12 June 2015

De Tweede Vergadering (Part 7)

7 September 2012, Batu Karas, Indonesia.

“ Wooooo!!!! Kalah lagi!! Lemaaaaah!!! “ Teriak seorang teman laki laki ku menghujat pemain yang kalah. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi sedangkan teman temanku belum juga tidur, padahal tadi sore mereka dengan asiknya bermain main layaknya anak kecil di pantai, membuka lagi sifat sifat kekanak kanakan mereka semasa dulu. Termasuk Prana, si kalem yang kadang bersifat sangat absurd. Seakan lupa umur bahwa kami sudah menginjak range umur dua puluh pertengahan.
Aku sedang bersantai duduk diatas lantai keramik pondok ini ketika Rendra tiba tiba saja menghampiriku. “ Tara, temenin beli air mineral yuk? “ Ucapnya, aku mengangguk dan keluar dari rumah bersama Rendra. Kami berjalan ke arah warung yang masih buka ditengah kegelapan malam ditemani oleh suara ombak yang terdengar jelas dan angin pantai yang berhembus.
“ Sayang banget ya, si Hardian gak bisa ikut, ada Arya, tapi ga ada Hardian, ada Hardian, gak ada Arya, situ ada ada aja, banyak duit banget “ Ucapku duduk di salah satu bangku kayu di dekat warung, sementara Rendra berjalan ke arah freezer.
“ Yeee, Hardian mesti nabung, buat nikah kan pas pulang dari Jerman “ Ucap Rendra mengambil sebotol aqua dingin dari freezer di warung. “ Jadi gimana, sama Prana? “ Ucap Rendra membayar sebotol air mineral yang ia beli dengan selembar uang 10 ribu rupiah.
“ Ya ampun, gak ada apa apa between us “ Aku menggelengkan kepalaku sambil berjalan kembali ke arah pondok mengikuti Rendra yang berjalan meninggalkan warung. Rendra menegak air putihnya sambil terus berjalan di sampingku.
“ Yakin? “ Tanya Rendra dengan nada jahilnya, aku menyikut Rendra keras, namun Rendra hanya tertawa.
“ Serius “ Ucapku. Tidak butuh waktu lama sampai Rendra akhirnya mengangguk mengerti. “ Naya gak ikut? “ Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku, padahal aku sendiri belum yakin apa aku bisa menghabiskan hari ku dengan melihat Naya dan Prana yang kini menjalin hubungan.
“ Tadinya sih, Ade udah ajak dia, Cuma katanya dia gak bisa, kakaknya ada acara apaan gitu, lupa “ Ucap Rendra. Aku diam, membuka sendal untuk kembali masuk ke dalam rumah, membayangkan apa jadinya jika Naya ada disini, entah apa yang akan kurasakan, mungkin akan ada sedikit kecanggungan di antara kami semua. Sedikitnya aku merasa lega.
Aku masuk ke dalam rumah, melihat Prana sedang tertidur di atas sofa, ia tidur dengan cepat, mungkin lelah karena sudah menyetir 7 jam dan bermain main terlalu lama di pantai. Si tukang tidur itu memang paling jago dalam masalah memejamkan mata dan berpetualang di alam mimpi. Sehingga aku membiarkannya dan segera bergabung kembali dengan teman temanku, menikmati hadiah yang diberikan oleh Prana. Sambil sesekali melihatnya, berharap bahwa malam ini ia mendapatkan istirahat yang cukup.

***

Aku duduk di salah satu batu karang besar di sisi pantai membiarkan kakiku basah terkena air laut, sengaja bangun pagi untuk menikmati semburat sinar matahari pagi.
“ Hey “ Ucap Prana menghampiriku, aku melihat ke arahnya, ia duduk di sampingku begitu saja. Ia nampak masih sangat mengantuk, ia duduk bersandar padaku sambil memeluk lututnya. “ Gak bangunin anak anak? “
“ Duh, mana bisa mereka dibangunin, kita semalam main kartu sampai jam 2 pagi kamu apalagi, makanya tumben banget jam segini udah bangun, masih jam 7 pagi “ Ucapku, kini Prana melendot manja sambil memeluk ku.
“ Kebangun “ Ucap Prana. “ Dari sini emang bagus ya sunrise nya? “
“ Enggak ngejar sunrise nya, Cuma, aku paling suka aja, jalan jalan sendirian di pantai pagi pagi, seger banget, tau gak “ Ucapku sambil mendengar suara deburan ombak. “ Kalau liburan sama keluargaku juga gini, pasti deh, pagi pagi udah keluar sendirian “
“ What so special about pantai di pagi hari? “ Ucapnya pelan, masih mengantuk rupanya.
“ Gak tahu ya..aku suka aja, perpaduan angin pantai, suara ombak, dan bau pasir yang basah.... “

***

Aku terbangun, langit belum begitu terang, aku melihat ke arah jam dinding, pukul 6 pagi, rupanya aku ketiduran di sofa ruang tengah bersama beberapa orang yang tidur larut. Mereka nampak nyenyak sehingga aku tidak tega untuk membangunkannya, namun aku melihat ke arah tempat semalam Prana tidur, tempatnya kosong. Pintu depan sudah dibuka, mungkin Prana sudah pergi keluar. Aku segera menggunakan sendalku, berjalan ke arah pantai, ingin menikmati pantai di pagi hari. Setelah membuka sendalku dan menentengnya untuk membasahi kaki, aku melangkahkan kakiku, menuju batu besar tempat dulu aku duduk disana, dan disana Prana sudah duduk sendiri. Tatapannya fokus melihat pantai. Aku menghampirinya. Ya, Prana memang benar benar menikmati waktu untuk menyendiri.
“ Keduluan nih “ Ucapku. Prana melihat ke arahku.
“ Mau bangunin, tapi keliatan capek banget “ Ucapnya, aku segera duduk di sampingnya, membiarkan air laut membasahi kaki kami. Kami hanya diam sejenak, membiarkan suara ombak memenuhi telinga kami, dan menghirup banyak banyak bau pasir basah dan bau air laut yang khas. Terakhir kali kami datang kesini, Prana melendot manja pada bahu ku, namun kini kami duduk berjauhan, dan Prana memanjakan dirinya sendiri dengan pemandangan pagi hari yang tenang ini.
“ Tumben udah bangun “ Ucapku memecahkan hening. Prana tidak langsung menjawab, ia membiarkan kaki nya basah dengan pasir dan gelombang ombak yang sampai di tepi pantai.
“ Jujur, sejak dulu kita ke sini, ketemu kamu pagi pagi disini, kesempatan berikutnya aku ke pantai, aku coba bangun pagi, nikmatin pantai pagi hari, dan, keterusan, sampai kebawa ke Eropa ketika liburan bareng beberapa temenku “ Ucap Prana. Dia masih mengingatnya, ia masih mengingat kebiasaanku untuk pergi ke bibir pantai setiap pagi hari hanya untuk menikmati suasananya. “ Suasana yang cukup tenang, dan aku suka suasana seperti ini “ Aku tersenyum, entah senang, atau hanya merespon jawabannya.
“ Jadi, alasannya apa? Bawa aku kesini? “
Prana menghelakan nafasnya. Ia melihat ke arah laut, tidak langsung menjawab pertanyaanku. “ Iseng aja, liburan juga bareng temen temen kampus kan? “ Ucap Prana. Aku mengangguk, walau belum puas dengan jawabannya.
“ Bisa diterima... “ Ucapku. Mencoba menerimanya walau aku belum puas dengan jawabannya, entah aku yang belum puas, atau aku yang berharap jawaban yang lebih berarti dari jawabannya. Lagi lagi aku terlalu banyak berharap, sedikit lupa bahwa aku dan dia sudah tidak lagi bersama dan ia sudah memiliki pasangan baru.

***

Hari ini kami sadar, sudah terlalu tua untuk banyak bermain main di pantai berhari hari sehingga sore ini kami harus langsung kembali ke tempat asal kami dan melanjutkan keseharian yang membosankan. Namun pagi ini kami tidak peduli sudah berapa umur kami dan bermain lagi di pantai layaknya masih muda dulu, melempar pasir, mengubur seseorang dengan pasir, bermain main dengan ombak, dan hal lainnya yang cukup kekanak kanakan.
Prana juga nampak terlalu senang, seperti melihat ia yang dulu, tanpa beban pikiran apapun kecuali kuliah.
“ Dasar nya, barudak teh, umur geus 25 an main na masih siga budak “ Ucap Ade, salah satu temanku yang sunda asli. Aku mengangguk pelan, melihat ke arah mereka. Berharap hari ini berjalan sangat lambat, namun terik sinar matahari mengingatkan kami bahwa kami harus segera pulang ke Bandung, sehingga aku benar benar menikmati suasana ini, pasir pantai, deburan ombak, dan bau laut yang asin. Dan Prana, yang sedang berlarian dengan beberapa temanku, si kalem itu tetap saja berubah seperti anak kecil ketika ia melihat pantai, aku berandai andai apa ia masih seperti itu jika pergi ke pantai bersama teman teman eropa nya.
Aku baru saja memasukkan tas ke dalam mobil Prana ketika mendengar Prana sedang berbincang dengan seseorang melewati handphone nya.
“ Iya...ini lagi mau pulang kok “ Ucapnya lembut, aku langsung pergi menjauh, duduk di salah satu kursi kayu yang ada di sisi pantai. Kembali melihat ke arah laut. Aku tahu itu Naya, dan sedikit sesak untukku, mendengar percakapan Prana dengan nadanya yang lembut, yang dulu memenuhi hari hariku, kini memenuhi hari hari Naya. Sisi jahatku ingin mengatakan pada Naya bahwa Prana juga melakukan cara yang sama ketika dulu ia berbincang bersamaku.
Entah mengapa saat itu aku tiba tiba saja teringat pertengkaran hebatku dengan Prana, yang mengakhiri segalanya, menghapus semua rencana rencana hidup di masa depan dengannya, dan memaksaku untuk melupakannya. Aku sadar aku banyak menghabiskan waktuku di Batu Karas kali ini dengan melamun, aku belum pernah menghabiskan hari selama ini dengan Prana sejak kami berpisah, sehingga dengan dalam dua hari ini hanya melihatnya semua pertanyaan muncul di benakku. Terus ber andai andai apa yang ada di pikirannya, karena aku belum pernah bisa dengan benar menebak pikirannya dan membaca arti dari tindakannya.
Seiring mulai turunnya matahari, Rendra memanggilku dari jauh, katanya mereka sudah akan berangkat pulang, Rendra sendiri akan langsung kembali ke Jogjakarta dari stasiun Tasikmalaya, Arya akan langsung pergi ke Jakarta, Pitong tentu saja kembali ke Bandung bersamaku, Prana, dan beberapa teman lainnya. Kali ini aku mengajak Rendra untuk ikut ke dalam mobil Prana, sambil mengantarnya ke stasiun. Aku butuh teman, untuk mengalihkan perasaanku yang mungkin mulai tumbuh lagi pada Prana, menghindari hal hal yang benar benar aku hindari, nostalgia dan Naya. Sehingga sore itu, aku pun pergi meninggalkan Batu Karas, kembali pulang ke kota ku, Bandung.

***

“ Kamu terus aja marah marah sama aku, semuanya kamu limpahin sama aku, emang aku ini apa? Aku mungkin memang pacar kamu tapi bukan tempat kamu lampiasin semua emosi kamu “ Ucap Prana dengan emosi yang tersulut cukup tinggi, Prana yang tenang bisa sangat menjadi jadi ketika ia marah. Dan aku tahu kali ini ia benar benar marah, ia lelah menghadapiku.
“ Ga kebalik? Kamu yang terus marah marah? Aku ngomong ini salah, aku ngomong itu salah “ Aku melawan nya.
Prana hanya diam, tidak melihat ke arahku. “ Aku capek kalau gini terus” Ucapnya singkat.
“ Aku juga capek “ Ucapku. Kami tidak berpandangan, sama sama diselubungi emosi yang kian memuncak.
“ Ya udah, kita udah sama sama capek “
“ Ya, buat apa di pertahankan “ Ucapku, ia tidak menolak, ia hanya mengangguk kecil.
“ Iya, setuju “ Ucap Prana singkat.


***

“ Tara “
Aku terbangu terkejut, bertepatan dengan mobil yang berhenti. Aku menghelakan nafasku panjang, entah mengapa hari itu aku bermimpi tentang masa laluki dengan Prana, bagaimana Prana dan aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami yang sudah berantakan karena emosi dan tekanan di akhir tingkat tiga. Prana terheran heran melihatku yang nampak sangat terkejut.
“ Kenapa, kaget gitu? “ Tanya Prana. Aku menggelengkan kepalaku, aku melihat ke arah jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan mobil sudah berhenti di depan rumahku. Sepulang mengantarkan Rendra ke Stasiun Tasikmalaya aku tertidur karena kelelahan dalam perjalanan pulang ke Bandung dan memutuskan untuk tidur, meninggalkan Prana sendirian dan mengendarai mobil.
“ Udah sampai ya? Gak kerasa... “ Ucapku sambil melihat ke arah pagar hitam rumahku yang ada di bilangan Gatot Subroto.
“ Udah sana, masuk, istirahat, mau ku anter ke dalem?” Ia menawarkan dirinya untuk mengantarku masuk ke dalam, bertemu dengan kedua orang tuaku sementara aku merasa bahwa aku belum siap untuk kembali mempertemukan kedua orang tuaku pada Prana sebagai teman. Namun seperti biasanya, setiap kali Prana mengantarku pulang di malam hari Prana ingin menemaniku sampai aku benar benar masuk kedalam rumah.
“ Gak usah, makasih ya, Pran “ Ucapku, Prana nampak sedikit kecewa namun pada akhirnya ia hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Sesungguhnya masih sangat banyak hal yang ingin aku tanyakan pada Prana namun aku menguburnya dalam dalam dan langsung keluar dengan cepat setelah membuka pintu mobil. Prana membantuku mengeluarkan tas dan barang barangku dari jok belakang mobil. Walau aku sudah menolak untuk ia antarkan ke dalam rumah, ia menunggu sampai aku masuk ke dalam, aku melambaikan tanganku dari teras ke arah Prana, ia balas melambaikannya dan meninggalkan rumahku. Aku langsung masuk ke dalam rumah, mengunci pintu dan langsung masuk ke dalam kamar, melanjutkan tidur, namun tidak ingin melanjutkan mimpi yang tadi terputus.

***

11 September 2012, Bandung, Indonesia.

Malam ini aku duduk di salah satu sofa di stasiun radio tempat Pitong sedang siaran, mendengarkan lagu lagu pilihan Pitong untuk didengarkan oleh para pendengarnya se kota Bandung. Pitong membiarkan lagu diputar dan ia keluar dari ruang siaran, mengintip dari balik pintu kaca dengan hanya memperlihatkan sebagian wajahnya.
“ Satu session lagi, beres “ Ucap Pitong dengan wajah centilnya, aku mengangguk mengerti dan terus menunggu Pitong sampai selesai siaran. Ini malam ketiga aku menghabiskan malam di stasiun radio ini, karena datang ke Bandung ketika orang orang sedang bekerja, beberapa teman temanku tidak bisa diajak pergi di hari kerja sehingga hanya Pitong yang jadwal kerjanya paling fleksible dan cukup menyenangkan untuk ditunggu. Namun sedikitnya aku mulai merasa bosan karena gak ada kegiatan di Bandung. Semua kerabatku sudah ku datangi, semua teman temanku sudah kutemui dan aku tidak tahu lagi apa yang harus ku lakukan sampai tanggal 14, hari kepulanganku kembali ke Belanda.
Aku melihat ke arah layar handphone, melihat foto foto Keiko selama trip nya ke Inggris dari facebook, jiwa travellingnya sangat kuat sehingga ia nampak memotret semua hal yang menarik hatinya. Dan jiwa nggak tahu malu nya mungkin membuatnya punya banyak keuntungan untuk meminta orang orang yang lewat untuk memotretnya dengan latar beberapa tempat bagus di London. Kebetulan yang menyenangkan adalah ternyata account facebook nya sedang online, aku langsung mengirimkannya pesan.

Tara Alexandra : seems like u forget to bring me merchandise.

Tidak lama kemudian, ia langsung membalasnya.

Keiko Airlangga : don’t worry..i bring u some cute british men’s picture ( me) J
Tara Alexandra : lol.. :p
Keiko Airlangga : i’m already in Delft, when u gonna come back?
Tara Alexandra : at 14th, nonstop flight from cgk to schipol
Keiko Airlangga : jangan lupa mie lidi titipan gue


Tiba tiba saja Pitong keluar dari ruang siarannya, nampaknya ia sudah selesai karena kini orang lain sudah duduk di tempatnya. Setelah berpamitan dengan produser acara dan announcer lain yang ada disana Pitong mengajakku untuk keluar dari gedung itu. Tanpa membalas pesan Keiko aku langsung memasukkan handphone ke dalam sling bag kulit berwarna cokelat yang kugunakan kemanapun aku pergi selama ada di Bandung.
“ Chatting sama siapa tuh? “ Tanya Pitong melongok ke arah layar handphone ku. Nampaknya ia sempat melihatku dan Keiko sedang berbicara melalui facebook chats.
“ Ya ampun, temen, temen gue di Delft, sama sama orang sini, gak usah berlebihan gitu “ Ucapku menunggu Pitong membukakan kunci mobilnya, aku segera masuk tepat ketika ia membuka kuncinya. Pitong nampak sangat penasaran dengan Keiko sehingga ia terus terusan bertanya tentangnya.
“ Orang mana? Ganteng gak? Namanya siapa? Jangan bilang orang Bandung ya, jauh jauh ke Belanda dapetnya pribumi buat apa “ Ucap Pitong yang benar benar terobsesi dan yakin bahwa aku akan pulang dengan seorang europian sexy berjanggut tipis sebagai seorang calon suami. Namun sumpah, selama di Belanda belum terfikir untukku mencari calon suami seorang kaukasia. Sambil menoceh tentang artis artis eropa yang ucapnya sangat sexy bagi seorang lelaki, Pitong langsung menyalakan mobilnya, keluar dari lahan parkir stasiun radio dan langsung masuk ke dalam jalan Cipaganti. Dalam perjalanan nya Pitong terus bertanya tanya tentang Keiko, mulai dari bagaimana aku dan dia bisa bertemu, apakah kami pernah dekat lebih dari teman, sampai bertanya apa Keiko memiliki pasangan.
“ Nyari mie lidi dimana ya malam malam begini? “ Mencoba mengalihkan pertanyaan pertanyaan yang membombandirku malam ini. Pitong benar benar tidak percaya bahwa Keiko hanyalah seorang teman.
“ Ngidam? “ Tanya Pitong. Aku menghelakan nafasku pada si kemayu yang biang gosip ini. Sekalipun aku tinggal sendirian di Belanda, sumpah aku tidak pernah melakukan apapun dengan lelaki manapun maupun itu seorang Keiko. Aku tidak menjawabnya, biar Pitong tahu sendiri jawabannya. “ Gue tau tempatnya dimana, tapi gini ya....jawab dulu pertanyaan pertanyaan gue, lo gak cerita cerita sama gue? Tega banget “
“ Ya ampun gak ada apa apa sih, gue sama Keiko tuh makanya gue gak cerita apa apa...” Ucapku mengelak. Tidak tahu lagi harus berkata apa pada laki laki satu ini, yang terus terusan memaksa bercerita setiap kali aku didapati dengan berhubungan dengan seorang lelaki. Dasar repot, tapi aku sayang dengan Pitong.
“ Oh namanya Keiko “ Ucap Pitong menggoda. “ Ganteng gak? Udah berapa lama kenal sama lo ? “ Tanya Pitong.
Aku pasrah menjawab pertanyaan Pitong. Dan membiarkannya berspekulasi tentang hubunganku dan Keiko walau aku sudah mendeklarasikan diri bahwa aku dan Keiko benar benar gak ada apa apa. “ Dari sejak gue bulak balik Jakarta Bandung ngurusin keberangkatan gue “
“ Oke...lalu, selama di Belanda lo terus sama dia? “ Aku mengangguk mengiyakan, tidak ada alasan untuk menolak, karena aku dan Keiko memang menghabiskan waktu bersama yang sangat banyak selama kami ada di Belanda, terlebih lagi kami mengambil beberapa mata kuliah yang sama walau Keiko lebih fokus pada Urban Design. “ Selama lo di Bandung, lo chatting sama dia? “
“ Tong, pertanyaan lo gak penting banget tau gak “ Ucapku ingin segera mengakhiri pertanyaan pertanyaan nya namun Pitong hanya tertawa menggodaku. Pada akhirnya aku menceritakannya. Aku menceritakan tentang Keiko, kembaranku yang lahir dari orang tua yang berbeda. Pitong mendengarkannya dengan serius, dan sudah kupikir bahwa setelah itu ia akan bertanya apa aku punya rasa yang lebih dari seorang teman pada Keiko, atau tidak. Namun pertanyaan nya jauh dari perkiraanku.
“ Lalu gimana, Prana? “ Tanya Pitong. Kali ini aku diam, sambil melihat ke arah jalan Cipaganti yang padat dengan mobil, membiarkan lagu dari radio terdengar memenuhi mobil sedan Pitong.
“ Sejak dari Batu Karas gue belom ngobrol lagi sama dia “ Pitong mungkin merasa bersalah karena dia sudah bertanya tentang Prana, sehingga kami hanya diam, sedikit canggung. “ Tong, by the way, gue prefer lo tanya tanya tentang Keiko deh dari pada ini “
“ What, like this things really mess up your mind? “ Aku tidak menjawabnya, namun nampaknya Pitong tahu apa yang sedang kupikirkan. “ Jadi ada rasa sama Keiko ini? “ Pitong kembali pada topik sebelumnya.
“ Gak tanya begitu juga, lo kok right to the point banget yah “
“ You said you prefer to aswer the question about Keiko! “ Pitong tertawa sambil mencoba berkali kali mencubit lenganku.
“ Yang pasti sih, gue deket banget sama dia, as friend, that’s all, karena dari sejak Prana, sama Naya, gue udah bareng bareng sama dia ngurusin kepergian ke Belanda, gue juga sering ke gep, mikirin Prana sama dia, selama di Belanda, gue seringnya sama dia, he’s just like my brother “
“ So, there is no something special between you and him “
“ Just like you, and me. Dia yang ada disamping gue di masa masa berat gue, melepas Prana untuk sama Naya selama di Belanda “ Ucapku. Kami diam sejenak namun Pitong terus kembali menggodaku, mencairkan suasana sampai lagu dari radio berputar, malam itu aku kembali melamun, selagi Pitong bernyanyi mengikuti lagu yang diputar di radio.
“ Liat aja nanti “ Ucap Pitong, yang berarti mungkin suatu saat rasa akan tumbuh diantara aku dan Keiko. Namun aku tidak tahu, ya, lihat saja nanti.
Sejak kepulanganku dari Batu Karas, Prana tidak lagi menghubungiku, baik itu telepon, maunpun pesan singkat. Secara tidak sadar aku terus berharap, beberapa hari ini aku gak bisa jauh dari handphone ku, mungkin berharap Prana akan menghubungiku. Namun aku sudah ber ekspetasi terlalu jauh. Aku harus mulai mengakui Prana sudah jauh lebih bahagia dengan Naya dibandingkan denganku dan mungkin akan melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius.

***

“ Tar, handphone lo bunyi tuh “ Ucap Keiko, hari itu aku sedang ada di Bandara Soekarno Hatta, mengurus tiket kepergianku ke Amsterdam 3 minggu lagi bersama Keiko, rekan beasiswaku. Hiruk pikuk keramaian Bandara membuatku tidak mendengar suara handphone ku sendiri sehingga aku langsung dengan cepat mengeluarkan handphone ku dari tas. Naya. Aku membiarkan handphone ku berbunyi karena aku tidak ingin cepat cepat menjawabnya.
Walau pada akhirnya aku menekan tombol hijau, ingin tahu apa maksud dari telefon Naya siang ini. “ Halo, Tara? “ Ucap Naya tepat setelah aku meletakkan handphone ku di dekat telinga.
“ Ya...Nay “ Ucapku perlahan.
“ Tara, bisa ketemu gak..? “
“ Gue...lagi di Jakarta, Nay, ngurusin keberangkatan, kenapa? “ Ucapku, alasan yang menyelamatkanku untuk tidak bertemu dengan Naya.
“ Sibuk gak.. “ Tanya Naya, aku sudah tahu apa yang ingin ia bicarakan, aku memberi isyarat untuk Keiko agar sementara aku dapat duduk. Keiko menganggukan kepalanya, aku langsung duduk di salah satu kursi yang kosong.
“ Kenapa Nay? “ Ucapku, mencoba untuk tenang. Naya tidak langsung menjawab, mungkin memberanikan dirinya, walau aku sudah tahu apa yang mungkin akan ia katakan.
“ Aku....gak apa apa ya? Pacaran sama Prana? Mmmm kalau lo emang belom move on.. “ Tepat, aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Naya.
“ Gak apa apa “ Ucapku memotong pembicaraan Naya. “ Santai aja kali, its been like 2 years since I break up with him “ Ucapku.
“ Beneran? “
“ Ya, bener kok, no hard feelings “ Ucapku, walau sedikit berat membayangkan suatu saat nanti aku harus melihat Prana bersama Naya, berjalan bersama di posisiku yang dulu kutinggalkan, disamping Prana dengan genggaman tangannya. Namun aku juga tidak dapat menyalahkan Prana yang terpikat oleh kecantikan Naya. Aku juga tidak dapat menyalahkan Naya dengan penampilannya yang hampir sempurna. Sehingga aku hanya pasrah.
“ Tara, kita harus ketemu...gue gak tahu harus berterimakasih gimana “
“ Santai ajalah...soal ketemu, nanti gue kabarin, soalnya 3 minggu ini gue akan sering bolak balik Jakarta... “ Ucapku, sebetulnya tidak ingin bertemu dengan Naya karena aku yakin bahwa aku tidak akan dapat berkata apa apa jika aku harus bertemu dengan Naya.
“ Tara, thank you and sorry... “
“ Lo gak harus minta maaf, Nay, kalian berdua deserve each other kok, gue, tutup dulu telepon nya ya? Gue masih harus urusin banyak hal “ Ucapku, ingin segera mengakhiri perbicangan canggung ini.
“ Okay...bye Tara.. “ Ucap Naya, aku langsung menutup telepon. Keiko menghampiriku, ia berdiri di depanku, aku terus menundukkan kepalaku walau Keiko sudah berkali kali memanggilku. Keiko berlutut di depanku, sehingga ia dapat melihat wajahku.
“ So, you’re gonna tell me about this or not? “
Aku menghelakan nafasku, kembali melihat lurus, menenangkan pikiranku dan melihat ke arah Keiko. “ I’m okay “ Ucapku tersenyum. Walau hatiku benar benar kalut.


***

(Continue to part 8)

1 comment:

Rifqi Hadyan Damas said...

Nice story. Keep write it!