21 June 2015

De Tweede Vergadering (Part 8)

Tiba tiba handphone ku berbunyi, nyaring, aku baru saja turun dari mobil Pitong dan sedang membuka pagar rumah. Karena tidak ingin mengganggu tetangga dengan ringtone ku yang cukup kencang dan mengganggu, aku dengan cepat mengangkat sambungan telefon tersebut, nomor yang tidak dikenal, aku langsung dengan cepat menekan tombol hijau.
“ Halo? Siapa ya? “ Jawabku.
“ Nomor ku gak kamu simpan emang “ Ucap suara serak dari jauh sana. Aku langsung tahu siapa dia. Prana, dengan suaranya yang benar benar ku kenal, dan aku memang belum sempat menyimpan nomornya. “ Sorry, baru kabarin lagi “
“ Kamu gak ada kewajiban untuk kabari aku kali “ Ucapku kembali menutup pagar dan menguncinya. Ingin cepat cepat masuk ke dalam kamar agar dapat berbicara dengan Prana tanpa fokus yang terbelah dua.
“ Maksudku habis nyulik jauh dari Bandung, kalau aku hilang gitu aja kan, gak enak “ Ucapnya terkekeh. Aku tertawa, tanpa membuat orang orang dirumah bangun, sambil membuka pintu rumah, kembali menutupnya dan menguncinya dengan cepat. “ Pulang dari Batu Karas, orang tuaku culik aku untuk anter mereka ke Garut, you know, kampungku yang sinyalnya benar benar payah bahkan untuk sms pun susah “ Ucapnya bercerita, dengan tenang dan kalem. Sungguh benar benar nada berbicara yang sangat aku rindukan, dengan cepat aku masuk kedalam kamarku dan berbaring di atas kasur, masih sambil memegang handphone.
“ I remember that, di salah satu lebaran dulu, tiga hari disana buat kamu benar benar hilang dari peradaban “
“ Yeah, dan akhirnya, setelah bertahun tahun, nenek mau pindah ke tempat yang lebih dekat dengan kota, jadi, setelah ini mungkin satu minggu terakhir ku di Bandung aku habiskan bolak balik Garut “ Tanpa sadar kami bernostalgia. Namun kali ini cerita cerita itu mengalir begitu saja seperti sungai.
“ Aa gak mungkin, bantu ya “
“ Yea, yea....Leo..ngurus Leo “ Ucap Prana, memberitahu bahwa Aa tidak mungkin membantu karena harus mengurus bayi baru nya yang sudah dinamakan Leo. Setelah itu kami kembali diam, salling mendengarkan nafas masing masing yang suaranya berhembus sampai ke seberang. “ Kapan, balik ke Belanda? “ Ujarnya tiba tiba.
“ At 14th, a nonstop flight from CGK to Schipol, 14 jam, sounds... “
“ Boring “ Ucapnya tertawa. Aku setuju, penerbangan selama itu walau ditemani oleh keluarga Tante Erica akan benar benar membosankan. Bayangkan 14 jam ada di dalam pesawat, jika bukan karena studi S2 ku aku mungkin lebih memilih untuk 3 kali transit dan berjalan jalan selama transit itu.
“ Kalau begitu sepertinya kita jumpa lagi di Eropa, ya? “ Aku pun mengiya kan, mengangguk mengerti walau aku tahu ia tidak dapat melihatnya, dan walaupun aku tidak yakin bahwa aku akan kembali bertemu dengannya di Eropa. Ya, aku di Belanda dan dia di Jerman.
Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, percakapan malam itu mengalir layaknya sungai, tidak pernah habis bahasan, mati satu topik, tumbuh lagi topik baru. Just like the old times. Saling berbincang melalui sambungan telefon, tidak pedulu berapa rupiah pulsa yang habis, tidak peduli betapa panasnya telinga kami, mendengar celotehan masing masing.
Aku sudah menguap karena mengantuk, Prana sudah mendengarku beberapa kali menguap di menit menit terakhir kami sehingga aku disuruhnya untuk tidur.
“ Gak perlu aku temani kan, sampai tidur “ Ucap Prana.
“ Nah, tutup aja langsung telefon nya “
“ Well, okay, good night “
“ Good night “ Ucapku. Dan percakapan panjang itu berhenti dengan singkat, dan mudah. Aku segera meletakkan handphone ku ke samping kasur, menarik selimut dan melihat ke langit langit kamar yang sering kutinggal selama aku menuntut ilmu di Belanda. Dan malam itu, aku tidak bermimpi, aku benar benar tidur dengan lelap, namun satu yang berbeda, ketika aku bangun keesokan harinya, orang pertama yang ada dalam pikiranku adalah Prana.
Gila, aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya dan sadar pada pagi hari tepat ketika aku terbangun. Naya dan Prana tidak bersalah karena mereka berpacaran setelah Prana dan aku memutuskan untuk berpisah, walau mungkin beberapa orang menganggap bahwa Naya merupakan perempuan gak tahu diuntung yang mengkhianatiku dengan memacari mantan kekasih sahabatnya sehingga beberapa orang bisa saja memandang hubungan Naya dan Prana itu buruk. Namun dengan aku yang berhubungan dengan Prana di belakang Naya, rasanya aku sedang jadi selingkuhan Prana dan Naya. Bisa jadi aku lebih brengsek ketimbang Naya.

***

“ Aku tidur ya “ Ucapku. Sudah mulai mengantuk setelah berjam jam berbincang dengan Prana.
“ Tidur sana, telefon nya bakal kubiarkan nyala sampai kamu bener bener tidur “
“ Tau aku benar benar tidur dari mana? “
“ I can feel it from your breath “ Ucapnya. “ Good night, then “
Aku tersenyum, walau tahu ia tidak akan melihatnya. “ Good night “


***

14 September 2012, Amsterdam, Belanda.

Khusus hari ini, siangku lebih lama dari sebelumnya. Aku berangkat dari Jakarta pukul 7 pagi dan sampai kesini pada pukul 5 sore waktu Belanda. Pesawat besar Garuda Indonesia baru saja mendarat di Schipol International Airport dengan mulusnya, mengakhiri perjalanan 14 jam nonstop bagi para penumpangnya. Aku menghelakan nafasku, bersiap untuk kembali ke rutinitasku, kuliah, mengasuh Aidan, dan tugas. Cukup lama di Bandung membuatku kembali merasa kedinginan ketika sampai di Belanda pada musim gugur ini.
“ Tara, kamu mau langsung berangkat ke Delft, atau nginap dulu semalam di Amsterdam? “ Tanya Tante Erica ketika aku baru saja menemukan koperku dan mengangkatnya dibantu oleh Jenna. Aku benar benar ingin menginap di amsterdam sehingga aku dapat berjalan jalan dulu dengan santai di Leidse Square sambil menikmati bubble tea atau satu cup es krim gelato, kembali menjadi remaja dan kembali merasa muda sambil hang out bersama Jenna. Namun godaan itu terkalahkan oleh kemalasanku membongkar koper besar yang isinya sudah kususun rapi ini.
“ Kayaknya langsung aja Tante, biar gak usah unpack lagi, barang ku lumayan banyak dan agak ribet untuk packing nya “ Ucapku tersenyum.
“ Well, okay then, take care, ya? “ Ucap Tante Erica, aku segera berpamitan pada seluruh keluarganya. Supir nya sudah menunggu mereka sehingga mereka langsung masuk ke dalam mobil dan pulang ke rumahnya di Statslieedenbuurt, di bagian selatan Amsterdam.
Aku pun langsung dengan cepat melangkahkan kakiku ke Schipol Station dan mengambil kereta tercepat menuju Delft. Sehingga tidak menunggu lama, aku langsung mendapatkan kereta tercepat menuju Delft. Aku duduk di dekat jendela, tempat favoritku sepanjang masa. Aku dengan cepat mengganti nomor handphone ku dengan nomor Belanda yang sudah kugunakan selama hampir 1,5 tahun ini dan dengan cepat menghubungi nomor Keiko.
“ I’ll pick you up “ Ucap Keiko setelah mengetahui bahwa aku sudah dalam perjalanan menuju Delft.
Musim gugur di Belanda selalu indah, daun daun yang siap gugur menguning, memberi suasana hangat walau suhu mulai rendah. Sehingga aku terus memandang keluar, mencoba memasukkan gambar gambar ini sebanyak banyaknya ke dalam memori ku, karena mungkin ini musim gugur terakhirku di Belanda, bisa jadi ini detik detik terakhirku menghirup udara Belanda, selanjutnya aku akan kembali ke Bandung, menjalani rutinitas baru, bekerja, dan mungkin menikah, walau entah dengan siapa.
Omong omong tentang menikah, memang umurku sudah tidak lagi muda, satu persatu teman temanku menikah sedangkan aku, beberapa orang mencoba mendekatiku, namun sejak kepergianku ke Belanda hatiku belum juga terbuka. Aku tidak pernah membayangkan lagi masa depan, setelah mengakhiri hubunganku dengan Pran, rencana rencana tersebut menguap bersama angin, berhembus ke sembarang arah, membuatku tersesat. Tanpa arah yang pasti, memang, namun begini mungkin lebih baik, daripada merencanakan arah, dan malah tersesat ketika bertemu dengan jalan buntu.
Pria itu datang lagi, kedatangannya secara tiba tiba di Delft seakan menghapus seluruh jejak yang kubuat ketika aku berjalan mengikuti arah angin. Ia membawaku satu langkah menuju jalan yang entah membuatku semakin tersesat, atau menjadi akhir perjalananku. Ia menarikku terlalu dalam, terlalu dalam sehingga aku memiliki keinginan untuk berjalan lagi, ke arah yang dulu menyesatkanku, dan mencoba nya sekali lagi.
Dan laki laki ini, tiba tiba datang, memenuhi hidupku selama di Belanda, sedikit menunjukkan arah ketika jalanku benar benar buntu, entah arah yang benar, atau tidak, namun tanpa sadar ia menuntunku menuju terang setiap kali aku merasa tersesat. Namun bagiku untuk selamanya, ia adalah teman untukku.
Aku memutuskan untuk tetap berjalan, mengikuti arah angin yang berhembus, walau tanpa arah tujuan yang jelas. Kata lainnya, aku memasrahkan masa depanku pada takdirku yang sudah tertulis tanpa ingin memilih. Tunggu, apa aku benar benar mempertimbangkan Keiko dalam pilihanku? Dengan cepat aku segera mengosongkan seluruh pikiran itu, kembali melihat ke arah pemandangan diluar.
Setelah turun dari kereta mataku menyapu seluruh stasiun, mencari laki laki ini, yang selalu ada di sampingku selama aku menumpang hidup di Belanda. Aku menemukannya sedang bersandar pada dinding stasiun, melihat ke arah layar handphonenya dilengkapi dengan syal kesayangan dan jaket kulit hitam favoritnya, seprti tahu aku sudah ada di dekatnya, ia melihat ke arahku, aku melambaikan tangan ke arahnya, dan ia hanya tersenyum.
“ Kei!! “ Teriakku, aku menghampirinya dengan cepat dan memeluk Keiko erat. Keiko yang tinggi memelukku seakan mau melahapku bulat bulat karena aku begitu kecil dibandingkan dengannya. Tanpa berkata kata ia langsung membawakan koperku dan kami berjalan keluar menuju tempat ia memarkirkan kendaraannya.
Seperti biasanya, Keiko menjemputku dengan menggunakan vespa biru nya, karena membawa koper yang berat Keiko gak bisa lagi kebut kebutan di jalanan Delft sehingga kami menikmati sore hari di Delft, di atas motor bekas yang ia beli dengan harga murah sebagai bentuk kecintaannya pada otomotif, dan suasana musim gugur terakhir di Delft.
“ Welcome home “ Ucap Keiko pelan sambil sedikit menoleh ke arahku.
Ya, itu yang selalu Keiko katakan padaku setiap kali ia menjemputku di stasiun, Delft kini sudah menjadi rumahku.

***

15 September 2012, Delft, Belanda.

Aidan dengan asyiknya menaiki serodotan, meluncur, naik lagi dan kembali meluncur. Sementara aku hanya duduk di salah satu kursi kayu di taman kecil di Kaarderstraat, 5 menit dari taman bermainnya. Ia bermain dengan beberapa teman nya di TK yang juga menyimpang dulu untuk bermain sebelum kembali ke rumah. Hari ini Keiko ikut denganku untuk mengasuh Aidan karena ia sudah tidak lagi bekerja sebagai male nanny sejak awal musim panas lalu sehingga ia kini benar benar nganggur sampai minggu depan kami kembali masuk kuliah.
“ You’re not gonna resign? “ Tanya Keiko.
“ Mulai tanggal 20 gue resign kok, gak mungkin juga kerjain thesis sambil nge nanny, tabungan gue ke Santorini udah cukup sih, Cuma kalau gue maksain sekarang kesana dan habisin seluruh tabungan gue, sepulang dari sana mungkin gue akan jatuh miskin “ Ucapku sambil mengambil beberapa daun kecil yang jatuh di atas bahu Keiko. “ Gak kerasa, beberapa bulan lagi udah beres aja urusan gue di Belanda, dua tahun kerasanya cepat banget “
Keiko menganggukan kepalanya. “ Dan gue gak akan lupa banget kalau disini gue sempet jadi male nanny “ Ucapnya tertawa.
“ Coba lo jadi male nanny di Indonesia, pasti kejadiannya udah kaya ftv ftv yang cheesy gitu, judulnya ‘Pengasuh Cinta’ atau ‘Pengasuh Adikku Ganteng’ “
“ Jadi lo ngakuin gue ganteng nih? “
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, satu satunya cara untuk merespon Keiko yang sudah mulai kepedean. “ Akuin aja sih “ Ucap Keiko dengan tampangnya yang menggoda. Ia dengan sengaja menggerakkan alis alisnya sehingga aku menjitaknya keras, namun Keiko hanya menerima nya sambil tertawa. “ Kalau gue gak kerja disini gue bakal ngebangke aja di Delft, gak bisa ngerasain yang namanya trip to England, kita gak akan ngedadak pergi ke Prancis dan Belgia kaya tahun pertama kita di Belanda, ke Dortmund bareng anak anak kampus, iya kan? “ Ucap Keiko
Tiba tiba Aidan berlari ke arah Keiko. Keiko langsung dengan cepat menggendongnya dan mengangkatnya tinggi. Aidan hanya tertawa minta diturunkan, sementara aku langsung berdiri dan membawa tas kecilnya. Entah mengapa Keiko benar benar kuat menggendong Aidan dengan sekali gerakan, sementara aku selalu mengeluh keberatan setiap kali selesai menggendong Aidan. Sungguh, anak TK disini mungkin setara dengan anak kelas 2 SD di Indonesia. Namun bagi Keiko mengangkat Aidan adalah hal yang benar benar semudah membalikkan telapak tangan.
Kami berjalan menuju rumah Aidan di Saendamstraat, rumah yang selalu sepi karena orang tua Aidan yang baru akan pulang pada pukul 6 sore. Aidan duduk di atas pundak Keiko sambil memain mainkan kuncir rambut nya. Aku berjalan di sampingn mereka, yang selalu terlihat jomplang karena Keiko memiliki tubuh yang sangat tinggi dibandingkan aku. Jika ada Keiko, Aidan gak akan lagi melendot lendot padaku. Seperti siang ini, ketika ia melihat Keiko, ia langsung berlari ke arah Keiko, minta digendong dan memberikan tas nya padaku. Nampak seharusnya Keiko yang menjadi pengasuh Aidan.
“ Careful “ Ucapku, Keiko dan Aidan dengan asyiknya menyanyikan lagu lagu TK Aidan. Anak itu betul betul lupa padaku setiap kali ada si sipit satu ini.
Setelah membukakan pintu rumah, Keiko dan Aidan langsung masuk ke dalam sementara aku menutup pintu. Seperti biasanya, dengan bantuan Keiko, Aidan langsung mengganti bajunya dan duduk di bar dapur untuk makan siang. Aku membuatkannya meat sandwiches sementara Aidan dan Keiko menunggu sambil memainkan mainan Dinosaurus nya, dan di saat seperti inilah aku tidak dapat bergabung dengan mereka, fantasi mereka terlalu tebal untuk ditembus begitu saja.
Setelah makan siang dengan lahap, Aidan tertidur dengan lelap di depan televisi setelah lelah bermain dengan Keiko dan menonton serial Dora the Explorer. Keiko kembali menyusulku ke dapur, sementara aku sedang membereskan bekas makan siang Aidan. Jika aku sedang bersama Keiko dan Aidan sudah tertidur, itu artinya waktu kami untuk menikmati segelas kopi. Kopi hitam dengan 2 sendok gula dan satu sendok krim untukku, dan kopi hitam tanpa gula untuk Keiko.
“ How’s Bandung? “ Ucap Keiko ketika aku baru saja mengaduk kopi milik Keiko.
Aku menggelengkan kepalaku. “ Nothing special “
“ Really? Kalau gitu lo gak akan banyak ngelamun pulang dari Bandung “ Ucapnya sambil meneguk kopi hitam tanpa gula nya. Keiko selalu tahu apa yang sedang orang pikirkan, dan ia selalu sangat peka pada perbedaan perbedaan kecil di sekelilingnya. Sehingga tingkahku yang menjadi sering melamun setelah kepulanganku dari Bandung dapat ia deteksi dengan mudah.
Aku tidak menjawab pertanyaannya melainkan melihat ke arah Keiko, memperhatikan dirinya, wajah oriental campuran Indonesia Jepang, dengan kulitnya yang putih dan rambut panjangnya yang seringkali ia kuncir. Keiko terus menatapku, mengintervensi diriku, mencoba mencari cari celah yang mungkin dapat ia intip untuk mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya.
“ Here, coba, lepas top knot nya “ Ucapku membuka ikatan rambutnya, rambut Keiko sudah sangat gondrong sejak pertama aku bertemu dengannya di salah satu gedung perusahaan yang menjadi sponsor beasiswa kami dan Keiko sedang duduk, tertidur di ruang tunggu kantor tersebut. “ Potong sih rambut lo itu “ Ucapku merapikan rambutnya menggunakan jari jari ku. Keiko yang duduk di sampingku hanya diam membiarkanku merapikan rambutnya.
Ia menoleh ke arahku, dengan tampang menggoda nya. “ Guys with top knot is sexy, you know that “ Ucap Keiko kembali menguncir rambutnya, aku hanya tertawa.
“ Kei, kurang kurangin deh pede nya lo itu! “ Ucapku menjitaknya, namun seperti biasa Keiko hanya tertawa. Keiko benar benar ajaib, karena tidak peduli bagaimana pun aku menyiksanya dengan cubitan kecil, dorongan atau jitakan keras Keiko tidak pernah marah. Entah mengapa.
Siang itu setelah membicarakan rambut Keiko 2 tahun yang lalu, kami teringat akan pertemuan pertama kami, pihak perusahaan memanggilku dan Keiko setelah diumumkan bahwa kami mendapatkan beasiswa untuk pergi ke Belanda. Aku datang agak telat semetara Keiko dengan santainya tertidur di ruang tunggu, seakan tahu sedang diperhatikan, tiba tiba Keiko bangun, melihat ke arahku yang terlambat datang, menggerutu dan langsung menghubungi resepsionis, rupanya ia datang terlalu pagi dan menungguku, walau kami belum sama sama kenal.
Pernah aku mengira bahwa aku dan Keiko mungkin gak akan pernah dekat semenjak ia kesal karena aku membuatnya terlambat pada pertemuan pertama kami dengan pihak perusahaan apalagi dengan tampangnya yang sedikit menyebalkan di hari pertama pertemuan kami! Namun pada akhirnya kini kami sama sama menikmati kopi kami, di sebuah rumah kecil di Belanda. Bertingkah layaknya sahabat yang sudah bersahabat sejak 10 tahun yang lalu. Membuatku tidak pernah merasa sendiri di Belanda.
“ Jadi gak akan cerita “ Ucap Keiko melihat ke arahku. Tatapan Keiko selalu mengalahkanku, seakan seluruh dinding yang menutupi diriku hancur hanya karena tatapannya, sering ku katakan padanya, kalau dia mungkin punya kekuatan merubah pikiran dan membaca pikiran namun apa yang ia katakan tetap sama. Tidak ada yang namanya mengendalikan pikiran orang lain. Dan kali ini pun aku kalah, aku menghelakan nafasku panjang.
“ Dasar cerewet “ Gila, Keiko memang benar benar orang yang gak bisa berhenti ngomong. “ Dia datang lagi Kei “ Ucapku pada Kei, panggilan akrabku pada Keiko. “ I met him at Abu Dhabi, kita ternyata flight dengan pesawat yang sama, I sit with him, pulang ke Bandung bareng, dan beberapa hari setelah itu juga gue datang ke rumah sakit, bantu kakaknya lahiran, meet his parents, then he takes me to Batu Karas, there are my friends too, then he calls me for a long night conversation. “
“ And you respond it ? “ Tanya Keiko tanpa bertanya siapa orang yang kumaksud, karena Keiko sudah pasti tahu bahwa orang yang kubicarakan adalah Prana.
“ Ya...kaya reflek aja, gitu...dia dengan mudahnya ngebuka lagi semua kenangan kenangan yang udah susah susah gue kubur selama gue di Delft “
“ Lalu apa yang lo rasain? “ Tanya Keiko.
“ Jujur Kei, ada sedikit rasa menyesal, kenapa dulu gue berpisah sama dia. Tapi agak sakit juga kalau terus inget sekarang dia sama sahabat gue walau sebetulnya dalam hal itu gak ada yang patut disalahkan. Tapi gue merasa kaya, gue jadi selingkuhan nya Prana, gitu loh Kei. Bisa jadi gue lebih brengsek lagi dibandingkan sahabat gue, gue gak tahu semua maksud dia apa, apa dia mau balik lagi sama gue, atau dia emang Cuma iseng, atau emang dia pengen bikin gue kaya gini “ Ucapku mengambil jeda. “ Gue gak tahu, dari dulu gue paling gak bisa, Kei, tau maksud dari semua yang dia lakuin, apa yang ada di pikiran dia, gue gak bisa tebak ”
Keiko menoleh ke arahku dengan wajahnya yang serius. “ Gini, Tara, mungkin sekarang dia dateng, he makes you to choose, selama ini lo terus ngikutin kemana arah angin berhembus, mungkin ini saatnya lo memilih, setidaknya satu. Pilihan lo, lo yang tahu, but remember, every choice have their own risks. Jangan gegabah, kita udah dewasa, setiap langkah yang kita ambil might be affect to our life. Apa yang menurut lo baik untuk lo, fight for it, udah gak bisa lo bergantung sama saran orang. Lo harus decide, umur kita udah gak belasan lagi, gue sendiri sebagai teman Cuma bisa kasih lo sedikit advice agar lo tetap wise, narik lo ke jalan yang Cuma menurut gue bener, tapi belum tentu bener buat lo“
Aku menganggukan kepalaku. Keiko menepuk pundakku pelan. Keiko memang jauh lebih dewasa dibandingkan aku, walau umur kami hanya berbeda dua bulan, ia lahir lebih dulu di bulan Maret sedangkan aku di bulan Mei. Aku memeluk Keiko dari samping, menyandarkan kepalaku pada bahu atletisnya yang terbentuk dari hobi olahraga nya sementara Keiko melihat ke arahku, dengan pandangan nya yang selalu ia berikan kepadaku. Aku tersenyum. Ia pun kembali menyesap kopi nya, menikmati setiap tegukan pada siang hari di Delft.

***

“ Prana, kita tuh harus ya nanti, punya perfect scene “
“ Perfect scene gimana? “ Tanya Prana dalam perbincangan tengah malam kami melalui sambungan telefon. Aku sedikit malu memintanya, namun aku mengatakannya.
“ Ya, jalan romantis sore sore di musim gugur, kissing di trotoar di eropa, romantis kan, perfect scene gitu “ Ucapku, wajahku sedikit memerah, walau Prana mungkin tidak dapat melihatnya.
Tanpa kusangka ia setuju. “ Musim dingin juga ya? “
“ Iya, spring, summer, auntumn, winter... “ Ucapku senang.


***

18 September 2012, Delft, Belanda.

Keiko melangkahkan kakinya di sampingku, hari ini ia lagi lagi ikut bersamaku mengasuh Aidan. Sore ini aku mengantar Aidan ke rumah neneknya atas permintaan Ibu nya. Sehingga Keiko mengantarku dan Aidan ke Plateelstraat. Kami berjalan dalam diam menikmati sore hari di Delft. Langit yang sudah menguning seakan mewarnai Delft yang sudah kuning di musim gugur menjadi oranye, sinar matahari sore menghidupi daun daun kuning yang sudah gugur dan beberapa yang masih bertahan di dahannya, dan Keiko memasukkan kedua tangannya ke dalam coat nya, rambutnya yang agak kecokelatan juga terlihat lebih bersinar di mandikan sinar matahari sore. Bisa jadi ini merupakan perfect scene yang dulu aku dambakan dengan Prana. Namun sudah dua kali aku melewati musim gugur, dan aku selalu melewatinya dengan Keiko.
“ Kok ngeliatin gue, kenapa? Gue seksi ya? “ Tanya Keiko tiba tiba ketika menangkap basah aku sedang memperhatikannya. Aku selalu mengelak, namun munafik jika aku tidak mengakui bahwa dia memang enak dilihat. Enak dilihat, bukan berarti dia tampan, atau bahkan seksi seperti yang ia inginkan.
“ Ih, obsesi banget sih lo jadi sexy man, gue udah bilang berapa kali lo gak akan bisa ngalahin Christian Bale as the sexiest man in earth “
“ Christian Bale? “ Tanya Keiko, ia menarik lengan coat nya ke atas dan memperlihatkan ototnya yang cukup besar karena ia cukup rajin berolahraga di masa masa SMA dan kuliah S1 nya. “ Otot gue mungkin gak sebesar punya nya tapi ya...bisa lah “ Ucap Keiko. Aku hanya tertawa sambil menyikutnya, kali ini tidak dapa menjitaknya karena ia terlalu tinggi untuk diraih. Keiko kembali menurunkan lengan coat nya, kembali memasukkan kedua tangannya kedalam saku coat nya dan menggigil dingin.
“ Perfect scene banget sore ini kayanya “ Ucapku pelan.
“ Perfect scene tuh gimana sih? “ Tanya Keiko. Aku berhenti, mengarahkannya untuk melihat lurus ke arah kami berjalan, menggerakkan bahunya untuk melihat ke arah view yang paling keren.
“ Afternoon light, daun daun yang udah kuning, berguguran, angin musim gugur, nice pedestrian, and...europe, it might seems cliche but, menurut gue ini perfect scene banget buat couple “
“ Okay then “ Ucap Keiko berhenti, ia menoleh ke arahku yang lebih rendah darinya. “ Let’s make this perfect scene “ Keiko mengangkat lengannya menawarkanku untuk melingkarkan lenganku pada lengannya, aku hanya tertawa dan menerimanya. Gila, sahabatku yang kocak ini memang mempunyai seribu cara untuk membuatku merasa senang.
Aku terus menggelengkan kepalaku karena hal ini sungguh aneh bagiku. Tapi Keiko hanya tersenyum. “ Mau sama siapa lagi, nih, di Delft, cowok yang deket sama lo kalo ga gue ya Martin, lo mau emang gandengin si Pedro? “ Ucap Keiko. Aku teringat akan Pedro, laki laki asli Bali yang tinggal satu rumah dengan kami, ia dikenal sebagai laki laki paling sering menggoda wanita dengan rayuan rayuan nya, ia sangat percaya bahwa dirinya gak beda jauh dengan orang orang Spanyol. Aku menggelengkan kepalaku karena membayangkan menghabiskan sore hariku bersama dia. “ Tenang lah, that’s what best friend are for, bikinin perfect scene walau sama gue, yang mungkin udah terlalu ngeselin buat lo “ Ucap Keiko.
“ Makasih loh, Kei “ Ucapku tertawa. Keiko tersenyum lembut.
“ Kalau compare with Santorini lebih perfect scene yang mana? “ Tanya Keiko.
“ Lo itu sama aja kaya nanya sama nyokap gue, siapa anak favoritnya “ Ucapku. Kami tertawa, di tengah tengah suara angin musim gugur Delft, suara sepeda yang berlalu lalang menyalakan bel nya, suara daun daun kuning yang berjatuhan dan sinar matahari sore yang memandikan Delft dengan cahaya oranye nya.
Sore ini mungkin Keiko berhasil memberikanku kesempatan untuk merasakan perfect auntumn scene walau tanpa kecupan dan pelukan, aku bahkan hanya menggandeng lengannya, tanpa saling berpegangan tangan. Namun aku tidak akan perah melupakannya, hal ini merupakan salah satu moment yang tidak akan ku lupa di musim gugur terakhirku di Delft. Hingga kami sampai di bierhuis, Keiko langsung berlari masuk, cukup dingin katanya, Keiko memang gak kuat dingin sama sepertiku, sehingga aku langsung berlari menyusulnya, memesan satu cangkir kopi panas buatan Martin, mengakhiri sore hari agar perfect scene ini lengkap.
Namun nampaknya sore hari ini harus di akhiri sebuah dilema yang beberapa hari ini berhasil tidak ku rasakan. 3 missed call dan satu pesan singkat. Prana sudah ada di Eropa.

***

Continue to Part 9
Thank you, readers! :D

No comments: