut, melihat sebuah koper besar di dekatnya. Setahuku tidak ada yang membawa koper diantara kami bertiga, dan mataku berhenti menyapu ruangan ketika melihat seorang perempuan sedang menyalakan lilin yang ada di atas cake besar di bar dapur flat.
Perempuan itu juga nampak terkejut, namun ia kembali melanjutkan menyalakan lilin ketika Prana terlihat bergerak tanda akan bangun. Perempuan itu langsung membawa cake nya, mendekat menuju Prana. Prana pun terbangun dengan lemas, dan ia nampak sangat terkejut melihat perempuan yang ada di depannya, membawa cake besar dengan lilin lilin yang menyala, di kota Berlin.
Naya.
“ Happy birthday dear “ Ucap Naya tersenyum manis. Prana tidak tahu harus berkata apa, ia melihat ke arah Naya, lalu melihat ke arahku, Hardian, dan Ozki. Nafasku memendek, jantungku terlalu berdebar keras melihat Naya dan Prana, di hadapanku, di kota yang jelas jelas sangat jauh dari Bandung, di kota Berlin, Jerman, Eropa.
Prana seakan gak tahu harus melakukan apa, sehingga ia hanya diam membiarkan lilin lilin di atas cake tersebut meleleh. Hardian dan Ozki juga tidak berkata kata sehingga pagi itu benar benar hening.
“ Tiup dong sayang, keburu meleleh “ Ucap Naya, Prana meniupnya perlahan dan Naya langsung bertepuk tangan, lalu memeluk Prana. Prana membalas pelukannya dan Naya langsung mencium pipi Prana. Naya pun berdiri dan melihat ke arahku, Hardian dan Ozki. “ Kalian kok ada disini? Liburan? Udah lama di Berlin? “ Tanya Naya. Naya sedikit berlari ke arahku dan memelukku. Aku membalas pelukannya.
“ Nay, apa kabar? “ Ucapku santai. “ Kok bisa ada disini.. “
“ Beruntung banget ya aku, datang kesini kalian semua lagi kumpul, aku emang mau bikin surprise gitu buat Prana..kalian? “
“ Aku disini ketemu Prana sama Hardian, ada, perlu kan ya? Kita mau aja projek gitu “ Ucapku, Hardian mengangguk lemas. “ Aku disini dari kemarin siang, tapi pagi ini juga mau pulang kok “ Aku mencoba menenangkan diriku. Prana, Hardian dan Ozki terus melihat ke arahku dan Naya. Nampknya Ozki gak tahu dengan apa yang terjadi disini karena ia mungkin gak mengerti sama sekali apa yang aku dan Naya bicarakan.
“ Kok pulang sekarang sih? Aku kan jauh jauh dari Bandung masa kamu gak mau sih temenin aku? “ Ucap Naya dengan santai, aku melihat ke arah Prana, ia tidak melihatku, memalingkan wajahnya.
“ Gak bisa Naya, aku harus cepet balik Belanda, maaf banget... “ Ucapku kembali memeluk Naya, setelah melepaskan pelukannya dengan cepat aku mengajak Ozki untuk membantuku mempacking barang barangku ke dalam kamar.
“ Sayang banget...Hardian sampai kapan disini? “ Ucap Naya.
Naya terus berbincang dengan Hardian, percakapannya terdengar sampai ke kamar, sementara aku dan Ozki memasukkan barang barangku ke dalam tas. Dari perbincangan yang kudengar memang Naya sudah merencanakannya dari jauh jauh hari, Naya memang termasuk orang yang berada sehingga kalaupun secara tiba tiba ia rindu dengan Prana ia bisa saja nekat pergi ke sini jika beruntungnya ia mendapat tiket pada hari itu juga. Namun aku tidak mendengar suara Prana sedikitpun, hanya suara Hardian, menjawab pertanyaan pertanyaan Naya. Sementara aku melipat dengan cepat baju baju bekas ku dan memasukannya kedalam tas yang kubawa dari Belanda.
“ You’re going back to holland? “ Tanya Ozki. Aku hanya mengangguk dalam diam, tanpa mengatur apa yang ada di dalamnya. Dengan cepat aku menutup sleting tas dan keluar. Naya sedang duduk di samping Prana dan Hardian di depannya, Naya dengan sangat senang memotong kue sementara Prana melihat ke arahku.
“ Nay, duluan ya “ Ucapku keluar dari kamar, Naya nampak begitu terkejut melihatku menggendong tas, dan dengan cepat berdiri menghampiriku dan berdiri depanku. Ia memegang kedua pundakku.
“ Come on, we’re gonna have some fun “ Ucap Naya memelukku.
“ Gak bisa, Nay, pesawatku udah harus berangkat “ Ucapku melepaskan pelukan Naya sambil tersenyum. “ Makanya tadi aku buru buru pulang, karena aku belum packing, right Ozki? “ Tanyaku pada Ozki, walau aku yakin Ozki gak mengerti apa yang kukatakan dan hanya mengerti kata “Packing” namun Ozki mengangguk.
“ Aku antar ya? “ Prana dengan cepat berdiri menghampiriku.
“ Gak usah, kasian Naya, baru sampai sini udah ditinggal “ Ucapku tanpa melihat ke arah Prana. Aku memeluk Hardian dan Ozki, memberikan salam perpisahan pada mereka.
Aku berlari keluar dari flat, tak lama kemudian, aku dapat mendengarnya, dua kaki mengikutiku, aku tidak melihat ke belakang, dengan cepat aku berjalan menyusuri trotoar, sampai aku tahu bahwa Hardian dan Prana yang mengejarku ketika mereka dengan keras meneriaki namaku, namun aku tidak berbalik, sampai aku langsung masuk ke dalam taxi yang baru saja menurunkan penumpangnya tidak jauh dari flat. Tanpa melihat ke arah Prana dan Hardian aku langsung menutup pintu.
“zum Flughafen “ Ucapku singkat. “ Scnell, bitte “
Terakhir kulihat Prana, hanya diam berdiri di persimpangan jalan sementara taxi terus melanju pergi meninggalkan Prana. Selagi taxi melaju aku hanya diam, melihat ke arah luar melalui jendela, membuang seluruh perasaan dan seluruh memori yang terbentuk selama 2 hari kebelakang, membuangnya jauh jauh dari Belanda, membuangnya dan meninggalkannya di Berlin.
Entah aku yang bodoh atau Prana yang salah, namun hal ini cukup menyadari bahwa Prana berhasil membuatku terlena, bersantai santai dengan Prana, bermesraan dengan Prana di Berlin, sampai aku lupa suatu hal yang seharusnya menjadi tembok tebal antara aku dan Prana.
Bahwa Prana masih bersama Naya. Kamu benar benar sahabat yang brengsek, Tara.
***
Setelah mengambil penerbangan tercepat dari Berlin ke Amsterdam, dalam jangka waktu 3 jam aku sudah berada di Belanda, tepatnya di Schipol International Airport. Tidak pernah kusangka bahwa rute Berlin-Amsterdam akan menjadi penerbangan tercepatku dan penerbangan pertamaku melintasi antar-negara Eropa, kupikir aku seharusnya memilih untuk menggunakan kereta, namun rasanya Amsterdam-Berlin terlalu lama ditempuh melalui kereta, sementara aku ingin sesegera mungkin meninggalkan Berlin, tepat ketika aku melihat Naya disana. Gila, hanya butuh 10 menit untuk menyadari bahwa aku sangat bodoh, bagaimana mungkin aku benar benar lupa bahwa Naya masih bersama Prana. Congratulations, Tara, you’re a real jerk now.
Dalam waktu menunggu penerbanganku aku hanya duduk di kursi besi yang dingin di hembus angin Air Conditioner di Bandara, sambil menghubungi Keiko, memberi tahunya bahwa aku akan pulang sekarang menggunakan pesawat terbang. Aku memberitahunya untuk tidak perlu menjemputku di stasiun maupun di Bandara, ini terlalu mendadak untuk Keiko. Setidaknya aku masih dapat bersabar untuk menempuh perjalanan 1 jam dari Amsterdam menuju Delft sebelum kembali ke rumah yang benar benar dapat membuatku nyaman.
Namun ketika aku keluar dari gerbang utama Bandara Schipol, laki laki itu datang. Iya, Keiko sudah berdiri di sana, ia tidak melihat padaku, matanya melihat ke arah layar handphone nya, menggerak gerakkan jari nya yang menandakan bahwa ia sedang bermain game, sambil bersandar pada pilar, dengan syal merah di lehernya, coat tebal, jeans biru kesayangannya yang bisa jadi tidak ia cuci selama 1 bulan, dan rambut hitam kecokelatan nya yang sudah dicukur rapi, seperti pertama kali aku bertemu dengannya di Jakarta 2 tahun lalu. Seperti sadar sedang diperhatikan ia melihat ke arahku lalu tanpa berkata kata lalu datang menghampiriku.
“ Welcome home “ Ucap Keiko. Aku melihat ke arahnya, otakku dipenuhi oleh rasa sesal, mengapa bisa bisanya aku pergi ke Berlin, bermesraan dengan Prana disana, ketika ia masih menjalin hubungan dengan sahabatku, Naya. Dan aku kesal pada diriku sendiri, mengapa butuh waktu yang cukup lama hingga aku sadar bahwa aku tidak layak untuk mendapatkan seluruh treats Prana padaku. Dan bagaimana semuanya terasa begitu cepat, baru tadi malam Prana mengecup keningku, sejak dulu aku percaya bahwa kecupan di kening merupakan tanda sayang yang benar benar tulus. Otakku dipenuhi hal hal tersebut, kesal, marah, kecewa, juga sedih, dan lebih bodohnya lagi, sedikitnya ada rasa rindu yang muncul. Sedikit sekali, ketika hal tersebut tidak sepatutnya kurasakan.
Hingga akhirnya tangisku pecah, aku merengek seperti anak kecil yang permennya direbut oleh temannya, lalu mengadu pada kakaknya. Sementara Keiko hanya berdiri di depanku, membiarkan aku merengek sampai tangisku sedikit mereda. Keiko mengeluarkan sapu tangannya, memberikannya padaku agar aku dapat mengelap air mataku sendiri. Aku menangis, hingga membuat sapu tangan Keiko benar benar basah. Keiko meremas pundakku lembut, lalu menatap mataku. “ Udah, nangisnya? “ Ucap Keiko, aku menganggukan kepalaku, sambil mengusap sisa sisa tangis yang masih ada di ujung mataku.
Keiko kini membantuku mengusap air mataku dengan ujung kaus lengan panjangnya. Ia sedikit membungkuk karena tubuh tingginya, masih tersenyum tanpa memperlihatkan gigi nya.“ You need a hug? “ Ucap Keiko membuka lebar kedua lengannya, aku sedikit tertawa dan mendorongnya pelan. Namun aku langsung memeluknya, dalam waktu ini aku benar benar membutuhkannya, dan satu satunya orang pengganti Pitong selama aku berada di Belanda adalah Keiko, aku dapat menghirup bau sabunnya, benar benar harum yang maskulin, berada dalam dekap tubuh tingginya memang benar benar sesuatu yang dapat menenangkanku“ There you are, ayo, pulang yuk? “ aku melepaskan pelukannya, lalu mengangguk. Aku benar benar membutuhkan Delft pada saat ini.
Setelah mengambil tas ku yang kuletakkan di lantai, Keiko berjalan mendahuluiku, setelah tahu aku berjalan di belakangnya, ia berhenti dan mengulurkan lengannya.
“ You need a friend, right? “ Ucap Keiko, aku mengangguk dan berjalan di sampingnya, berjalan ke stasiun, dan kembali ke tempat yang disebut rumah.
***
Salju turun sedikit, seperti gerimis kecil, Keiko tidak pernah berani berkendara di atas jalanan musim dingin yang licin sehingga kami berpergian menggunakan bis dan kereta sejak musim dingin dimulai dan Keiko pasti menghabiskan waktu di halaman depan untuk merawat skuternya yang jarang ia pakai setiap minggu pagi di musim dingin ini. Aku dan Keiko berlari masuk ke dalam Bierhuis, satu satunya tempat terdekat yang memiliki pemanas di seluruh bagian ruangannya, Keiko langsung masuk ke dalam, membiarkan lantai cafe basah dengan boots nya yang penuh salju sementara aku yang tidak mau merepotkan Martin berusaha menghilangkan sedikit mungkin air air salju yang ada di sepatu boots ku. Ketika aku masuk kedalam, membuka coat, Martin sudah ada di balik bar, seperti biasa, mendengarkan lagu lagu jazz favoritnya, namun kini ia tidak meracik kopi apapun, ia duduk, menghangatkan dirinya sambil menikmati secangkir kopi panas.
“ Hello, Welkom “ Ucap Martin dari balik bar. Aku dan Keiko dengan cepat duduk di kursi yang ada tepat di depan meja bar.
“ Hi Martin, zoals gewoonlijk gelieve “ (as usual please)
“ Ik ook “ (me too) Ucapku sambil duduk dan terus meniup kedua tanganku, menghangatkannya. Martin pun mulai sibuk dengan kopi pesanan kami, sementara aku dan Keiko mencoba menghangatkan diri dari dinginnya musim dingin tahun ini diluar sana. Keiko nampak betul betul kedinginan, padahal ia sudah menggunakan coat super tebal, kaus tebal berlengan panjang dan syal merahnya yang juga tebal dan hangat.
“ Ini baru Desember ya “ Ucap Keiko mengeluh.
“ Tenang, Kei, 2 bulan lagi, ternyata lo tuh lebih lemah dari gue “ Ucapku membuka laptop, melanjutkan thesisku, bab dua yang harus direvisi untuk diperlihatkan hari Senin nanti pada mentor thesis ku di kampus nanti, terlebih lagi dengan mentorku yang super idealis membuatku benar benar harus menghabiskan waktu semalaman hanya untuk merevisi beberapa tenses yang kurang tepat.
“ Lah, dingin juga kan lo “ Keiko menoleh ke arahku sambil mengeluarkan laptop dan beberapa buku tebal tentang urban design dari tas hitamnya.
“ Enggak se dingin lo sih “ Ucapku sambil menatapnya jahil, namun Keiko yang duduk di sampingku masih meniupkan tangannya selagi menunggu laptop nya menyala. Aku mengeluarkan sarung tanganku dan memberikannya pada Keiko. “ Salah sendiri, udah masuk musim dingin suka lupa terus pakai sarung tangan, pake dulu nih “ Ucapku.
“ Lemah banget gue kalau pakai sarung tangan lo, engga usah ah! “ Ucapnya masih meniupkan kedua tangannya.
“ Ya udah, gue udah baik nawarin “ Aku memasukkan sarung tanganku dan Keiko menahannya, ia mengambil satu dan menggunakannya di tangan kanan nya. Wajahnya nampak jengkel namun aku hanya tertawa dan kembali melihat ke arah laptop. Si Keiko ini boleh tinggi dan juga bertubuh atletis, membuatnya terlihat kuat, namun tinggal bersamanya membuatku mengetahui salah satu kelemahannya yang benar benar melemahkannya: suhu yang dingin.
Salju sudah mulai turun di Delft, walau gak banyak, sehingga kadang trotoar terasa licin dan sarung tangan merupakan aksesoris wajib yang kugunakan setiap kali keluar dari rumah sejak bulan Desember ini. Sudah tidak ada lagi pepohonan yang menguning yang memberikan suasana hangat pada musim gugur, kini pohon pohon tersebut sudah menggugurkan daunnya, menyisakan batang dan dahan dahan yang kini terkadang dipenuhi oleh salju.
Aku dan Keiko tengah mengerjakan thesis kami, hasil revisi tadi siang dari mentorku yang super idealis dan mentor Keiko yang katanya benar benar mendidik seluruh mahasiswa tingkat akhirnya dengan keras sehingga Keiko beberapa kali mendapati kertasnya di robek ketika terlalu banyak bagian yang salah di dalamnya.
Masih seperti dulu, Keiko membangunkanku di pagi hari jika aku terlambat, berangkat ke kampus, makan siang bersama, kopi di sore hari, makan malam, mengerjakan thesis, mengantarnya untuk mencari spare parts untuk mempercantik skuter kesayangannya di free market, dan hal hal lainnya yang memang biasa ku lakukan dengan Keiko di Belanda ini. Namun kini top knot di rambutnya sudah hilang, ia sudah mencukur rambutnya lebih rapi, walau kini rambutnya sudah memanjang lagi sejak 3 bulan yang lalu ia memutuskan untuk memangkas rambutnya.
Sudah 3 bulan sejak kepulanganku dari Berlin. Aku sengaja mengganti nomor Eropa ku, agar Prana tidak dapat menghubungiku, mengatakan pada orang orang rumah untuk mengatakan pada siapapun tamu yang mengunjungiku bahwa aku sedang ada di luar, dan pergi kemana mana bersama Keiko. Agak berlebihan, namun aku benar benar tidak mau lagi mengambil resiko dengan membiarkan diriku kembali berjalan mundur, terlebih lagi melangkahi Naya yang bagaimanapun merupakan sahabatku. Bahkan sampai sekarang aku gak mau mendengar cerita apapun dari Hardian atau Ozki yang sudah berulang kali mencoba menghubungiku melalui media sosial, baik itu tentang Prana, atau tentang Naya.
Keiko dengan sabar menahan emosinya ketika aku menceritakan apa yang terjadi di Berlin. Dan sampai saat ini ia gak pernah sekalipun membahasnya dan membantuku untuk kembali ceria, walau ia akhirnya mengeluh, sulit sekali membuatku tersenyum pada 1 minggu pertama setelah kepulanganku dari Berlin. Seperti yang kubilang, sahabatku ini punya seribu cara untuk membuatku tersenyum kembali.
“ Jadi kan, kita tahun baruan di Paris bareng anak anak rumah? “ Ucap Keiko.
“ Jadi, mereka udah pesenin tiket untuk kita dari jauh hari “
“ Klise juga ya taun baruan di Paris, yang pasang pasangan pasti deh, bikin scene romantis di Eiffel, di Champ Elysees “ Ucap Keiko jengkel. Orang yang sama sekali gak bisa romantis bahkan can’t stand for watching Drama ini menggerutu setiap kali ia mendengar tujuan orang datang ke Paris adalah untuk bermesraan di menara Eiffel.
“ Kenapa, lo sirik? “ Tanyaku.
“ Ya enggak juga Tar, lo tau lah gue gak suka yang klise klise begitu, Paris tuh gak Cuma Eiffel gitu, gak Cuma Champ Elysees, gak Cuma Louvre, Arc de Thriompe....lagian kita tuh kan bisa ke Monte Carlo, Cannes, Marseille, Avignon, Tours... “
“ Okay, okay Mr Traveller, Eh tapi makasih ya, tiket diskon Eurail nya lo kasih sama gue, keuangan gue tipis banget soalnya “ Ucapku memotong kalimatnya.
“ Lo juga sih, maksain naik pesawat September kemarin “ Ucap Keiko, sedikit menyinggung tentang kepulangan tiba tiba ku dari Berlin menggunakan pesawat terbang. Namun dengan cepat juga ia mengalihkannya. “By the way, gue boleh gak nonton Crazy Horse pas di Paris nanti? “ Dimana Crazy Horse merupakan pertunjukan beberapa perempuan berbaju minim bergerak sesuai hatinya mengikuti irama lagu.
“ Ngaco!! “ Ucapku menyikutnya agak keras, Keiko hanya tertawa sambil menahan tanganku. Aku menghelakan nafasku sambil melihat ke arah Keiko. Aku benar benar beruntung mendapatkan Keiko sebagai teman baik, kadang kuanggap ia sebagai kakak laki laki, bahkan kadang kuanggap sebagai kakak perempuan. Bagiku, Keiko merupakan sebuah bukti nyata, dari quotes terkenal oleh Henry Ford berbunyi “ My best friend is the one who brings out the best in me “
“ Pantes deh, gue gak dapat dapat cewek bule, kemana mana lo ngintilin gue terus. “ Ucap Keiko, aku dengan cepat menjitak kepalanya dan Keiko hanya tertawa, begitu pula aku.
Dan malam ini tawaku, Keiko dan Martin memenuhi Bierhuis yang sedang kosong, suhu dingin diluar, tidak terasa karena hangatnya heater di Bierhuis pada malam ini dan Keiko yang punya seribu cara untuk membuat orang orang disekitarnya tertawa.
***
Aku melihat ke arah foto tersebut, foto dengan effect Sepia yang membuat warna monokrom tersebut terlihat lebih ke cokelat cokelatan, 4 foto dalam 1 lembar panjang. Nampak disana aku dan Prana terlalu bahagia, terlalu bahagia sampai aku lupa bahwa Prana masih bersama Naya. Namun foto ini membuatku kembali teringat, rasa sakit ketika Naya tiba tiba ada di Berlin, di hari yang sama ketika pada malam harinya Prana memperlakukanku sebagai kekasihnya. Lagi lagi aku langsung menyembunyikannya di antara tumpukan tumpukan kertas bekas tugas, dan kembali fokus pada layar laptop, melanjutkan thesisku.
***
24 Desember 2012, Delft, Belanda.
Suasana natal sangat terasa di Delft, beberapa penghuni rumah yang mayoritas berasal dari Asia Timur merayakannya hingga rumah kami dipenuhi oleh dekorasi dekorasi natal yang cukup meriah dan pohon natal yang cukup besar di ruang tengah –yang entah mengapa melalui ide dari Naoko, seorang mahasiswi asal Jepang, pohon natal itu menjadi sebuah pohon tanabata yang digantungkan permohonan permohonan kami di tahun baru nanti, walau pada akhirnya permohonan permohonan yang digantung merupakan permohonan konyol seperti Peach yang berdoa agar tiba tiba saja salju turun berubah menjadi hujan mangga –ia benar benar menyukai buah mangga-. Ditambah lagi pemilik rumah yang juga tinggal disini merayakannya sehingga malam natal ini cukup menjadi perbaikan gizi bagi kami yang tidak merayakan, apalagi bagi para mahasiswa tingkat akhir, hal ini benar benar sebuah penyegaran dari kertas kertas, buku buku, dan data data yang selalu kami temui siang dan malam.
Aku sedang membantu Lin-Shu, seorang asia China yang melanjutkan studi masternya sejak 6 bulan yang lalu dan juga Peach, seorang pemuda asal Thailand yang akan lulus S1 tahun ini, memanggang daging untuk dinikmati oleh para penghuni lainnya. Hidup di rumah khusus diperuntukkan bagi mahasiswa Asia memberiku banyak keuntungan termasuk melihat Soo Young, mahasiswa asal Korea yang tampangnya agak mirip dengan salah satu artis K-pop yang tidak ku hafal namanya, dan juga seorang laki laki peranakan pakistan bernama Nathan. Termasuk juga Pedro, mahasiswa S2 asal Bali yang tingkat percaya dirinya sangat tinggi sebagai satu satunya mahasiswa Indonesia setelah aku dan Keiko. Namun nampaknya, satu teman ku dari Indonesia menghilang.
Keiko tidak nampak batang hidungnya setelah kami pulang dari Supermarket, berbelanja bahan untuk feast malam ini. Namun hal ini selalu terjadi setiap malam natal, Keiko selalu menghilang, dan akan kembali muncul di tengah tengah pesta ketika Pedro sudah menari di atas meja, mengikuti irama, mabuk di tengah malam.
“ You see Keiko? “ Tanyaku pada Pedro.
“ Keiko terus, aku kapan? “ Tanya Pedro dengan nada menggoda nya, dan tentu saja, ia sudah sedikit mabuk dari bau alkohol yang tercium berasal dari mulutnya. Orang ini memang gila minum.
“ Pedro, Keiko ada di mana? “
“ Galak bener, he’s in the terrace “ Ucap Pedro meninggalkanku, mungkin ingin kembali mengisi gelas nya yang sudah habis, aku langsung bergegas keluar ke teras depan.
Keiko sedang duduk di tangga, memegang segelas soda dan melihat ke arah jalan, mendengarkan lagu dari earplugs nya yang aku tahu pasti kini ia sedang mendengarkan beberapa instrumen jazz favoritnya. Aku langsung menghampirinya dan duduk di sampingnya. Aku memperhatikan wajahnya, tatapannya kosong, dan rona di wajahnya sedih, tak se ceria yang selalu aku lihat, masih sama seperti natal tahun lalu, namun sampai hari ini pun aku belum pernah tahu alasannya, mengapa ia duduk sendirian di malam natal, seketika malam itu nampaknya suhu dingin tidak mengganggunya sedikitpun.
“ Kei “ Ucapku, Keiko tidak terkejut, setelah mendengarku ia membuka salah satu earplugs nya dan menoleh sebentar, lalu tersenyum, namun ia kembali memandang jalanan yang sepi tanpa berkata kata. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, Keiko yang kesehariannya ceria mebuatku dapat dengan mudah mengetahui jika suasana hatinya sedang buruk. Dan kali ini pun ia belum mau menceritakannya padaku. “ Lo kenapa? “ Tanyaku, Keiko hanya menggelengkan kepalanya. Aku sedikit gemas, aku sudah beribu ribu kali bercerita pada Keiko ketika suasana hatiku sedang buruk, dan karena Keiko selalu mengetahui jika aku sedang kurang bahagia, Keiko selalu memintaku untuk bercerita padanya. Keiko memang jarang terlihat sedih, namun ia tidak pernah mengatakannya, sekalipun kini ia memang benar benar terlihat sangat buruk. “ You never told me about yourselves, its always been my story, and when you’re daydreaming, and sitting alone like this, you just wouldn’t tell me what’s on your mind “ Ucapku sedikit kesal. Namun Keiko tidak langsung luluh, ia selalu mencari cara untuk mengelak, alasan apapun itu.
Ia mendongkak, membuka earplugs satu nya lagi. Lalu melihat ke arahku. “ Kata siapa gue gak pernah cerita, I told you, I told you about my family, I told you about school life in Jakarta, I told you about me, 10 things you don’t know about me. “
“ Bukan itu nya, Kei. Gue tau betul, siapa lo. Tapi semua yang lo ceritain, belum pernah tentang suatu masalah yang ganggu pikiran lo, kecuali perceraian nyokap sama bokap lo, tapi karena itu udah lama banget lo juga yang bilang buat lupain itu semua kan? “ Ucapku, Keiko memang pernah menceritakan kisah keluarganya, bahwa orang tuanya sudah bercerai, namun hanya bercerita sampai sebatas itu. Dan kini Keiko hanya menghelakan nafasnya.
Keiko yang merupakan anak tunggal dari sebuah keluarga broken home ini memang seringkali menyimpan masalahnya sendiri, ketika ia sedang memikirkan sesuatu ia akan pergi menghilang dariku dan kembali lagi dengan wajah ceria seperti biasanya, sampai aku pun sadar bahwa selama ini Keiko belum pernah menceritakan padaku tentang masalah yang ia miliki, namun tidak termasuk masalah kecil seperti motor vespa nya mogok.
“ Really its nothing “ Ucap Keiko melihat ke arahku, tersenyum, mencoba meyakinkanku bahwa segalanya baik baik saja, walau aku tahu dia benar benar berbohong. Di tengah gelapnya malam aku masih dapat melihat senyumnya. Sekeras apapun aku mencoba, dinding yang dimiliki Keiko memang tidak dapat ditembus, sehingga aku hanya menepuk pundaknya lebarnya, sedikit mengelusnya lembut dan pergi meninggalkannya.
“ If there’s something you want to tell, please, I’m here “ Ucapku sebelum masuk ke dalam gedung, seharusnya ia benar benar tahu, bahwa aku ada untuk nya, walau kami berdua sama sama sadar, Keiko jauh lebih dewasa dibandingkan dengan cara berfikirku. Namun Keiko hanya melihat ke arahku dan mengangguk. Ia menyunggingkan bibirnya, tersenyum untuk terus berusaha membuatku yakin bahwa dia baik baik saja.
Aku tetap mengintipnya dari jendela, melihat punggungnya yang lebar, ia bilang karena dulu ia merupakan atlet baseball sampai ke tingkat SEA Games, dan hobi olahraga nya membuat ia lebih tinggi dari teman temannya yang lain. Rambutnya agak cokelat, ia bilang dulu mama nya coba coba untuk mewarnai rambut Keiko ketika ia sedang tidur di rumah Mama nya, karena hasilnya buruk, akhirnya ia mewarnai seluruh rambutnya menjadi cokelat tua.
Dalam hidupnya ia tidak pernah sempat memiliki adik kandung atau kakak kandung, satu satunya adik nya adalah adik tiri nya, perempuan berumur 13 tahun, hasil pernikahan kedua Mama nya. Namun setelah menikah, Mama nya tinggal di dataran Sulawesi sehingga ia memilih untuk tinggal bersama keluarga Papa nya di Jakarta. Sehingga hal tersebut yang ia alami pada masa SMA membuatnya semakin kuat, mandiri, dan bijak. Dan ia berhasil memanjat gerbang tinggi Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia dan belajar disana.
Dibalik tingkah ceria dan kocaknya, ia memikul beban berat untuk meneruskan perusahaan keluarga Papa nya yang juga seorang Arsitek. Dan sumpah, dibalik sifatnya yang nampaknya banyak bercanda sehingga tidak dapat serius dalam menjalanin apapun, Keiko betul betul memiliki otak yang encer, dibuktikan dengan fasihnya ia berbicara bahasa Belanda dan Jepang –karena keluarga ayahnya merupakan keturunan langsung negara di asia timur tersebut, juga sedikit Mandarin. Rasanya hal tersebut juga dipicu dari musik yang ia dengar sejak SMA, yaitu instrumen jazz seperti karya Sonny Rollins, Michael Brecker, Branford Marsalis dan lagu lagu lainnya yang selalu terdengar dari kamarnya yang selalu terbuka jika ia sedang ada di dalam. Cukup mengejutkan bagiku, karena dibalik tingkahnya yang kocak ia mengetahui seluruh pemenang best jazz instrumental album grammy awards dari tahun 90 an sampai yang paling baru.
“ The meat is ready “ Teriak Lin Shu dari halaman belakang rumah, semua penghuni rumah langsung berhamburan menghampiri Lin Shu, tidak ingin kehabisan daging, ya begitu juga aku. Sehingga aku langsung menutup kembali gorden dan membiarkan Keiko dengan lamunan nya. Akupun bergabung dengan Lin Shu, dan para penghuni lain yang sudah berebutan daging, dan memberikan waktu pada Keiko dengan lamunan nya, tentang apapun itu.
***
30 Desember 2012, Paris, Prancis.
Gare du Nord sore ini cukup penuh dipadati oleh banyak sekali penumpang, baik itu warga lokal maupun turis. Sehingga aku, Keiko dan 8 teman teman satu rumah ku harus bersusah payah untuk dapat keluar dari kereta dengan tas tas kami yang menyimpan barang bawaan selama 3 hari kedepan, dengan Nathan sebagai laki laki tertinggi diantara kami –tingginya bahkan melebihi Keiko, ia berusaha menyeruak dari banyaknya orang orang yang berlalu lalang.
“ We can’t find Soo Young “ Ucap Lin Shu tiba tiba ketika ia sedang berusaha menarik koper beroda nya, mata kami menyapu stasiun, mencari pemuda korea kami yang hilang entah mengapa bisa.
Aku terus mencari batang hidungnya, namun diantara kerumunan penumpang, aku melihat sosok yang benar benar aku kenal, bukan Soo Young, tapi pemuda asia yang benar benar familiar di wajahku. Aku merasa jantungku berdebar kencang, sehingga reflek, aku menyimpan tas ku di dekat Keiko dan pergi meninggalkan teman teman. Keiko sadar dan langsung mengejarku. Aku terus menerjang kepadatan di stasiun, mengejar pemuda tersebut. Namun sampai di gerbang keluar, aku kehilangan sosoknya, dan aku menghelakan nafas pendek, lelah karena sudah menembus kerumunan penumpang kereta. Keiko menghampiriku dan berdiri di depanku.
“ What are you thinking? “ Ucap Keiko sedikit jengkel. Aku masih mengatur nafasku, berusaha untuk menjawab pertanyaan Keiko.
“ I see him “ Ucapku.
Keiko terus bertanya siapa, namun aku pun terdiam, tidak mungkin seorang Prana menghabiskan tahun baru di Paris, Paris bukan salah satu kota yang ingin ia kunjungi, seringkali ia mengatakan bahwa lebih banyak kota yang lebih indah untuk dikunjungi selain Paris, sehingga tidak mungkin Prana ada disini. Aku merasa bodoh, pergi mengejarnya ditengah keramaian stasiun, padahal aku pun belum tahu apa yang akan aku lakukan jika itu benar benar dia dan aku berhasil mengejarnya. Keiko menarik lenganku untuk kembali ke tempat sebelumnya. Aku terus melihat ke arah jalan dan kembali masuk ke dalam.
Perlu beberapa saat untuk menyadari bahwa sebetulnya jika itu memang dia aku tidak harus mengejarnya. Aku tidak mau kejadian Berlin terulang.
***
Ini merupakan kali ke dua aku dan Keiko mengunjungi menara Eiffel di malam hari, sehingga aku dan Keiko memutuskan untuk diam dibawah, duduk di salah satu kursi kayu sementara teman teman kami naik ke atas. Gak lama setelah sampai ke hostel teman teman kami langsung mengajak kami untuk pergi ke Eiffel dan dengan otomatis menunjuk kami sebagai Guide. Sehingga malam ini aku dan hanya duduk di salah satu kursi kayu di Champ de Mars sambil sekali lagi memperhatikan menara tinggi yang menjadi salah satu keajaiban dunia itu dihiasi lampu lampu terang dan mempercantik kota Paris di malam hari.
Tiba tiba saja Keiko datang sambil membawakanku segelas kopi dan duduk di sampingku, kami menikmati dinginnya angin musim dingin Paris, belum mau pulang ke hostel tempat kami menginap walau hari sudah larut dan udara sudah cukup dingin.
“ Tentang yang malam natal kemarin, sorry ya, gue gak cerita cerita sama lo “ Ucap Keiko tiba tiba, aku melihat ke arahnya.
“ Gue gak maksa, gue Cuma pengen lo tau, gue ada disini, buat lo, dan lo buat gue, dari sejak awal kedatangan kita di sini, mau gak mau, terima gak terima, kita memang harus saling sokong, gue gak bisa, kalo keadaan nya gue doang yang sering nyerocos cerita, sementara gue gak bisa bantu lo “ Ucapku. Keiko hanya diam, tidak melanjutkan bicaranya dan meneguk kopinya, aku melihat ke arah Keiko, matanya tertuju pada menara Eiffel. Tatapannya kosong, namun nampak seperti sedang berselancar bebas terjun ke dalam masa lalu. “Kei “ Ucapku, Keiko langsung melihat ke arahku dengan sedikit terkejut.
“ Sorry “ Ucap Keiko. Ia menghelakan nafasnya panjang. “ I’ve been in love, once“
“ Lo belom move on? Ah elah “ Ucapku tertawa, namun Keiko tidak. Sehingga aku merasa bahwa aku sudah melakukan hal yang salah dan aku tahu Keiko sedang serius.
“ Bukan masalah itu nya, dan fyi, gue gak sempat, pacaran sama dia Tar “ Ucapnya. Ini pertama kalinya Keiko berbicara tentang kisah cintanya, setelah 1,5 tahun mengenal Keiko, ia belum pernah sekalipun bercerita tentang cerita cintanya, dan kini ia menceritakannya. Aku terus berandai andai apakah hal tersebut yang membuatnya selalu diam termangu di malam natal ketika teman teman kami bersuka cita. “ Dia cewek yang beda dari cewek lain, Tar. Gak kaya cewek cewek lainnya yang deketin gue Cuma karena bokap gue counted as a rich person. Dia bener bener cewek yang sederhana, cerdas, cantik walau gak di poles make up. Pokoknya, dia itu different and I adore her in every ways “
“ Then...? “
“ I make a move, gue deketin dia, dan gak semudah yang gue bayangkan, temboknya bener bener sulit ditaklukin, not easy as approaching cewek cewek lainnya, tapi mahasiswi hukum ini bener bener out of reach banget, sampai akhirnya setelah 3 bulan berusaha gue baru bisa nge date sama dia, ke Bandung “ Ucap Keiko. Ia diam sejenak, tidak langsung menceritakan lanjutannya. Nampaknya ini adalah hal terberatnya. “ Tapi ujungnya, bikin gue bener bener takut lagi untuk jatuh cinta, bahkan buat gue takut untuk menceritakan kisah hidup gue ke orang orang “
“ What is that? “
Keiko tidak langsung menjawab. Ia mengumpulkan keberaniannya. “ Dia gak mau punya pacar seorang cowok yang tumbuh dari keluarga broken home “ Ucap Keiko. “ Salah gue, karena gue baru ceritain itu setelah kita nge date 3 kali, hari itu gue baru banget mau nembak dia, tapi ketika dia tau bagaimana berantakannya keluarga gue, raut wajah dia berubah “ Keiko melihat ke arahku. “ Itu kenapa gue disini, setelah lulus, gue masih gak berhenti memikirkan, apakah ada orang yang nerima gue, sebagai temen, dengan latar belakang keluarga gue yang berantakan, terlebih lagi apa ada perempuan yang mau sama gue, karena paradigma orang yang berfikir bahwa buah jatuh gak jauh dari pohonnya, yang berarti mungkin gue akan melakukan hal yang sama kaya nyokap dan bokap gue di kemudian hari..sehingga kadang gue berfikir kalau, lebih baik orang orang nggak tahu “
“ Perceraian bukan berarti lo punya pribadi yang buruk.. “
“ Ceritanya jauh lebih kompleks, dari sekedar cerai, Tara “ Ucap Keiko memotong pembicaraanku. Aku tidak meresponnya, membiarkan Keiko melanjutkan ceritanya. “Sejak dia gak bisa terima dengan keadaan keluarga gue, gue gak pernah cerita tentang ini sama semua orang, gue Cuma bilang sama orang orang, bokap sama nyokap gue cerai, bokap di Jakarta, nyokap sama suami baru nya di Sulawesi, gak Cuma sampai situ, Tar. Problem keluarga gue, sebenernya yang kadang bikin gue daydreaming, gue tekenin Tar, ini lebih kompleks dari sekedar cerai “ Ucap Keiko benar benar menekankan kalimat terakhirnya. Seakan ingin memberitahuku bahwa ia benar benar tidak berbohong. Aku percaya. Namun aku mulai berargumen, dan sudah siap jika Keiko mungkin saja mengalahkanku di argumen ini.
“ Terus lo pikir gue ga bisa terima juga? Dan lo bakal terus nyimpen itu, dan stick to your mindset kalau orang orang gak akan bisa terima lo dengan keadaan keluarga lo yang menurut lo bener bener berantakan? “
Tidak seperti dugaanku, Keiko yang cukup keras kepala dalam berargumen ini hanya diam. Tidak menjawab pertanyaanku. Aku kembali angkat bicara. “ Semua yang lo takutin, itu Cuma dikarenakan oleh 1 point of view, Kei. Orang lain, belum tentu kayak cewe yang lo deketin itu. Gue gak maksa lo untuk cerita tentang keluarga lo, tapi satu, yang harus lo tau “ Keiko melihat ke arahku dengan tatapan bertanya. “ Gue merupakan salah satu orang yang gak peduli sama latar belakang temen temen gue, karena menurut gue, yang paling penting itu adalah pribadi orang tersebut gak bikin rugi orang dan gak mengganggu orang sekitarnya, sekalipun orientasi seksual dia berbeda dari orang orang sekitarnya, sekalipun dia anak mafia, karena gak selamanya orang orang itu, salah, dan di dunia ini, gak Cuma gue yang punya mindset kaya gitu, masih banyak banget orang di dunia, inget itu Kei “ Ucapku. Ia tidak meresponnya, melainkan hanya menyandarkan badannya pada bangku kayu, memasukkan kedua tangannya kedalam saku coat tebalnya dan aku dapat melihat uap dari mulutnya ketika ia menghelakan nafasnya panjang. Menandakan hari ini begitu dingin walau Paris sedang penuh penuhnya.
Ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. “ Gue jadi sedikit lega “ Ucap Keiko.
“ Gue ada disini buat lo Kei “ Ucapku tersenyum.
“ Thank you “ Ucap Keiko pelan, sesaat setelah itu ia mengajakku untuk pergi dari sana, suhunya cukup mendingin seiring angin malam yang semakin kencang, kami memutuskan untuk meninggalkan teman teman kami di Eiffel, dan menyuruh mereka untuk pergi ke hostel tempat kami menginap lebih dulu jika kami belum sampai kesana. Kami memutuskan untuk menghabiskan malam di McDonald yang paling dekat dari Champ de Mars.
Malam itu kami menikmati fries ditemani dengan barbeque sauce, setangkup Croque McDo, sandwich tipis berisi keju dan daging ham diantara dua roti nya untuk Keiko dan P’tit Tex Mex untukku, sandwich yang serupa dengan cheese burger. Dan malam itu, sambil menyeruput segelas soda dingin walau malam ini suhu cukup rendah, Keiko menceritakannya.
Ia menceritakan seluruh kisah kompleksnya, bagaimana ia melarikan diri ke Serang ketika ayahnya mengusir ibu nya dari rumah ketika mereka sama sama ketahuan berselingkuh, bagaimana dia pernah membenci keluarganya akan apa yang telah terjadi, bagaimana hidupnya ketika secara terpaksa ia harus tinggal di rumah tantenya sementara kedua orang tuanya mengurus perceraian, bagaimana ia melewati ujian pada masa masa berat, bagaimana bingungnya Keiko ketika ia harus memilih ingin ikut ayahnya di Jakarta atau ikut Ibu nya ke Sulawesi, bagaimana masa masa itu begitu kelam untuknya, ketika secara perlahan, keluarga yang ia pikir akan hidup dengannya selama lamanya tiba tiba begitu saja hancur, hancur karena dua orang dewasa yang tidak dapat mengelola emosinya, hancur karena dua orang dewasa yang tidak berfikir panjang tentang resiko yang akan dialami oleh keluarga kecilnya ketika mereka sama sama berselingkuh, memadu kasih dengan orang lain yang bukan istri/suami nya. Namun Keiko menceritakannya dengan tegar.
“ Masa masa itu udah lewat Tar, tapi gue berani bersumpah sama diri gue sendiri, kalau gue gak akan pernah mau selingkuh, bagaimanapun orang orang bilang kalau gue mungkin akan mengikuti jejak orang tua gue, karena buah yang jatuh gak jauh dari pohonnya” Ucap Keiko dengan tekadnya yang kuat. Ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. “Masih mau temenan sama gue? “
Aku tersenyum. “ Cerita itu bukan alasan untuk gue jauhin lo, besides, cerita itu bikin gue lebih merasa beruntung lagi, mendapatkan lo sebagai sahabat. Lo hebat Kei “ Ucapku singkat. Kei tidak menjawabnya, ia kembali mengunyah kentangnya.
Malam itu malamnya Keiko, ia mencurahkan seluruh isi hatinya padaku, dan tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1 pagi, telefon dari Nathan yang sudah marah marah karena kami tak kunjung pulang membuat kami harus pergi meninggalkan McDonald malam itu juga.
***
31 Desember 2012, Paris, Prancis.
Kami bangun pagi pagi sekali untuk berkeliling kota Paris sampai malam tahun baru nanti yang akan kami habiskan di Champs Elysées. Keiko nampak lebih ceria dari sebelumnya, pagi pagi sekali ia sudah menggedor kamarku, menyuruhku untuk cepat cepat bersiap untuk pergi karena aku terlambat bangun, karena tadi malam aku baru sampai ke hostel pukul setengah 2 malam dan baru bisa tidur setelah Lin-Shu bercerita tentang kekasihnya yang ia tinggalkan di China sampai pukul 3. Namun Keiko ini seakan tidak pernah kehabisan energi, dia tetap ceria, ketika aku berjalan lunglai ke kamar mandi karena kurang tidur.
Sejak kemarin, Keiko lebih sering bercerita tentang dirinya, kami yang sudah pernah pergi ke Paris hanya bertugas untuk mengantar kan para penghuni rumah lain yang belum pernah pergi kesini, bahkan Soo Young belum pernah keluar dari Belanda sejak kedatangannya di sini, dan kami hanya duduk duduk diluar, menikmati Paris sambil banyak bercerita. Tidak dapat dipungkiri Paris memang kota yang indah, namun dengan cerita cerita Keiko, kunjunganku ke Paris kini jauh lebih berkesan dibandingkan yang sebelumnya.
Namun lagi lagi sosok seorang pemuda membuat perhatianku di Gare du Nord teralih. Aku sedang duduk duduk di teras museum Louvre, menunggu Keiko membeli makanan hangat untuk menghangatkan diri selagi menunggu teman teman kami masuk ke dalam museum. Aku melihatnya, sosok yang ku kejar di Stasiun sore kemarin.
“ Nih “ Ucap Keiko memberikanku segelas minuman hangat, aku menoleh ke arah Keiko dan langsung mengambil paper cup yang ada di tangan Keiko. Aku kembali melihat ke arah yang sama ketika aku melihat sosok tersebut, namun ia sudah hilang. “ Tuh, anak anak, yuk “ Ucap Keiko melihat ke arah pintu keluar Museum, mereka sudah keluar, dan itu artinya kami harus segera berdiri, berpindah ke tempat lain. Aku langsung ikut dengan Keiko untuk menghampiri teman teman kami yang lain. Namun sesekali aku melihat ke belakang, mencari cari lagi sosok tersebut. Sosok yang seharusnya tidak aku cari.
***
“ Tapi kan bagus juga strolling around di Paris “ Aku sudah berandai andai suasana romantis di Paris “ Jadi kamu gak akan nih jalan jalan ke Paris? “
“ Pokoknya aku mau ke Norwegia “
***
Jalan utama Champ Elysees yang mengarah pada Arc de Thriompe dipenuhi oleh para masyarakat lokal dan turis sehingga aku bahkan tidak dapat menikmati suasana tahun baru di tengah kepadatan ini. Keiko berkali kali melihat ke arah jam tangan nya, 1 jam lagi memang tahun baru, namun kami belum menemukan spot yang baik untuk menikmati acara acara di Champ Elysees, bahkan kami terpisah dari teman teman kami. Keiko pun langsung menarikku, keluar dari kerumunan.
“ You really want to spend your new year here? “ Tanya Keiko. Aku menggelengkan kepaku, tidak terbayang bagaimana aku harus menghabiskan malam di tengah kesesakan ini, ia kembali melihat ke arah jam tangannya. “ We still have time to go to the Seine Bridge “ Keiko sedikit berteriak.
Aku tidak begitu mendengar dengan jelas apa yang Keiko katakan sehingga aku hanya mengangguk. Keiko menarik lenganku ke jalanan yang lebih sepi. Setelah kurang lebih 15 menit berjalan kaki kami sampai di Avenue de New York dengan pemandangan langsung menuju Seine River, sekitaran sungai memang ramai tapi tidak sepadat Champ Elysees.
Aku dan Keiko mencari spot yang kosong,kami pun berdiri di dinding pembatas, masih sambil melihat ke arah sungai. Kami hanya diam, menikmati tenangnya alur sungai, walau dengan sedikit suara bising dari Champ Elysees dan suara kembang api yang dinyalakan oleh warga lokal. Dari sini Eiffel masih terlihat, namun rasanya Keiko memilih untuk memperhatikan jembatan Pont de Alma yang gagah pada malam hari ini.
“ One of the most romantic place in Paris, dan gue habiskan dengan lo “ Ucap Keiko, aku menjitaknya, namun kali ini ia sempat menahan tanganku. “ Ga ada jitak jitak di malam tahun baru “
Aku tidak berkata kata, hanya memperhatikan Keiko, aku seringkali memperhatikan Keiko dari dekat, namun tidak pernah sampai se detail ini. Mata nya gak se sipit yang orang orang bilang, hidungnya gak semancung seperti yang biasa aku lihat dan dari sedikit cahaya lampu aku dapat melihat bola matanya yang benar benar hitam, dihiasi dengan kantung mata dibawah kelopak matanya, tanda bahwa ia sudah beberapa hari ini tidak tidur lantaran mentornya yang killer. Sadar sedang diperhatikan Keiko melihat ke arahku.
“ Apa liat liat, gue ganteng ya? “
Aku bergidik jijik dan memalingkan wajah dan kembali melihat ke arah sungai. Kini aku yang sadar sedang diperhatikan, aku melihat ke arah Keiko, ia sedang melihat ke arahku. “ Admit it kalau gue emang ganteng “ Ucap Keiko, aku menutup wajahnya dengan kedua tanganku sementara Keiko mencoba melepaskannya sambil tertawa. Keiko melihat ke arah jam tangannya, 15 menit lagi menuju tahun baru. “ By the way, lo udah ada pikiran untuk nikah? “ Tanya Keiko tiba tiba.
Aku menghelakan nafasku panjang. Aku benar benar tidak tahu harus menjawab apa tentang pernikahan, walau aku sadar umurku sudah cukup untuk seorang perempuan menikah. “ Sejak gue berpisah sama Prana gue belum lagi punya rencana masa depan yang benar benar ter struktur. Jadi, belum ada rencana. Karena sesuai rencana gue sama Prana harusnya gue ada di Eropa dengan status udah menikah dengan dia, tapi keadaan berkata lain sehingga gue sekarang ada di Eropa, dengan status masih mencari, I’m going 26 and I’m single “ Ucapku, teringat akan rencanaku dan Prana ketika kami masih bersama. Kami memutuskan untuk melanjutkan studi di Jerman dan tinggal disana berdua setelah menikah, namun kami berpisah sebelum rencana tersebut terealisasi.
“ Gue gak pernah bikin target menikah kapan, but when there’s a right woman, tanpa nunggu lagi gue bakal nikahin dia “ Ia melihat ke arahku. “ It could be you “
“ Ngaco “ Ucapku.
“ Ya iyalah, mana ada gue sama lo “ Ucap Keiko tertawa sambil menirukan aku bergidik jijik. “ But seriously, kalau lo sekarang merasa path hidup yang lo rencanakan berantakan, jangan pernah pasrah, tapi susun yang baru, dan yang lo yakin bakal bikin hidup lo lebih baik, berlari sampai kegagalan merasa lelah untuk mengejarmu , percaya deh, gue pikir setelah nyokap dan bokap gue bercerai, masa depan gue akan berantakan, tapi ternyata engga, dan in that way, you must choose, karena di perjalanan lo bakal ada beberapa jalan yang bercabang, dan lo gak bisa terus mengikuti angin, seperti apa yang lo lakuin sekarang, karena lo bisa aja tersesat, dan percaya deh, lo ga akan mau tersesat sampai gak bisa pulang ke jalan yang tepat “ Ucapnya. Aku mengangguk, mengerti tentang apa yang dikatakan Keiko, dan sadar bahwa kini aku sudah harus memutuskannya, karena sampai saat ini aku belum tahu apa yang akan aku lakukan di masa depanku kelak. Keiko menyadarkanku.
Keiko bersandar pada dinding pembatas, ia melihat ke arah jam tangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 12 tepat. Kembang api mulai bermunculan di atas langit, suara gemuruh keramaian mulai terdengar, sementara aku dan Keiko tetap diam, hening sambil melihat ke atas langit, melihat bunga bunga api berwarna warni, menari seakan berdansa, mengikuti irama musik dari tempat asalnya, yang tidak terdengar dari sini.
Namun sosok itu lagi lagi muncul, di tengah gegap gempita suasana tahun baru, sosok itu berjalan di jembatan Port de Alma. Aku berusaha sekeras mungkin memicingkan mataku, meyakinkan diri apakah itu benar benar dia atau bukam, namun tiba tiba saja Keiko memanggilku.
“ Happy new year, Tara “ Ucapnya tersenyum lembut.
***
(Continue to part 12)
1 comment:
Post a Comment