“ Hey, listen “ Ucap Keiko, aku masih tidak melihat ke arahnya, namun ia berdiri, dan berlutut di depanku. “ Gue gak bisa, kalau partner scholarship gue selama perjalanan dari Jakarta ke Abu Dhabi, selama transit ini, melamun terus, daydreaming terus, pikirannya kosong terus, gue gak bisa “ Ucap Keiko. Ia memegang kedua lenganku hingga aku melihat ke arahnya. Sorotan matanya yang tajam mengingatkanku pada seseorang.
“ I just can’t stop thinking of them “
“ Dan lo biarin hal itu ngerusak perjalanan pertama lo ke Belanda? Enggak, Tara. Gue gak akan biarin itu terjadi, selama ini lo yang paling excited, lo yang paling semangat ngurusin keberangkatan kita, gue gak mau, kalau udah sampai Belanda, lo jadi lemes gini, lo jadi kayak ga punya tujuan apa apa di sana, lo gak boleh kaya gini terus “ Ucap Keiko. “ Selama dua tahun ke depan, di Belanda, mungkin gue yang akan selalu ada deket lo, please consider me as a brother, lo bisa cerita apa pun sama gue, you’re gonna always have my back, I promise that “ Ia mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya. Aku mengangguk pelan. “ Senyum dong, we’re heading to Amsterdam, come on “
Aku tersenyum kecil, namun Keiko terlihat sangat puas, ia kembali duduk di sampingku, dan kami kembali melihat ke arah jendela besar di depan kami. Abu Dhabi.
***
Aku sedang melihat ke layar LCD handphone ketika tiba tiba saja Prana menghubungiku. Aku terkejut, sampai hampir saja aku menjatuhkan handphone ku dari atas kasur. Masih bingung untuk mengangkatnya atau tidak, aku meletakkan handphone ku di atas meja belajar, membiarkan nya bergetar, namun entah mengapa dengan cepat aku langsung mengambilnya dan menekan tombol hijau. Tidak Tara, ini tidak benar.
“ Hai, Tara “ Ucap Prana dari Jerman sana, aku duduk di sisi kasur. Mencari posisi yang cukup nyaman bagiku untuk menerima telefon dari Prana. “ I’m already in Europe “
Benarkah Prana, kau harus memberitahukannya padaku? “ Great..ya... “ Ucapku. Seperti biasa kami kembali hening, hal yang selalu kami lakukan setiap kali Prana menghubungiku melalui telefon sejak kedatangannya yang secara tiba tiba di Delft.
“ By the way, kamu kosong kapan ? Ngasuh tiap hari? “ Ucapnya mengalihkan pembicaraan.
“ Mulai tanggal 20 aku resign. Kenapa emang? “
“ Well, you’ll see “ Ucap Prana tertawa. “ Pokonya kosongin hari, tanggal 21 atau 22 “
“ Kenapa? Kamu mau ke Delft? “
“ I’ll take you somewhere. Pokoknya, kosongin tanggal 21 sampai 24 “ Ucap Prana. Aku belum juga membalas kata kata nya namun Prana langsung memutuskan sambungan telefon. Tara, dengan memanfaatkan keberadaan Naya yang jauh dari Eropa lalu berhubungan dengan Prana tanpa sepengetahuan Naya, itu membuatmu benar benar brengsek, Tara. Serius.
***
21 September 2012, Delft, Belanda.
“ Ya ampun, polos banget emang anak ini “ Ucapku sambil melihat lihat gambar yang dibuat oleh Aidan. Ia menggambarkan tiga gambar yang dibuat menggunakan krayon. Pertama merupakan gambar diriku, gambar kedua adalah gambarku dan Aidan sedangkan gambar yang kini aku lihat adalah gambar diriku dan Keiko bergandengan tangan dengan Aidan di atas bahu Keiko.
Keiko yang sedang duduk di sampingku melihat ke arah kertas itu, ia mengambil kertas tersebut dan melihat nya. Keiko hanya tertawa. Pagi ini aku sama sekali tidak berkegiatan sehingga aku dan Keiko hanya duduk di sofa kamar Keiko, menonton acara pagi sambil melihat lihat gambar yang Aidan berikan di dalamm sebuah amplop cokelat ketika aku berpisah darinya.
Kemarin Aidan menangis ketika aku mengatakan padanya bahwa mulai hari ini Aidan akan dijemput oleh orang lain. Aku sudah mengatakan pada Aidan bahwa aku bisa saja datang ke rumahnya kapan kapan namun ia tetap menangis, pada akhirnya Keiko menggendongnya dan kami berjalan jalan di sekitar jalan rumahnya, membelikannya cokelat di SPAR sampai ia lupa tentang hal tersebut, lalu kembali mengantarnya ke rumah.
“ Tara! You have guest! “ Teriak seorang penghuni rumah dari luar, aku bertatapan dengan Keiko. Aku langsung dengan cepat keluar dari rumah dan aku melihat seseorang berdiri tegak, memasukkan kedua tangannya kedalam coat.
“ Udah siap? “
***
Sebelum aku pergi Keiko datang ke kamarku dan membantuku mengecek seluruh barang bawaanku. Ia hanya diam tanpa berkata kata. Hanya ini yang ia katakan ketika aku sedang mengunci pintu kamarku.
“ If there something bad happen just tell me, I’ll flight to wherever you are and pick you up, you got my promise “ Ucap Keiko, tanpa berkata kata aku hanya menganggukan kepalaku dan Keiko mengantarku keluar. Keiko dan Prana hanya saling bertatapan dan berbalas senyum, tanpa sedikit kata pun dan Prana langsung membawaku ke stasiun untuk berangkat ke Amsterdam. Sudah bertanya puluhan kali pun Prana tidak memberi tahuku kemana ia akan membawaku.
“ Pran, aku balik lagi ke Delft ya kalau kamu bawa aku terlalu jauh dari Belanda “ Ucapku. Prana hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya. Aku menggigit kuku jari tangan kananku mengurangi rasa panik. “ Kenapa sih ga kasih tau, kemana “
“ Yang pasti kamu gak usah beli tiket, tenang aja “ Ucap Prana tertawa dengan santainya. “ Kamu lucu kalo panik gini “ Tanpa sadar wajahku memerah sehingga aku hanya melihat ke arahnya tanpa membalas perkataannya.
“ Usil banget kan! “
***
“ Ini beneran bakal selesai pada waktunya? “
“ Selesai kok santai aja “ Ucap Prana dengan santainya melihat ke arah laptopnya. Sedangkan aku menggigit kuku jari, takut gak sempat menyelesaikan tugas kelompok yang besok harus aku, Prana, dan Hardian presentasikan.
“ Kalau enggak gimana “
“ Selesai, Tara, percaya sama aku, oke? “Ucap Prana, sumpah aku sangat iri dengan Prana yang selalu tenang dalam menghadapi apapun.
“ Tapi Pran kalo enggak selesai gimana “ Ucapku. Prana melihat ke arahku dan ia tertawa kecil sambil kembali melihat ke arah layar laptopnya. “Malah ketawa!”
“ Habis kamu lucu banget kalau lagi panik “ Ucap Prana.
“ Lucu gimana?!”
“ Lucu, cantik “ Ucap Prana melihat ke arahku, wajahku memerah padam, memalingkan wajahku ke arah lain sementara Prana masih saja tertawa.
***
Prana membawakan tas ku sementara aku baru sadar ia gak sama sekali membawa tas apapun ketika ia menjemputku di Delft. Prana sama sekali gak memperlihatkan tiket nya, setelah duduk di salah satu kursi kereta ia langsung memasukkan tiket kami ke dalam saku coat nya.
“ Kamu horror banget tau gak “ Ucapku. Prana hanya tertawa. Sementara aku melihat ke arah jendela, memikirkan kemana Prana akan membawaku pergi.
“ Tenang aja, promise, I’ll drop you here again “ Ucap Prana. Aku melihat ke arahnya, ia tersenyum menenangkanku, aku menganggukan kepalaku. “I’ll tell you the reason, I promise “
“ Harus di tepati, ya “ Ucapku. Prana menganggukan kepalanya sambil tersenyum, senyum nya yang sudah sangat lama tidak ku lihat sejak kepulangan kami dari Batu Karas ketika masih di Indonesia yang secara tidak sadar membuatku ikut tersenyum.
“ Kamu belum pernah ke Berlin kan? “
***
“ Kamu pengen di mana nya emang? “
“ Berlin dong “ Ucap Prana tersenyum. “ Universitat de Kunste Berlin “
“ Oke, jadi aku harus kira kira naik kereta berapa lama untuk sampai di Berlin dari Amsterdam? “ Ucapku sambil melihat lihat website Eurail, iseng sambil menghabiskan sore hari bersama Prana di salah satu cafe favorit kami di daerah Citarum. “ 7 jam, okay, ini udah kayak pergi ke Yogyakarta naik kereta “
“ Kamu mau emang ke Berlin? “
“ Mau lah, walau Santorini tetep tujuan utama ku “
“ Tenang aja, pokonya, nanti, suatu saat, aku bakal jemput kamu ke Amsterdam, dan bawa kamu ke Berlin, dan disana aku bakal ajak kamu jalan jalan keliling Berlin “
“ Mahal loh “
“ Gausah pikirin itu, I promise, I will take you there someday “ Ucap Prana. Aku menganggukan kepalaku.
“ Tapi Santorini tetep ya, honeymoon “
“ Pokonya aku akan jemput kamu ke Amsterdam dan pergi ke Berlin bareng “
***
“ We’re heading to Berlin right? “ Tanyaku, Prana nampaknya dapat mendengarku dan membuka earplugs nya lalu melihat ke arahku. “ I need a reason “
Prana kemudian melihat ke arahku, tatapannya membuatku tahu ia sedang serius. Kemudian ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “ Aku Cuma mau tepatin janji janjiku dulu “ Ucap Prana. “ Boleh? “ Prana meremas tanganku lembut.
Ia melihat ke arahku, dengan tatapan yang dulu sering ia jatuhkan padaku, pandangan dengan sorotan yang tajam dari matanya yang bersinar dan selalu terlihat fokus pada setiap hal yang membuatnya tertarik. Pandangan itu, ia melabuhkannya lagi padaku, dalam perjalanan kami menuju Berlin. Prana masih melihat ke arahku dengan pandangannya yang mungkin sangat aku rindukan.
Aku mengangguk. Walau aku juga sedikitnya sudah lupa janji apa saja yang pernah kami buat.
Ia tersenyum senang. “ Danke “ Ucapnya menghelakan nafas lega, kami saling melepaskan genggaman kami. Entah apa yang aku pikirkan sekarang, namun senyum merekah dengan sendirinya di wajahku, aku bersandar pada kursi, sambil melihat ke arah jendela, tidak tahu ini sudah dimana, namun nampaknya kami sudah dekat dengan Berlin.
***
Continue to Part 10
No comments:
Post a Comment