11 June 2015

De Tweede Vergadering (Part 6)

4 September 2013, Bandung, Indonesia

“ Halo? Siapa ya? “ Ucapku menjawab panggilan telefon dari nomor yang tidak ku kenal di tengah tengah perbincanganku dengan beberapa sanak keluargaku tentang keponakan baru ku.
“ Prana “ Ucap nya dari kejauhan, sejak 2 hari yang lalu kami datang ke Bandung baru kali ini ia menghubungiku lagi. Kali ini ia langsung menghubungi nomor Indonesiaku, entah apa tujuannya, namun hal ini sedikitnya entah mengapa membuatku merasa senang, mungkin tidak sadar aku menunggu kabar darinya dalam bentuk apapun, dan kini ia menghubungiku. “ Rame amat? “ Ucapnya penasaran. Aku melihat ke arah keluargaku yang sedang berkumpul, bermain dengan keponakan baru ku yang lahir ketika aku sedang ada di Belanda, menjalani ujian pertamaku sehingga aku tidak bisa pulang ke Indonesia. Dan adik perempuanku tidak dapat berhenti mengatakan bahwa keponakan baru kami benar benar terlihat imut.
“ Iya, ini nenek dateng sama kakek, sejak tante nikah, punya anak, dan om punya pacar sekarang rame tiap kumpul, gak sepi lagi seperti dulu “ Ucapku sedikit bercerita, walau aku tahu mungkin ia tidak begitu peduli. “Ada apa? Kok tiba tiba? “ Kembali pada tujuannya yang menelfon yang aku yakin bukan karena iseng.
“ Mau kasih kabar aja, Teh Gani udah di rumah sakit, di Jalan Riau, ini gak tau false alarm atau gimana, tadi pagi sempet kontraksi, tapi memang tanggal tanggal segini due date nya, persiapan kali ini memang sengaja dibikin matang, biar gak ada kejadian lagi aku anter dia ke bidan pakai motor “ Ucap Prana sedikit tertawa. Sedikit bernostalgia tentang cerita yang dulu sering ia ceritakan. “ Jadi ya kira kira lahirnya besok pagi atau siang, kalau mau kesini...aku disini terus...I just want to tell you that, walau kita udah gak bersama lagi bukan berarti relationship antara kamu dan keluargaku putus kan “ Ucap Prana. Aku menghelakan nafasku, sadar, apa yang ia katakan benar. Aku dan dia bukan lagi siapa siapa, aku menjalani hidupku sendiri, dan Prana menjalaninya sendiri. Kami sudah sejauh ini berpisah dalam waktu yang cukup lama, namun tidak ada alasan untuk memutuskan hubunganku dengan keluarganya yang sudah cukup dekat. “ Ra? “ Ia memecah lamunan kecilku.
“ Kayanya aku datang nanti malam setelah makan malem bareng nenek...takutnya besok gak sempat, temen temen SMA ku ingin pergi bareng katanya “
“ Tau deh kamu pasti schedule nya banyak banget kalau pulang ke Bandung, temen SMP, temen SMA, temen kuliah, Pitong, temen temen diluar sekolah “ Ucapnya diikuti dengan tawa kecilnya yang khas. Dia masih saja tahu akan kebiasaanku, dan teman teman yang pasti kutemui setiap kali aku pulang ke Bandung.
“ Let me guess, kamu pasti langsung ketemu Reza, ketemu Indah dan Bimo setelah sampai ke Bandung “ Ucapku, mengingat ingat kembali sahabat kecilnya Reza yang lebih terlihat sebagai kembarannya yang terpisahkan sejak kecil, juga Indah dan Bimo temannya yang mengisi sabtu malamnya jika ia sedang tidak pergi denganku.
“ Surprisingly, ketika aku pulang, Reza udah duduk di kamarku dengan beberapa orang teman rumah, dan malam harinya Indah dan Bimo lansung culik aku makan di angkringan “ Ucap Prana tertawa.
“ Temen SMP ku langsung datang ke rumah malem hari setelah aku datang ke Bandung “ Ucapku tertawa.
“ Lalu jajan ke Mc Donald? “
“ Ya! Benar, jauh jauh datang dari Belanda jamuanku sama mereka Cuma McD lagi, McD lagi, kamu juga, angkringan lagi angkringan lagi “ Ucapku terkekeh.
“ Just like the old times lah “ Ucap Prana.
“ Just like the old times “ Ucapku. Kami diam dalam beberapa saat, mungkin sama sama mengingat kebiasaan kebiasaan kami masing masing dengan teman teman kami. Prana dengan angkringannya dan aku dengan McD. Aku tidak pernah menyangka bahwa Prana masih mengingatnya sampai se detail itu. “ So...I’ll be there in 7 or 8 “ Ucapku memecahkan keheningan, mencoba mengakhiri kecanggungan karena sudah menyinggung masa lalu kami masing masing.
“ Telfon atau sms aja ke nomor ini ya kalau udah sampai “
“ Okay...see you “ Ucapku. Kami menutup sambungan telepon. Aku baru saja akan kembali masuk ke rumah untuk kembali bergabung dengan keluargaku ketika tiba tiba saja terpikirkan olehku, apa aku siap jika aku bertemu Naya disana. Iya, tiba tiba saja Naya hadir di dalam benakku, entah mengapa baru terpikirkan sekarang.

***

Prana mengirimkan nomor kamar dimana kakak iparnya, dimana Teh Gani dirawat. Aku baru saja keluar dari lift di lantai dua ketika mendengar keributan dari koridor kamar rumah sakit. Beberapa dokter dan suster mendorong kursi roda dengan cepat, di atas kursi roda aku melihat Teh Gani yang memegang perut besarnya kesakitan, sementara Prana berlari kecil mengikuti di belakangnya. Prana berhenti ketika ia melihatku dan menarik lenganku dengan cepat.
“ Bantuin ya hubungin Aa, Bapa, Ibu, tadi Aa lagi ke Galeri, Bapa sama Ibu makan keluar, ayo ikut aja ke ruang persalinannya “ Ucap Prana sedikit panik memberikan handphone nya, ia pergi mengikuti Teh Gani dan aku berjalan cepat di belakangnya sambil mencoba menghubungi keluarga Prana. Prana memang tenang, namun kali ini ia terlihat panik, mungkin seperti itu wajahnya ketika dulu harus mengantar Teh Gani melahirkan anak pertamanya ke bidan menggunakan motor.
Aku ikut dengan Prana ke dalam ruang persalinan, ikut menenangkan Teh Gani yang sudah berkeringat banyak sekali. Aku terus mengelap keringatnya menggunakan handuk kecil sementara Teh Gani meraung kesakitan sambil meremas sprei kasur.
“ Aa masih di jalan, macet, kayanya butuh waktu 15 menit lagi untuk sampai sini “ Ucapku di tengah tengah teriakan Teh Gani yang mengerang kesakitan. Prana yang ada di sisi lain ranjang melihat ke arahku. “ Ibu? Bapa? “ Prana nampak masih panik.
“ Ibu sama Bapa sama Lenna udah jalan kesini, mereka gak makan jauh jauh ko “ Ucapku, Teh Gani kembali mengerang kesakitan. “ Teteh, sebentar lagi, sebentar lagi Aa datang, tahan sebentar “ Ucap Prana. Teh Gani melihat ke arahku dan Prana bergantian, pemandangan yang sudah sangat lama tidak ia lihat lagi sejak kami berpisah. Ia menghentikan erangan nya walau masih sedikit meringis.
“ Prana, kamu balikan sama Tara? “ Tanya Teh Gani di tengah tengah raungan kesakitannya.
“ Aduh lagi gini masih bisa nanya gitu!! “ Ucap Prana panik, cukup wajar jika ia tidak dapat menghadapi hal ini dengan tenang dan kalem seperti yang biasanya. Aku kembali menenangkan Teh Gani, setelah 15 menit menunggu akhirnya Aa datang menghampiri kami. Aa meminta aku dan Prana ikut di dalam.
“ Oke ibu, kita mulai ya “ Ucap Dokter. Teh Gani memegang erat tangan Prana dan tangan Aa, aku terus mengelap keringatnya yang mengalir deras. Tidak dapat membayangkan bagaimana sakitnya melahirkan seorang anak dan kini aku berada sangat dekat dengan prosesnya. “ Terus dorong bu, terus! “ Ucap Dokter. Raungan kesakitan mengisi ruangan.

***

Aku duduk di salah satu kursi koridor rumah sakit, menemani persalinan cukup melelahkan apalagi dalam proses persalinan yang cukup lama. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi, mengistirahatkan diriku setelah berdiri di samping Teh Gani untuk membantunya melahirkan anak keduanya, dan aku cukup terkejut bahwa Teh Gani dan Aa masih menyambutku dengan ramah setelah aku dan Prana berpisah dalam waktu yang cukup lama. Tiba tiba saja Prana datang sambil memberikanku sebotol air mineral dingin, lalu ia duduk di sampingku. Ia terlihat lelah, namun juga senang, akhirnya keponakan baru nya lahir, seorang bayi laki laki yang sehat dengan berat 3,4 kilogram. Ia menyandarkan badannya pada kursi, mengatur nafasnya.
“ Thank you, really, ini kedua kalinya temenin teteh lahiran di ruang persalinan “ Ucap Prana diikuti oleh senyum nya sambil melihat ke arahku. Aku mengangguk sambil mengintip ke arah ruang persalinan, Teh Gani dan Aa sedang bersuka cita akan kedatangan anak laki laki nya di dunia dan Lenna terlihat sangat senang diberikan seorang adik baru.
“ Capek juga, temenin lahiran “ Ucapku setelah meminum air mineral dari dalam botol kemasan yang diberikan oleh Prana. Tiba tiba saja handphone Prana berbunyi. Aku sempat mengintip ke layar LCD nya, Naya. Prana langsung berdiri dan mengangkat telefon jauh dariku, tidak ingin aku mendengarnya berbicara dengan Naya. Wajar, sampai kapanpun hal tersebut akan menjadi hal yang sangsi diceritakan oleh Prana, terlebih lagi denganku. Kecuali Prana merupakan seorang laki laki berhati batu.
Tiba tiba saja orang tua Prana datang menghampiriku, aku memutuskan untuk segera pamit dengan alasan sudah malam dan aku pulang menggunakan Taksi, padahal aku tahu jauh dalam diriku alasan ku untuk segera pulang adalah karena sedikit takut jika saja tiba tiba Naya datang kesini. Sesungguhnya waktu ku masih banyak sekali dan aku bisa saja minta jemput pada Om ku yang masih ada di luar dengan teman temannya. Namun kali ini aku memang benar benar ingin pulang.
“ Makasih ya sudah temenin Gani....kami terimakasih sekali...Main ke rumah dong, kata Prana sekarang di Belanda? “ Ucap Ibunya, masih ramah seperti biasanya. Dan ternyata Prana menceritakan nya, bahwa kini aku tinggal di Belanda sementara Prana memutuskan untuk tinggal di Jerman.
“ Iya..bu..nanti kalau sempat aku ke rumah “ Ucapku sambil berpamitan.
Nampaknya ia tidak keberatan aku masih memanggilnya Ibu, sama seperti ketika aku masih bersama Prana. Ketika aku sedang berpamitan dengan orang tuanya tiba tiba saja Prana datang menghampiri kami.
“ Loh, mau kemana? “ Tanya Prana, setelah melihatku berpamitan pada Ibu.
“ Its already 9 o’clock, takut susah taksi “ Ucapku sambil melihat ke arah jam tangan tua ku yang sudah kupakai dari sejak beberapa tahun yang lalu.
“ Aku anter aja ya? “ Tanya Prana.
“ Ga usah, gak apa apa, pasti banyak yang butuh disini, ya sudah, salam buat Aa sama Teteh ya, Bu, Pak, mari... “ Ucapku berpamitan dengan Ibu dan Bapak. Sebelum pulang aku mengintip dari luar ke dalam ruang persalinan, berpamitan dengan Aa dan Teteh secara singkat, juga Lenna yang sudah tidak lagi takut jika bertemu dengan seseorang. Lenna menghampiriku dan mencium tanganku, ia sudah tidak takut lagi bertemu dengan orang baru. Pasti Naya juga sudah sangat dekat dengan Lenna.
“ Ku antar juga gak apa apa padahal “ Ucap Prana sambil berjalan di sampingku, menuju Lobby rumah sakit tempat aku menunggu taksi ku untuk datang. Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, Prana benar benar tidak perlu melakukan hal itu walau hal tersebut merupakan ucapan terimakasih karena sudah membantunya dalam ruang persalinan.
“ Ga usah, ga enak sama Naya, dia mau kesini kan? Kasihan Naya kalau sampai sini kamu gak ada “ Ucapku tersenyum. Prana hanya diam dan mengangguk kecil, nampak sedikit canggung karena aku membicarakan tentan Naya. “ Don’t tell her I was here too “ Ucapku.
“ Why? “ Ucapnya singkat.
Aku sedikit sangsi, namun aku tetap berusaha mengatakannya apa yang ada di pikiranku.“ You’re my ex, there’s no girl that won’t be hurt if their boyfriend hang out with his ex “ Ucapku. Prana nampak tidak tahu harus berkata apa sehingga ia hanya mengangguk dalam diam. Kami saling diam ditengah keramaian Rumah Sakit, sampai tiba tiba sebuah mobil taksi berwarna biru datang. “ That’s my cab” Ucapku, Prana mengantarku masuk ke dalam taksi dan menutupkan pintunya, aku membuka kaca.
“ Thankyou....really “ Ucapnya. Aku hanya mengangguk sambil menepuk pundaknya pelan. Ia masih berdiri di samping pintu, sedikit membungkuk untuk dapat melihatku dengan jelas melalui jendela mobil. “ Oh iya, tanggal 6 nanti bisa minta izin sama Papa untuk kamu keluar kota ? Sesuatu yang mau aku kasih yang aku janjikan, barangnya ada di luar kota dan gak bisa dibawa ke Bandung, so...kabari kalau dapat izin dan I’ll pick you up at 7 “ Ucap Prana. Ajakannya begitu mudah terlontar dari mulutnya.
“ Mau kemana sih? “
“ Just...prepare for a one night stay, ya? “ Ucap Prana tersenyum. “ Oke pak, hati hati ya, priceless cargo “ Ucap Prana sambil menepuk bagian atas mobil, ia sedikit melangkah mundur, aku melihat ke arahnya, ia melambaikan tangannya ke arahku, sampai taksi berjalan meninggalkan rumah sakit.
“ Gatot Subroto pak “ Ucapku.
Hari ini untuk pertama kalinya lagi setelah beberapa bulan aku menikmati suasana Jalan Riau di malam hari, surga Factory Outlet bagi para turis domestik maupun internasional dan juga merupakan jalan raya yang sering ku lewati bersama Prana ketika kami masih bersama. Beberapa tempat di Jalan ini mengingatkanku akan beberapa kenangan yang seharusnya sudah kulupakan bertahun tahun lalu, namun malam ini kenangan masa lalu itu datang tanpa mengucapkan salam, begitu saja masuk ke dalam pikiranku.
Dan malam itu, aku sulit tidur memikirkan kata kata Prana. “Priceless cargo “

***

6 September 2012, Bandung, Indonesia.

“ Ayo pada bangun dong! Udah jam berapa sekarang? “ Teriak Ibu menggedor gedor kamarku, ia membukanya sedikit, mengintip ke arahku yang masih menggeliat di atas kasur, menarik selimut karena pagi hari di Bandung yang dingin. “ Kamu bukannya hari ini mau keluar kota sama temen temen kuliah mu? “ Tanya Ibu, aku melihat ke arah jam tanganku yang tanpa sadar masih kugunakan karena aku langsung tertidur semalam sepulang bertandang ke kantor Pitong ketika ia menjalani siaran malam, dan langsung dengan cepat terbangun.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 dan Prana sudah mengirimkanku pesan untuk segera bersiap siap karena ia sudh berangkat dari rumah. Aku dengan cepat berlari ke kamar mandi, untungnya hari ini hari Sabtu, sehingga adik adikku sedang libur.
“ Sekolah kagak, kuliah kagak, kerja kagak, tapi telat “ Ucap adik laki laki ku yang baru saja duduk di meja makan, namun kembali tertidur di atas meja. Aku tidak menghiraukannya dan langsung berlari ke arah kamar mandi. Namun dapat kudengar Ibu mengomeli adikku karena malah melanjutkan tidurnya di atas meja makan.
Tepat ketika aku baru selesai mengecek barang bawaanku untuk pergi hari ini, suara klakson mobil berbunyi dari depan rumah. Aku mengintip keluar melalui jendela kamarku, sebuah mobil SUV Chevrolet Spin putih sudah berhenti di rumahku. Tanpa diberi tahu aku sudah tahu bahwa itu merupakan mobil Prana.
Aku berpamitan dengan Papa dan Ibu, juga dengan adik adikku. Lalu aku berlari keluar menggendong satu tas jansport biru ku yang seringkali kugunakan semasa kuliah dulu dan segera masuk ke dalam mobil nya yang sudah menunggu di depan rumah.
“ Pasti telat bangun deh “ Ucapnya melihat ke arahku.
Masih terengah engah karena terburu buru aku melihat ke arahnya, mengatur nafas sambil menjawab pertanyaannya. “ Aku baru tidur jam 3 semalem “
“ Kenapa? Gak sabar trip sama aku ya? “ Ucap Prana menggoda, namun tetap dengan pembawaannya yang kalem. Sesuatu yang dulu membuatku ingin langsung melompat untuk memeluknya, dan kini aku hanya duduk diam sambil melihat ke arahny.
“ Nonton drama korea sama adik cewek ku “ Ucapku, bagaimanapun aku ini seorang wanita, dan Prana juga mengerti bahwa aku benar benar menikmati beberapa drama korea untuk menghabiskan waktu luangku. “ Oke...jemput yang lain?”
“ Langsung aja, kita gak sama yang lain “ Ucap Prana melepaskan rem tangan mobilnya, tentu saja aku terkejut karena Prana berkali kali menenangkanku bahwa kami akan pergi bersama banyak orang sehingga Papa akan mengizinkanku untuk pergi.
“ What?? Eh, kamu bilangnya kita banyakan ya “ Ucapku terkejut dan sedikit jengkel. Tanpa berkata kata ia langsung menjalankan mobilnya keluar dari komplek rumahku dengan kecepatan yang cukup kencang. “ Prana!! “ Teriakku, ini merupakan sebuah aksi penculikan! Namun Prana tidak merespon dan hanya tersenyum, sementara aku panik.
Ia mengendarai mobilnya menuju jalan tol, berarti ia benar benar akan membawaku keluar kota, namun pada hari itu, aku benar benar lupa bahwa ia bukan lagi siapa siapa untukku, kecanggungan yang kami alami beberapa hari kemarin hilang dalam perjalanan ini. Perjalanan ke arah selatan yang memakan waktu lama membuatku dan Prana menceritakan segalanya, mulai dari Belanda, Jerman, sampai hal hal yang dulu pernah ku ceritakan, ia pernah ceritakan, diulang kembali, namun kami tidak bosan, kami menikmati perjalanan jauh ini.
Sampai persimpangan jalan Garut dan Tasikmalaya, aku tidak tahu Prana akan membawaku kemana, dan apa yang ia berikan. Bagiku kini, aku bahagia, menghabiskan waktu yang panjang hanya berbincang dengannya menghabiskan waktu perjalanan ke arah selatan dengan dia. Satu yang benar benar kami hindari, perbincangan tentang Naya, dan masa lalu kami, dan kami melewatinya dengan baik.

***

“ Mau ikut gak? “ Ucapku sambil sedikit takut, padahal aku benar benar tidak ingin berbicara dengannya namun teman temanku memaksaku agar aku yang menghubungi Prana.
“ Kemana? “ Balasnya singkat. Aku mencari kata kata yang tepat untuk berbicara dengannya, suasana hatinya belum baik, dan lebih parahnya lagi dia mungkin masih marah.
“ Batu karas, besok “ Dengan berani aku mengajaknya, padahal kemarin aku dan dia baru saja bertengkar hebat.
“ Nanti aku kabari lagi “ Ucap Prana singkat.
“ Okay.. “ Balasku agak canggung. Prana dengan cepat menutup sambungan telefon. Prana versi marah ini benar benar membuatku dan orang lain kesal bukan kepalang.


***

Aku melihat ke arah gapura sebagai batas wilayah yang kami datangi, setelah melihat jalan ini. Kali ini aku tahu kemana Prana akan membawaku. Walau sudah sangat lama sejak kedatangan terakhir ku ke tempat ini, otakku masih merekam nya dengan jelas. “ Ini aku tahu deh kayanya kamu bawa aku kemana “ Ucapku melihat ke arah Prana setelah Prana membawa mobilnya sampai ke kota Ciamis, dalam jangka waktu 4 jam. Prana hanya tersenyum. “ Batu Karas, kan? “ Ucapku, Prana tidak menjawab. “ Kamu pikir aku udah lupa jalan kesini? Kamu kaya yang lupa aja siapa dulu yang tunjukin jalan ke sana “ Tanyaku. Prana tetap diam dan fokus pada jalan.
Diam diam aku kembali memperhatikannya, baru hari ini aku melihatnya lagi dengan pakaian santainya, kaos hitam polos, celana jeans pendek dan sepatu converse. Rambutnya mungkin tidak disisir rapi, menandakan bahwa mungkin ia juga terburu buru karena takut terlambat menjemputku, aku ini terkenal si tepat waktu, namun ia lebih terkenal lagi dengan si tukang tidur. Matanya yang sedikit berkantung menandakan tadi malam juga ia tidur sangat larut, mungkin menonton TV series berpuluh puluh episode, atau video video band favoritnya. Dari dulu, bahkan mungkin sampai sekarang, aku paling senang melihatnya sedang menyetir, karena pandangannya yang serius, dirinya yang terkenal sebagai laki laki yang paling menghormati tata tertib lalu lintas dan fokus dengan matanya yang selalu melihat tajam pada hal hal yang membuatnya tertarik.
“ Aku beritahu alasannya kalau udah sampai “ Ucap Prana tiba tiba memecahkan lamunanku. Aku langsung memalingkan wajah, pura pura melihat ke arah jalan sambil mengangguk mengerti, takut tertangkap basah sedang memperhatikannya, tertangkap basah sedan merindukannya, untuk lebih tepatnya.
Perjalanan yang cukup panjang membuat kami beberapa kali memutuskan untuk berhenti di tempat peristirahatan. Baru kali ini aku melihat Prana merokok lagi, rokok nya dengan bau nya yang khas, tercampur dengan wangi deodorant cokelat menciptakan sebuah fragments yang sangat enak dan selalu kurindukan. Hal tersebut semakin membuatku ingin sekali memeluknya saat itu juga, seperti dulu.
Tidak terasa, kami sudah menempuh perjalanan selama 7 jam, waktu menunjukkan pukul 2 siang, matahari sedang terik teriknya, namun aku membuka kaca, menikmati angin pantai yang sudah tercium baunya, sambil melihat pemandangan perjalanan ke Batu Karas yang dipenuhi pepohonan hijau di sisi dan kanan jalan, dihiasi sinar matahari sore dan pemandangan sungai yang hampir menyerupai Ubud. Prana tetap fokus menyetir sementara aku menikmati perjalanan ini, sambil mendengarkan lagu lagu instrumental dari God is an Astronout, salah satu band favorit Prana.
“ Dulu jalan ini serem banget, ketika kita pergi kesini jam 8 malam bareng temen temen, inget gak? “ Ucapku, bernostalgia. Masa dimana kami pergi ke batu karas di malam hari dimana suasana daerah ini betul betul sepi dan sedikit menakutkan.
“ There it is, coba, dompet ku, keluarin uang 20 ribu “ Ucap Prana, aku membuka dompet Prana, membuka dompetnya dan melihat ke arah foto yang dipajang disana. Foto nya dengan Naya, dan sebuah foto yang di balik sehingga hanya menunjukkan bagian belakangnya saja. Aku baru saja akan mengeluarkannya namun kami sudah sampai di pos gerbang menuju Batu Karas, aku segera menutup dompet nya dan memberikan uang 20 ribu rupiah sebagai karcis tanda masuk.
Prana membawa mobilnya masuk, telingaku yang pendengarannya cukup tajam sudah dapat mendengar suara ombak laut walau aku belum melihat laut. Tanda laut sudah sangat dekat, tak lama dari itu aku melihat warna biru laut, saking senangnya melihat laut aku tidak lagi dapat mengekspresikan rasa senangku. Seketika ingatanku tentang foto Naya yang ada di dompet Prana hilang begitu saja, tergantikan oleh memori memori indah, liburanku dan Prana dengan teman teman kuliah kami ketika kami masih kuliah di tingkat 3.
Prana membawa mobilnya sampai ke depan sebuah yang letaknya tepat di sisi pantai. Ia memarkirkan mobilnya di depan rumah tersebut, rumah sederhana yang tidak dapat dikatakan mewah namun cukup nyaman. Aku benar benar mengenal rumah ini, tempat aku dan teman temanku menginap ketika liburan semester beberapa tahun yang lalu.
“ Sampai “ Ucap Prana. Aku turun dari mobil, melihat ke arah laut yang sedang sepi, karena matahari masih sangat terik, matahari tropis yang sinarnya benar benar kurindukan walau kini matahari sudah ada di atas kepala.
“ Pran...jadi, sesuatu yang mau kamu kasih itu.... “ Ucapku pada Prana.
“ Ini... “ Ucap Prana, tiba tiba saja dari rumah tersebut keluar beberapa orang, melangkah dengan senang ke arahku, aku sangat terkejut melihat mereka, teman teman kuliah kami yang dulu berlibur bersama kami, termasuk Pitong, Arya, dan Rendra ada disana, memang aku belum bertemu dengan teman teman kuliahku, namun Pitong tidak memberitahuku apa apa tadi malam ketika aku bertandang ke kantornya. Aku memeluk mereka satu persatu, tidak percaya bahwa mereka ada disini, mengulang liburan kami beberapa tahun silam.
Aku melihat ke arah Prana, ia sedang mengangkat telefon, menjauh dari kami. Kupikir itu Naya, namun lamunanku buyar ketika seorang temanku langsung mengajakku masuk ke dalam untuk beristirahat. Prana berhasil membuatku senang bukan kepalang dengan membawaku ke dalam liburan reuni kecil ini.
***

(Continue to part 7)

1 comment:

Rifqi Hadyan Damas said...

Nice story. Keep write it!