Setelah berfoto bersama 10 siswa lainnya yang berhasil lulus dari program Magister Arsitektur. Aku kembali menggunakan topi toga ku yang tadi terjatuh entah kemana ketika kami melakukan pose melempar topi toga. Baru saja aku mengambil topiku tiba tiba seseorang berbadan tinggi datang memelukku secara spontan, rupanya Martin yang juga lulus dari studi magisternya. Ia datang dengan seorang perempuan spanyol cantik yang ia katakan merupakan istrinya. Aku meminta seseorang untuk mengambil foto kami bertiga. Dan tiba tiba saja Keiko datang disampingku, ikut berpose.
“ Gue bilang juga apa, kita bisa pulang 30 April nanti kan “ Ucap Keiko senang, masih berbalut graduation robe berwarna hitam dengan sedikit garis silver di bagian bahu dan lengan, aku memeluk Keiko erat. Dari sejak upacara berlangsung kami belum sempat saling mengucapkan selamat. Namun kami langsung melepaskan pelukan kami ketika seseorang menarik jubahku dari bawah.
“ Aidan! “ Ucapku langsung menggendong Aidan senang, tidak menyangka ia akan datang kesini.
“ Congratulation “ Ucap Aidan, kedua orang tuanya yang juga datang menjabat tanganku. Katanya Aidan sungguh sungguh ingin bertemu denganku dan Keiko, sehingga ketika tahu bahwa upacara wisuda diadakan pada hari ini mereka memutuskan untuk datang dan bertemu denganku.
Aku mengatakan bahwa Tante Erica dan keluarganya ada di luar, sedang berbincang dengan Ibu dan saudara tiri Keiko, mungkin merundingkan setelah ini kami akan makan siang dimana. Sehingga kedua orang tua Aidan bergabung dengan mereka dan meninggalkan Aidan bersama kami. Keiko mengangkat Aidan tinggi, ia meletakkan topi toganya yang besar di atas kepala Aidan dan menggendongnya di atas bahu nya seperti biasa. Keiko nampak sedang memboyong anaknya sehingga aku mengambil foto Keiko sedang menggendong Aidan.
Hari ini kampus TU Delft merayakan kelulusan beberapa mahasiswanya, kampus dibanjiri oleh para keluarga, rekan dan teman teman para wisudawan yang menggunakan jubah hitam disertai topi toga nya masing masing. Entah berapa orang mahasiswa berhasil lulus dan mendapatkan gelar master, termasuk aku, Keiko dan Martin. Aku bernafas sangat lega setelah keluar dari ceremony hall, karena akhirnya aku sudah menjalankan salah satu cita citaku di Belanda.
Kedua orang tuaku sudah menghubungiku melalui skype sebelum upacara berlangsung, katanya pasti kalau mereka menelefon setelah upacra selesai aku gak akan fokus karena merayakan kelulusanku dengan teman temanku di kampus. Dan Hardian sempat menghubungiku.
Ia dan Ozki memberiku selamat, mereka bilang wisuda mereka masih 1 bulan lagi, dan Hardian akan pulang ke Bandung pada penghujung bulan April nanti. Sementara Prana, Hardian bilang dia sudah wisuda. Dan akan bertolak pulang ke Indonesia dalam waktu dekat. Aku membatasi pertanyaanku, cukup sampai situ, aku langsung berusaha menghilangkan Prana dari benakku dan kembali berbicara dengan Hardian.
Setelah memutuskan sambungan telefon, Jenna datang menghampiriku, mengajak aku, Keiko dan Aidan untuk segera pergi untuk makan siang di Huszar. Restaurant yang ada di dekat kampus. Aku dan Keiko benar benar belum mengisi perut kami karena kami terlambat bangun dan langsung pergi menjemput Ibunya Keiko di Hotel Juliana, yang tepat berada di depan gedung Fakultas Teknik Kimia kampus kami. Sehingga kami memutuskan untuk langsung pergi kesana.
Keluarga Aidan gak bisa bergabung dengan kami sehingga hanya ada keluarga Tante Erica, Ibu nya Keiko dan adik tirinya mengelilingi meja panjang di dalam restoran. Aku duduk di samping Keiko tentunya, sudah melepaskan graduation robe yang sudah kami pakai sejak tadi. Seperti biasanya Keiko makan dengan cepat dan sedikit terburu buru.
“ Keiko, pelan pelan ah “ Ucap Ibu nya. Untuk pertama kalinya aku melihat Keiko mengangguk pelan dan makan dengan perlahan. Kali ini Keiko mungkiin tidak dapat menandingiku dalam lomba makan cepat.
“ Ibu, mau jalan jalan kemana lagi habis ini? “ Tanya Keiko. “ Aku gak tahu bisa anter Ibu atau enggak kalau langsung dari sini aku capek banget “ Ucapnya. Sedikit lucu mendengar Keiko berkata “aku”. Sehingga aku sedikit tersenyum sambil masih fokus pada makan siangku, padahal aku ingin sekali tertawa.
“ Bu, kalau mau jalan jalan, bareng saya aja, yuk? “ Ucap Tante Erica, Tante Erica ini merupakan orang yang terlalu easy going sehingga ia dengan sangat mudah akrab dengan orang. Beberapa orang yang tertutup mungkin merasa hal itu buruk namun rupanya Ibu nya Keiko juga sama, mudah akrab dengan orang, apalagi dengan sesama Ibu ibu.
“ Ibu sama tante lo udah kayak sering arisan berlian bareng aja “ Ucap Keiko berbisik ketika Tante Erica menawarkan Ibu Keiko untuk menjadi guide nya berjalan jalan di Amsterdam.
Mereka nampak langsung akrab seperti rekanan arisan yang sudah sangat lama bertemu, aku meminta maaf pada Keiko, karena Tante Erica membuat Ibu nya berubah pikiran untuk pergi ke amsterdam. Ibu nya tetap keras kepala walau Keiko mengatakan tidak perlu, sementara adiknya hanya diam sambil menikmati pasta yang dipesannya. Sesekali aku melihat ke arah Ibu nya, masih tidak dapat membayangkan bagaimana ia menelantarkan Keiko di masa kecilnya, dan kini nampak akrab dengan Keiko seperti tidak terjadi apa apa. Lalu aku melihat ke arah Keiko, tersenyum karena kagum bahwa Keiko dapat menghadapi segala masalahnya dengan dewasa sehingga ia tidak jauh dari Ibu maupun Ayahnya.
Mereka pun terlarut dalam pembicaraan para ibu, pada akhirnya setelah merayu Keiko, Keiko memberi izin Ibu nya untuk pindah hotel ke Amsterdam dan Tante Erica akan menjadi guide nya sebelum Ibu dan saudara tirinya harus pulang 3 hari kemudian. Aku dan Keiko pun sepakat akan menginap ke Amsterdam beberapa hari kedepan untuk menemani Ibu.
Sehingga setelah menghabiskan makan siang dan saling berbincang bincang, aku berpisah dengan Keiko. Aku mengantarkan Tante Erica dan keluarganya berbelanja sementara Keiko membantu Ibu nya packing untuk pergi ke Amsterdam bersama Tante Erica malam nanti.
Setelah berbelanja aku mengantar Tante Erica ke stasiun dan kami bertemu dengan Keiko, Ibu dan Saudara tirinya disana. Mereka pun berpamitan, karena kami memutuskan untuk pergi ke Amsterdam besok siang. Kami terlalu lelah hari ini untuk melakukan perjalanan ke Amsterdam, dan lagi kami belum berkemas sedikitpun.
Aku dan Keiko melambaikan tangan pada kereta yang pergi melaju meninggalkan Delft. Menyisakan kami berdua, berdiri di tengah hiruk pikuk stasiun yang masih ramai di malam hari. Diam diantara suara mesin kereta dan pemberitahuan keberangkatan dari speaker.
“ Yuk? “ Ucap Keiko, aku mengangguk. Kami berdua berjalan berdampingan keluar dari stasiun.
Delft rasanya berbeda kali ini. Biasanya aku berjalan di sisi jalan Delft dengan isi kepala yang penuh oleh kuliah, pekerjaan, uang makan, bahkan Prana dan Keiko dan juga masalah masalah lainnya. Namun sekarang, Delft jadi terlihat lebih santai, seiring kosongnya kini otak kami dari pikiran tentang kuliah. Lalu aku melihat ke arah Keiko, laki laki yang sudah menemaniku di Delft selama 2 tahun. Dan terpikirkan olehku, bahwa ketika pulang nanti aku tidak lagi dapat berada dengannya hampir setiap hari seperti sekarang.
Kami berjalan dalam diam, musim semi sudah datang, pohon pohon sudah menumbuhkan lagi daun daun hijau nya. Berdiri gagah dengan rimbun membayangi trotoar jalan akibat dari sinar lampu jalan. Aku selalu suka musim semi, walau kadang musim ini menjadi bencana bagi Keiko yang alergi pada serbuk bunga.
Kami melanjutkaan perjalanan kami sampai ke rumah tanpa banyak berkata kata, namun dengan tatapanku sesekali melihat ke arah Keiko yang lebih tinggi dariku, dan nampaknya ia tidak sadar bahwa aku diam diam memperhatikannya. Ketika kami masuk ke dalam ruang berkumpul, riuh suara musik dan keramaian memenuhi telinga kami. Rupanya mereka sedang merayakan kelulusan beberapa penghuni rumah yang lulus S1 dan kami yang lulus S2.
“ There it is! Where have you been? We’re waiting for you! “ Ucap Pedro datang menghampiri kami dengan dua gelas minuman. Aku mencium baunya, tahu tahu Pedro usil membubuhkan alkohol pada minumanku. Setelah memastikannya aku meminumnya, ikut bergabung dengan keramaian ini walau sudah capek sekali rasanya. Dan malam ini pun aku sedikit menangis, karena bagaimanapun menyebalkannya Pedro, aku pasti merindukannya di kemudian hari. Aku memeluk seluruh penghuni rumah satu persatu, tak sedikit dari mereka bersedih, karena sedikitnya akan ada 4 orang yang meninggalkan rumah termasuk aku dan Keiko setelah kelulusan. Malam ini malam perpisahanku dengan mereka.
Keramaian berlangsung sampai tengah malam. Pedro betul betul mabuk sampai sampai ia jatuh tumbang setelah memuntahkan segalanya di halaman belakang. Kini sudah tidak begitu berisik, semuanya kelelahan. Beberapa orang yang mabuk sudah tertidur lelap di atas sofa dengan wajah telernya, dan beberapa orang sudah masuk kembali ke dalam kamarnya, meninggalkan ruang tengah dan dapur dengan keadaan yang betul betul berantakan, kami juga tidak mau membereskannya sehingga aku dan Keiko memutuskan untuk kembali ke kamar.
“ Sini dulu “ Ucap Keiko dari balik pintu kamarnya yang bersebrangan dengan kamarku ketika aku baru saja akan membuka pintu kamarku. Keiko mengajakku masuk ke dalam dan aku mengikutinya. Aku duduk di atas sofa yang biasa aku duduki. Keiko nampak sedang mencari sesuatu di dalam laci meja belajarnya. Dan ia pun mengeluarkan sebuah amplop cokelat, ia memberikannya padaku.
“ Jangan dibuka sekarang. Nanti aja, kalau udah sampai Indonesia “ Ucap Keiko, aku mengambilnya, amplop tersebut tipis seperti tidak berisi apapun, aku sedikit berfikir bahwa Keiko mungkin saja menipuku. “ Hadiah graduation “ Keiko duduk di sampingku. Wajahnya nampak serius, sehingga aku yakin bahwa ada sesuatu di dalamnya, mungkin beberapa lembar uang Euro untuk menggantikan uangku yang pernah ia pakai untuk membeli kopi ketika ia belum mengambil uangnya di bank.
“ Thank you, apapun yang ada di dalamnya “ Ujarku tersenyum, aku pun berdiri sambil memegang amplop tersebut. “ Jangan lupa, besok mesti ke Amsterdam “ Ucapku mengingatkan. Keiko mengangguk pelan, aku keluar dari kamarnya.
“ Tante Erica gak akan ajak Ibu ku ke Red Light District kan? “ Tanya Keiko sebelum menutup pintunya.
Malam sudah larut namun Keiko masih saja bisa bercanda. “ Gak, lah. Emang anaknya “ Ucapku tertawa sambil masuk ke dalam kamar. Ketika aku baru saja akan masuk ke dalam kamar, aku dikejutkan oleh sebuket bunga tulip berwarna merah, kuning dan ungu di dalam vas yang diletakkan di lantai di sisi pintu.
Di salah satu tulipnya digantungkan tulisan kecil bertuliskan “ Congratulation, Tara Alexandra S.T M.Arch “ tanpa nama pengirimnya. Pengirim ini tahu aku sangat menyukai bunga tulip dibandingkan buket bunga mawar. Sehingga aku hanya duduk tertegun, memikirkan siapa yang mengirimnya. Keiko sudah menutup pintu kamarnya, dan gak mungkin Keiko yang mengirimnya karena aku bersamanya sepanjang hari. Aku pun berlari kebawah, mencari seseorang yang dapat menjelaskan tentang hal tersebut. Namun kata Lin Shu yang baru sadar dari mabuk, kurir nya gak menyebutkan siapa pengirim bunga tersebut.
Mungkin orang iseng.
Aku pun membawa vas tersebut ke dalam kamar dan mulai berkemas untuk besok pergi ke Amsterdam.
***
30 Maret 2013, Amsterdam, Belanda.
Aku masih duduk di tangga teras depan rumah Tante Erica ketika ia berteriak memanggilku menawarkan apakah aku ingin makan lagi aku tidak. Aku berteriak tidak, karena aku masih sangat kenyang setelah makan malam bersama Keiko dan Ibu nya yang kini menginap di hotel yang gak jauh dari rumah Tante Erica, tempatku menginap sampai besok pagi Ibu dan Saudara Tiri Keiko pulang ke Indonesia dari Schipol.
Sudah dari tadi aku membiarkan layar handphone ku, menampilkan pesan singkat dari Hardian yang mengirimkan nomor Eropa Prana kemarin malam. Aku terus memandangnya, ingin sekali mencoba menghubunginya namun aku takut gak tahu lagi harus berkata apa. Lagipula aku sudah bertekad untuk benar benar meninggalkan segalanya. Namun aku bersikeras ingin sekali berbicara dengannya. Aku pun menekan nomor tersebut untuk mulai menghubunginya, sambil sedikit berdebar.
“ Jangan keterusan, cukup minta maaf, dan tanya tanya ala kadar nya “ Bisikku pada diriku sendiri. Tak lama kemudian suara nada tunggu terputus. Tanda Prana sudah menekan tombol hijau di handphone nya.
“ Halo? Wer ist das? “ Ucapnya singkat dalam bahasa Jerman, yang kuyakin ia bertanya siapa yang menghubunginya. Rupanya Prana sudah menghapus nomorku. Sehingga aku memutuskan untuk segera menutup sambungan telefon.
Sudahlah, biarkan seperti ini, mungkin dengan seperti ini lebih mudah bagiku untuk melupakannya. Mencoba tidur mungkin merupakan hal yang tepat, walau aku belum mengantuk sedikitpun. Aku baru saja akan masuk ketika seseorang memanggilku dari arah trotoar, aku melihat ke arahnya. Laki laki itu berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket tipisnya.
“ Gak bisa tidur, jalan jalan yuk? “ Ucap Keiko tersenyum.
Memang hanya butuh 10 menit berjalan kaki dari sini ke hotel tempat ia dan ibu nya menginap. Namun aku tetap saja terkejut, ia datang tanpa memberi tahu. Tiba tiba saja berdiri di depan teras, gak tahu kapan datangnya. Tapi aku tersenyum, di kala hatiku kalut, Keiko datang padaku, menemaniku menghabiskan malam malam terakhirku di Belanda.
“ Sama “ Ucapku. “ Tapi gak ke Red Light ya “
Senyum merekah di wajahnya, lalu ia mengangguk senang.
***
29 April 2013, Amsterdam, Belanda.
Waktu berlalu dengan cepat. Bulan kemarin setelah mengantar Ibu dan Saudara Tiri Keiko ke Bandara kami pun langsung bertolak kembali ke Delft. Sesampainya disana kami segera mengurus segalanya, administrasi kampus, urusan keuangan dan juga mulai mengosongkan kamar. Dan seakan belum cukup, para penghuni rumah menggelar pesta lagi sepulang aku dan Keiko mengirimkan barang barangku.
Syukurlah segalanya berlangsung lancar. Tepat di awal bulan aku dan Keiko sudah dapat mengirimkan barang barang kami ke Indonesia setelah satu minggu yang lalu mendapatkan surat keterangan barang pindahan dari KBRI di Den Haag, biar sampai Indonesia aku dan Keiko gak perlu menunggu 3 bulan. Sehingga kini keadaan kami benar benar seorang traveller dengan barang seadanya dan 1 koper berisi kebutuhan kebutuhan penting untuk hidup di Belanda sampai pulang ke Indonesia.
Keiko dengan berat hati menjual vespa biru nya beberapa hari sebelum kami pergi ke Amsterdam. Kami menghabiskan satu hari penuh di Bierhuis, satu hari penuh bersama Aidan, dan perjalanan ke pantai terdekat bersama para penghuni rumah untuk merayakan perpisahan kami yang akan pulang ke Indonesia. Tidak perlu waktu lama sampai aku benar benar tahu bahwa aku akan merindukan mereka.
Mereka mengantar kami kami ke stasiun sebelum kami berangkat ke Amsterdam untuk tinggal di rumah Tante Erica sampai tanggal 30 nanti. Aku dan Keiko mendapatkan beberapa souvenir tanda perpisahan dari para penghuni rumah, sehingga membuatku sedikit meneteskan air mata karena hati kecilku berteriak bahwa aku belum mau pulang dari Belanda. Namun mau tidak mau, pagi tadi kami pun berangkat ke Amsterdam. Meninggalkan Delft untuk terakhir kalinya, dan gak tahu apa kami punya kesempatan lagi untuk datang ke Delft ketika mereka lulus. Kami sangat ingin menghabiskan musim panas disini namun kami juga sudah terlalu rindu dengan tanah jawa.
Sehingga kini aku sedang duduk di kamar tamu, mengepak barang barangku, memasukkannya kedalam koper besar yang akan membawa barang barangku pulang ke Indonesia. Mengecek lagi siapa tahu ada yang ketinggalan setelah 5 hari bermalam di rumah Tante Erica. Keiko sudah menyelesaikannya sehingga kini ia sedang berbincang, berceloteh ria dalam bahasa Belanda bersama Andre, suami Tante Erica.
Prana? Aku sudah benar benar berpisah dengan Prana. Beberapa hari yang lalu ketika sedang mengurus kepulangan kami di KBRI Den Haag aku menghubungi Hardian. Mengucapkan selamat akan kelulusannya, dan menanyakan Prana. Ujarnya Prana sudah pulang ke Indonesia 2 hari yang lalu dengan seorang wanita sesama orang Indonesia yang juga akan pulang ke Indonesia setelah lulus dari jurusan yang sama dengannya. Hardian betul betul sudah terlalu banyak memberi tahu informasi sehingga setelah itu aku memutuskan untuk menutup telefon dengan cepat dan kembali pada Keiko yang sedang berbincang bincang dengan pegawai disana.
Kami sudah benar benar selesai. Dan nampaknya untuk kali ini aku sedikit lebih fokus pada Keiko.
Setelah yakin semuanya selesai aku bergabung dengan Andre dan Keiko, namun tepat ketika aku datang, katanya Andre mau melanjutkan kerjanya dan ia pun pergi meninggalkan kami. Kami belum mengantuk, sehingga aku dan Keiko memutuskan untuk pergi keluar. Jalan jalan untuk terakhir kalinya karena siang besok kami akan berangkat pulang ke Indonesia.
Tante Erica bilang jangan pulang terlalu malam, karena waktu memang sudah menunjukkan pukul 10 malam pada waktu itu, ditambah lagi Tante Erica tidak lupa bahwa di hari pertamaku di Amsterdam ini aku, Jenna dan Keiko berjalan jalan di Leidse Square sampai subuh. Namun aku dan Keiko bersikeras untuk pergi keluar dan meyakinkan Tante Erica bahwa kini kami tidak akan pulang terlalu malam, dan ini merupakan terakhir kalinya kami menikmati angin Belanda di malam hari. Kami memutuskan untuk pergi ke Leidse Square lagi, yang kami yakin masih ramai dipenuhi warga lokal muda di Amsterdam. Jenna benar benar ingin ikut ketika kami pergi, namun Tante Erica melarangnya dan ia mengurungkan diri ke kamarnya sambil marah. Maaf Jenna!
Benar saja, pusat hiburan itu masih ramai dipenuhi para pemuda dan pemudi Belanda yang sedang nongkrong di sana. Sementara aku dan Keiko hanya dua orang pelajar Asia yang hanya berjalan jalan untuk menikmati suasana tempat tersebut.
“ Kita pernah kesini kan dulu? “ Ucap Keiko mengingat ingat.
“ Pernah kalau gak salah, waktu liburan semester pertama “
“ Dan besok kita akan balik ke Indonesia “ Ucap Keiko sambil berjalan di sampingku. Aku menganggukan kepalaku. “ Rasanya baru kemarin deh ngurusin yang sakit karena gak kuat sama suhu musim dingin “ Ia melihat ke arahku dengan wajah jahilnya.
“ Emang kemarin kok, beberapa bulan kemarin gue baru aja ngurusin orang yang so soan kuat ngerjain thesis terus tumbang “
“ Kok gue kesindir yah “
Aku dan Keiko tertawa. Tertawa tanpa peduli apakah orang orang sedang melihat kami atau tidak, yang penting kini kami sedang menikmati malam terakhir kami di Belanda. Kami kembali mengulang segala cerita, mulai dari kedatangan pertama kami di Delft, mengais ngais nasi sampai berkeliling kota mencari rumah makan Indonesia, pertama kali bertemu dengan Martin di Bierhuis, hari hari kuliah kami yang sedikit bingung karena semua orang disana ngomong bahasa Belanda sementara aku sendiri baru saja belajar Bahasa Belanda selama 1,5 tahun sebelum berangkat. Untung saja Keiko sudah mempelajarinya lebih lama sehingga Keiko memberiku sangat banyak bantuan dalam berbahasa Belanda.
Kami sadar kami sudah datang ke banyak tempat, namun kami juga sadar kalau kami terlalu boros, harusnya kami bisa pergi ke Spanyol atau Portugal dalam liburan kami, tapi kami lebih memilih untuk pergi ke Paris, bagian Barat Jerman dan negara negara dekat Belanda.
“ Kalau nabungnya bener lo udah bisa ke Santorini! “ Ucap Keiko sambil meminum bubble tea nya. Malam terakhir di Belanda dan kami memilih untuk duduk di salah satu gerai bubble tea yang dipenuhi oleh remaja remaja perempuan Belanda.
“ Malah ke Paris dua kali! “
Tidak, kami sebisa mungkin mennghindari topik tentang Prana dan kedatangannya ke Delft. Begitu juga tentang Keiko dan keluarganya. Sehingga kami hanya terus berulang kali mengatakan tentang Martin, Pedro, Lin Shu, Soo Young, Nathan, Peach dan Aidan.
Kami melanjutkan berjalan jalan. Mencari mesin photoautomat untuk berpose bebas semau kami. Dan kami pun menemukannya di ujung jalan Leidse Square. Setelah mendapatkan hasilnya aku tiba tiba saja teringat akan hasil fotoku dan Prana dari photoautomat Berlin yang pernah aku sembunyikan. Kupikir aku tidak akan berhasil melupakannya namun aku berhasil, aku baru mengingatnya sekarang. Lamunanku pecah karena Keiko memanggilku, katanya dia ingin sekali lagi. Namun yang kali ini ia menempelkannya di mesin tersebut, bersama foto foto orang lain yang lebih dulu ditempelkan disana.
“ Bukti untuk orang orang Belanda kalau kita pernah ada di Belanda “ Ucap Keiko.
Kami melanjutkan perjalanan, kini hanya sekedar jalan jalan sambil menikmati street music yang sesekali kami lewati selama perjalanan. Dan pada akhirnya kami duduk di teras rumah Tante Erica, ketika jarum pendek sudah menunjukkan pukul 12 malam.
“ Bye Holland! “ Teriakku, namun Keiko langsung segera menutup mulutku paksa sambil tertawa.
“ Nanti lo dikira lagi mabok! “ Ucap Keiko, kami tetap tertawa. Duduk di lantai sambil bersandar pada dinding rumah. Menghabiskan sisa sisa tawa dari Leidse Square. Teringat akan kejadian konyol yang kami lihat di salah satu klub malam yang iseng kami masuki. Sambil memeluk lutut, aku pun menatap Keiko, hari ini aku benar benar senang, entah terlalu senang.
“ Hey, thank you “ Ucap Keiko
“ For what? “ Ucapku, masih memeluk lutut.
“ Everything, everything we do in Delft, Amsterdam, Paris, Dortmund, and Haarlem “ Ucap Keiko lembut. Kini ia menatapku, benar benar melihat mataku sehingga aku dapat melihat matanya yang benar benar hitam sempurna. “ Really, thank you “
“ Harusnya gue yang makasih “ Ucapku tersenyum. “ Kalau ga ada lo mungkin gue udah nyasar dan sekarang ada di Rusia, kerja di McDonald gitu “
“Why, why Russia? “
“ Karena gue paling takut nyasar di Rusia, gue berkali kali coba belajar bahasanya gue tetep aja gak bisa, gaktau gue yang terlalu bego atau memang bahasanya yang sulit. “
“ Lo nya aja yang bego “ Ucapnya.
Aku sudah mengangkat tanganku untuk menjitaknya, namun Keiko menahannya. Ia menggenggam tanganku. Kini Keiko tidak tertawa, tapi tersenyum, senyum nya yang paling lembut yang pernah ia berikan padaku. “ Seriously, thank you “
Entah mengapa malam itu, hatiku kembali berdebar, apalagi dengan Keiko yang dengan lembut menggenggam tanganku. Aku tidak tahu apa yang mungkin terjadi setelahnya namun kami saling bertatapan, saling memandang mata satu sama lain, walau sebenarnya aku tidak ingin namun entah mengapa mataku terus mengarah padanya, melihat Keiko. Aku merasa kini aku sedang diselimuti oleh gejolak aneh, hingga tiba tiba saja suara Tante Erica memecahkan suasana.
“ Tara, Keiko, off to bed, you’re having a flight tomorrow!“ Teriak Tante Erica dari dalam rumah. Ternyata ia belum tidur. Kami saling memalingkan wajah, malu, lalu tertawa, mencairkan suasana. Tante Erica terdengar marah sehingga aku dan Keiko pun memutuskan untuk masuk dan beristirahat.
***
Continue to Part 15
No comments:
Post a Comment