Setelah menjalani sisa 3 jam perjalanan yang kebanyakan kami habiskan dalam diam dengan musik kami masing masing melalui earplugs, kami sampai di Berlin Haubtbahnhof, stasiun kereta yang terletak di pusat kota Berlin. Setelah kereta berhenti, sesegera mungkin kami keluar dari kereta, Prana membawakan tasku dan kami berjalan keluar dari hiruk pikuk stasiun tersebut.
“ Aku sebenarnya udah ajak Hardian, tapi dia bilang dia sama Ozki baru bisa ke Berlin besok karena di Hanover, Ozki baru aja pindah flat, jadi gak apa apa kan kalau kita berdua doang? “ Tanya Prana, Sambil berjalan keluar dari stasiun, aku baru benar benar sadar kalau aku dan Prana hanya berdua di sini dan aku sama sekali gak memikirkan dimana aku akan tidur nanti, karena tentu saja aku tidak akan tidur bersama Prana.
“ Terus, where do I sleep “ Ucapku.
“ Di flat ku dong “ Ucapnya berjalan mendahuluiku. Aku berhenti, melihatnya dengan tampang tidak percaya, kamar single flat nya sudah pasti hanya memiliki satu kasur dan aku benar benar tidak mau jika aku harus tidur bersama nya. Prana hanya tertawa dan menarik lenganku, seakan tahu apa kekhawatiranku. Khawatir jika saja bisa terjadi apa apa, walau aku yakin Prana dapat menahannya.
“ Sofa nya cukup empuk untuk aku tidur disitu “ Ucapnya tersenyum. Kalimat itu membuatku lega, sehingga meyakinkanku bahwa aku tidak harus tidur dengannya dan aku mendapatkan jatah kasur yang empuk untuk istirahatku beberapa malam ini.
Prana menarik lenganku dan kami sedikit berlari untuk mencapai bis yang baru saja akan berangkat dari halte menuju flat nya di Charlottenburg, dekat dengan kampusnya, Berlin Art University, mimpinya sejak dulu untuk mempelajari ilmu Arsitektur Interior. Kami duduk di baris tengah, dalam 15 menit perjalanan Prana menceritakan segalanya, mulai dari coffee shop langganan nya, restoran asia favoritnya, sampai tempat ia me laundry pakaiannya. Sehingga setiap gedung yang kami lewati nampaknya memiliki proyeksi sendiri dalam benakku, bahwa Prana hidup disana sambil menjalankan aktivitas sehari harinya. Hal tersebut cukup mengobati rasa penasaranku, apa ia hidup baik baik saja selama ia tinggal di Berlin sendirian.
Aku yang dari dulu memiliki mimpi untuk pergi berkeliling Eropa tidak mau ketinggalan sedikitpun pemandangan Berlin sehingga aku terus melihat ke arah jendela, namun kadang aku melihat ke arah Prana, ia bercerita, sambil terus memandangku, dan tersenyum, kali ini senyumnya merekah lebih lebar dari biasanya, dari sejak pertemuan kami kembali di Delft.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore hari itu, suasana musim gugur sedang indah indahnya sehingga aku tidak dapat melepaskan pandanganku pada pemandangan musim gugur di Berlin selama kami berjalan dari halte menuju flat Prana. Aku sedikit menyesal karena Prana tidak membawaku untuk berjalan kaki menuju flat melainkan menggunakan bis. Kami pun berhenti di salah satu halte yang ucapnya paling dekat dengan flat nya.
“ Tunggu sini ya, kubawa tas nya, kita langsung berangkat “ Ucap Prana berhenti di sebuah gedung bertingkat ber cat kan putih dengan gaya victorian. Namun suasana musim gugur ini lebih menarik perhatianku ketimbang bangunan yang ada di depanku sekarang, aku ini berbeda dengan Keiko dan Prana, bukan seorang pemerhati bangunan, walau aku kini dapat dibilang seorang arsitek muda. Aku banyak banyak menghirup angin kota ini, angin segar Eropa yang mungkin tidak dapat lagi kuhirup tahun depan nanti.
“ Berangkat kemana lagi? “ Ucapku ketika Prana baru saja membuka pintu gedung flat nya setelah menemukan kunci di dalam saku celana nya.
“ Grunewald, believe me, jam segini, di musim gugur, tempat itu lagi indah indahnya “ Ucap Prana membawa tas ku masuk ke dalam gedung flat nya. Hanya 5 menit hingga Prana kembali menghampiriku, lalu langsung mengajakku pergi meninggalkan jalanan tersebut. Aku mengikuti Prana sebagai tour guide ku. Aku pernah sekali melihat lihat Grunewald di internet, dan tempat tersebut memang indah. Namun aku belum tahu apa tempat tersebut akan seindah foto sehingga kali ini rasanya aku benar benar bersemangat.
Kami dengan cepat menaiki bis yang akan pergi dalam hitungan detik, aku duduk di samping Prana. Suasana diluar betul betul indah namun kini pemandangan laki laki disampingku ini lebih menarik perhatianku. Aku melihatnya dari samping, baru kusadar bahwa hidungnya sedikit mancung, berbeda dengan hidungku yang pesek dan warna matanya sedikit lebih terang dari cokelat tua. Aku terus melihat ke arahnya sampai Prana sadar bahwa ia sedang diperhatikan, ia melihat ke arahku.
“ Kenapa liat liat? Ganteng? “ Ucap Prana.
Prana, Prana yang kukenal 3 tahun lalu, hanya dengan sedikit perbedaan fisiknya yang berkembang sebagaimana mestinya. Ia tertawa menggodaku yang tertangkap basah sedang memperhatikannya. Aku tertawa sambil menggelengkan kepalaku.
“ Mulai deh “
“ Mulai apa? “
“ Prana nya keluar.. “ Ucapku senang.
***
Grunewald mungkin tempat pertama yang membuatku tercengang sampai tidak dapat berkata kata sedikitpun, ternyata internet tidak berbohong padaku. Tempat ini luar biasa. Aku berjalan lebih cepat mendahului Prana, terkagum kagum dengan suasana musim gugur di hutan ini. Kami berjalan melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh pohon pohon yang daunnya sudah menguning, pepohonan dimandikan oleh sinar matahari sore membuat suasana musim gugur ini terasa hangat padahal suhu sudah turun sampai 7 derajat celcius. Ini bisa jadi sebuah perfect scene. Ditambah dengan daun daun yang terus berguguran dan tertiup oleh angin.
Aku melihat ke belakang, Prana tertangkap basah sedang melihatku yang berjalan duluan, kesenangan layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan cokelat. Prana tersenyum ke arahku dan aku menghampirinya.
“ Oke jujur ini perfect banget, the orange golden yellow nya tuh terasa warm.. “ Ucapku mengeluarkan pocket camera yang selalu ku bawa di saku coat ku jika aku pergi menjelajahi Eropa di luar Belanda. “ Tau gak, Since I lived here, this thing is a must “ Aku memberikan kamera ku pada Prana. “ Fotoin dong “ Ucapku. Prana mengambil kamera ku, aku berjalan sedikit menjauh sambil melihat ke depan.
Aku berbalik dan tersenyum ke arah kamera. Prana langsung berlari ke arahku dan memperlihatkan hasilnya. Prana berdiri sangat dekat di depanku, seperti biasanya dulu. Sehingga aku dapat mencium wangi khas cokelat nya yang tidak berubah sejak dulu. Sehingga jantungku sedikit berdebar mendapati ia ada di dekatku.
“ Jadi, hutang perfect scene, done ya “ Ucap Prana. Aku terkejut melihat ke arahnya, ia masih ingat akan hal tersebut, malah mungkin hal tersebut hanyalah sebuah janji kecil yang seharusnya kami lupakan dengan cepat bertepatan setelah kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.
“ Boleh deh “ Ucapku tertawa. Namun tiba tiba Prana mengulurkan tangannya ke arahku. Aku melihat ke arah tangannya dengan heran, sambil sedikit tertawa. “ Ini, apaan deh “
“ Hutang tetep lah hutang, because I can’t kiss you, holding hands mungkin cukup “
“ Ya ampun, Prana “ Ucapku tertawa kecil. Prana masih mengulurkan tangannya padaku. Aku masih diam, gak tahu apa harus menggandeng tangannya atau tidak, namun Prana dengan cepat menggenggam tanganku, kerinduan yang mendalam ini membuatku reflek membalas genggamannya. Mata kami saling bertemu dan kami tertawa kecil.
Aku dan Prana berjalan di jalan setapak hutan Grunewald. Di bawah pepohonan yang sedang menggugurkan daunnya, disertai angin musim gugur yang berhembus, dan suara gemercik air di danau yang dikelilingi hutan ini. Kami saling diam, namun senyum sama sama merekah di wajah kami, dan Prana masih terus menggenggam tanganku.
***
“ Pran lihat ini deh, keren banget gitu kan “ Ucapku memperlihatkan video Sigur Ros Live from Heima. Prana menganggukan kepalanya. “ Mau deh, nonton di tempat outdoor begini, asyik kayanya ya? “
“ Nanti kalau kita udah di Eropa kita cari konser konser gitu “
“ Tapi gak EDM in the park ya “
“ Ya enggak laah “ Ucap Prana tertawa.
***
Setelah 25 menit perjalanan dari Grunewald menggunakan bis, Prana membawaku pergi ke Gorlitzer park, sebuah taman luas dengan rumput yang sudah sedikit menguning, dengan suasana oranye dari pepohonan yang sudah menguning daunnya. Kami duduk di hamparan rumput tersebut. Aku berbaring di atasnya, menikmati Jerman di sore hari, di bulan September dimana matahari ada di atas langit dalam waktu yang cukup lama dan baru mulai akan terbenam pada pukul 8 nanti.
Kali ini aku termenung, melihat ke sekelilingku, membayangkan apa saja yang Prana lakukan selama ia tinggal disini, apa ia juga berjalan jalan di Grunewald, atau duduk duduk menikmati sore hari di Gorlitzer park dengan segelas kopi. Apa ia merasa kedinginan di musim dingin pertamanya seperti yang aku alami, apa ia merasa kelaparan ketika merasa sulit mencari nasi, apa ia merasa sulit menjalani hari hari pertamanya di Jerman sebagai orang asia, apa dalam hari pertamanya ia membawa kamus bahasa jerman seperti aku di hari hari pertamaku yang membawa kamus bahasa Belanda kemana pun aku pergi.
Jika aku dan Prana mengikuti future plan yang sudah kami susun, mungkin kini Jerman menjadi rumahku, kami memang pernah merencanakan, melanjutkan studi di Jerman setelah menikah. Namun kini rencana tersebut hanyalah sebuah rencana masa lalu yang hangus ditelan waktu.
Jerman, negara cita cita nya yang seharusnya dulu menjadi kehidupan ku juga, namun kini hanyalah menjadi sebuah sisi lain dari kehidupan Prana yang tidak aku ketahui, dan kini aku duduk di Jerman, dengan begitu banyak pertanyaan akan sisi lain dari kehidupan Prana, orang yang pernah memimpikan untuk tinggal satu atap denganku di tanah Eropa ini.
Tiba tiba saja Prana datang padaku, memecahkan lamunan dan ribuan pertanyaan dalam pikiranku, lalu kembali duduk di sampingku.
“ Aku enggak nemu foodtruck yang makanannya berbeda dengan makanan makanan lain “ Ucap Prana, aku tertawa dan melabuhkan cubitan kecil pada lengannya. Kami kembali menikmati suasana taman sore itu. “ Tuh lihat, anak anak itu, kadang 3 hari seminggu, ngamen disini, dan mereka itu selalu nyanyiin lagu lagu genre genge post rock, kaya Mogwai, God is an Astronout, Stereolab, bahkan favoritmu, Sigur Ros dan M83 “ Prana menunjuk ke arah sebuah panggung level yang di buat di tengah taman sehingga menjadi tempat strategis yang dapat dilihat oleh semua pengunjung taman, dan beberapa remaja laki laki berdiri di sana dengan alat musiknya masing masing dengan speaker se adanya.
Aku melihat ke arahnya. “ Kamu kok masih ingat? “
“ Inget lah, cewek mana lagi yang suka lagu lagu begitu kalau bukan kamu “
Tiba tiba suara musik terdengar dari speaker, aku terus melihatnya, mereka dengan tenang memainkan alat musiknya masing masing. Suara keyboard terdengar, memainkan nada nada yang sepertinya sangat kukenal sehingga aku langsung memfokuskan diriku pada band kecil tersebut.
“ Kamu beruntung sekali ya “ Ucap Prana.
Sampai sang vokalis menyanyikan liriknya, aku sadar kalau mereka sedang memainkan lagu Sigur Ros yang berjudul Hoppipolla, salah satu lagu favoritku dari band yang berasal dari Irlandia tersebut. Sementara aku hanya duduk di atas hamparan rumput, tercengang sambil mendengaran lagu yang di cover oleh band tersebut. Prana juga masih duduk, menikmati lagu sambil memejamkan matanya.
“ Tempat ini mungkin gak kaya Heima, tapi setidaknya, ini udah membantu mimpi mu untuk nonton konser yang open air gini di Eropa “ Ucap Prana, aku melihat ke arahnya, betul betul tidak tahu apa yang harus ku katakan dengan apa yang sudah Prana tunjukkan sore ini. “ Itu alasanku bawa kamu kesini, taman di Berlin itu banyak, tapi disinilah suka ada anak anak remaja ngamen, uniknya lagu lagu post-rock juga “ Ucap Prana, aku masih diam, menikmati lagu. “ Aku tahu kamu pasti suka “
Aku benar benar menyukainya, alunan merdu lagu Sigur Ros dilengkapi dengan suasana musim gugur dan angin musim gugur yang berhembus. Ditambah lagi dengan Prana di sampingku. Diam diam Prana lagi lagi menggenggam tanganku, dan aku membalas genggamannya.
Bisa jadi ini hari yang paling indah selama aku ada di Eropa.
***
“ Its my first time banget tau gak, nonton band di open air tapi sambil duduk duduk di taman gitu, di Belanda habisan jarang banget ada gigs gigs macem gitu, dan aku terlalu sibuk buat dateng sekalinya ada “ Ucapku, mencocolkan siomay pada saus merah yang disediakan oleh sang pelayan yang baru saja menghampiri kami, memberikan segelas air mineral. Aku betul betul excited sepulang dari taman dan tidak berhenti membicarakan tentang bagaimana hebatnya pengamen di taman tersebut.
“ Well, i’ve been in a concert, once, its called Wacken Open Air, annual event, aku datang di tahun 2011, itu tuh heavy metal concert, every Summer, takes place di Wacken, desa kecil di bagian utara nya Jerman, naik pesawat 2 jam dari Berlin, dan itu, epic banget, kaya, semua orang di dunia tuh dateng kesitu gitu, Tar “ Prana terlihat antusias menceritakan konser genre musik favoritnya tersebut. “ Ozzy Osbourne, Judas priest, Mayhem, Kreator, Motorhead, dan semua musisi heavy metal dateng kesana gitu “
“ Yeah include you “
“ I’m just a visitor “
“ You are once a heavy metal musician! “
Kami tertawa, saling mendengar cerita satu sama lain, bercerita tentang masa lalu Prana yang pernah menjadi seorang musisi heavy metal di masa masa kuliahnya. Prana membawaku pergi ke Lon Men’s Noodle House di Charlottensburg, sebuah kedai mie yang ada di dekat dengan flat nya. Aku sudah terlalu lapar sehingga aku megatakan pada Prana kalau aku harus makan banyak, sehingga Prana membawaku ke restaurant Asia ini.
Pada hari itu, Prana kembali muncul di hidupku, namun kini Prana benar benar muncul, Prana yang ku kenal 3 tahun lalu, dengan sifat sifat tersembunyi nya yang dulu hanya aku yang tahu. Tawa dan senyumnya memenuhi hari pertamaku di Berlin. Genggaman tangan dan rangkulannya beberapa kali kudapat ketika kami berjalan di trotoar bersamanya. Bahasan akan segala hal yang tak ada habisnya.
Ini benar benar Prana. Prana yang dulu memenuhi kehidupan kuliahku, dengan janji janji kecilnya yang satu persatu ia penuhi di hari ini, dengan tawa nya yang lama tak aku dengar, dengan caranya memandangku seperti dulu ketika kami masih bersama, dengan gestur nya yang selalu aku rindukan, dengan caranya memandang sesuatu yang menarik hatinya, dengan caranya bertutur kata, dan dengan kasih sayangnya yang entah mengapa hari ini kurasakan kembali.
Setelah melahap belasan plate dimsum dan mie, akhirnya aku merasa terlalu kenyang dan kami memutuskan untuk kembali ke flat. Gerimis turun ketika kami keluar di pukul 9 malam di jalanan Kantstraße, Prana merangkulku berlari menuju halte bis yang cukup jauh dari Lon Men.
Kami hanya tertawa, seakan masalah terbesar kami selain thesis yang akan kami hadapi ini hanyalah sebuah gerimis kecil di musim gugur yang memang kadang kadang terjadi. Prana membawaku kembali ke flat nya di Krume Str, Charlottensburg. Aku sudah beberapa kali menguap karena tidak tidur selama perjalananku ke Berlin. Sehingga aku merengek karena aku sudah sangat mengantuk. Prana memberikan bahunya, membiarkan kepalaku bersandar pada bahunya untuk sedikitnya memejamkan mata barang 1 atau dua menit dalam perjalanan kami di bis. Aku melendot manja seperti dahulu kala.
Berlin di malam hari tidak jauh berbeda dengan Belanda di malam hari, namun perbedaannya adalah laki laki yang membantuku turun dari bis. Kami berjalan di dalam gelap berdua sampai ke gedung flat nya yang tidak jauh dari halte. Kami masuk ke dalam kamar flat nya di lantai dua, sebuah kamar flat yang tidak terlalu besar, dengan gaya minimalis, jendelanya agak besar, menghadap ke arah jalan dan berada di samping meja makan kecil di living room kecil ini. Rapi, seperti Prana yang memang gak bisa kalau kamarnya gak rapi, rapi dan tanpa tempelan tempelan seperti flat ku di Belanda yang penuh dengan cetakan foto foto ku selama aku ada di Eropa dan ketika aku berlibur ke Indonesia.
“ Kamu boleh tidur di kamar, karena gak ada tv di kamar, kalau mau nonton, harus di luar “ Ucap Prana menunjuk ke arah sofa kulit berwarna hitam panjang yang menghadap ke tv. Aku duduk di sofa tersebut, menghelakan nafasku, beristirahat akan perjalanan panjang yang kujalani seharian ini. Prana datang padaku dan memberikanku mug berisi cokelat panas instan yang dibuatnya.
Aku menyalakan tv, Fox Channel sedang menayangkan serial TV Walking Dead. Sehingga aku memutuskan untuk tidur setelah menonton ini. Prana masuk ke dalam kamarnya, ia membawakanku bantal dan selimut karena Prana nampaknya yakin betul bahwa aku akan tertidur di sofa.
“ Pasti akan ketiduran “ Ucap Prana, ia duduk di lantai, bersandar pada bagian bawah sofa sambil menikmati kopi hitamnya. “ Tidur, besok kita jemput Hardian di stasiun, setelah itu kita jalan jalan lagi “ Ucap Prana melihat ke arahku, memaksaku untuk tidur dengan tatapan lembutnya. Aku mengangguk, dan nampaknya wajahku sedikit memerah.
“ The Walking Dead dulu, ya? “ Ucapku terkekeh. Prana hanya mengangguk sambil tersenyum.
Kami menyaksikan tayangan dalam diam, sama sama menikmati minuman nya. Aku mulai mengantuk sehingga aku mulai berbaring di atas sofa, melanjutkan tayangan yang sedang kami tonton, sambil sesekali melihat ke arah Prana, matanya fokus pada televisi. Mungkin ini yang berbeda, yang ku tahu, dulu Prana gak suka menonton televisi, dan kini ia sangat fokus pada layar televisi.
Namun aku hanya diam, bukannya melihat ke arah layar televisi aku terus memandangnya dari belakang, melihat bahu nya yang bidang dan lehernya yang ditutupi kaus turtle neck yang ia pakai seharian ini. Aku terus memimpikan masa lalu ku, dan bagaimana seharusnya kami berada disini, dalam satu atap, dengan bebas memeluknya kapan saja karena cincin di jari manis yang seharusnya kini sudah mengikat kami berdua. Hingga tak terasa mataku terpejam.
Dan malam itu, aku bermimpi, namun mimpiku terasa sangat nyata, seakang tak ada batas antara realita dan dunia mimpi. Dalam mimpi tersebut Prana mencium keningku.
“ gute Natch “
***
22 September 2012, Berlin, Jerman.
Setelah melahap french toast buatan Prana dan segelas susu cokelat di flat nya, kami kini berdiri di stasiun Berlin Haubtbahnhof, menjemput Hardian dan Ozki yang pagi pagi sekali berangkat menggunakan kereta dari Hanover. Pagi itu staasiun cukup penuh oleh para masyarakat Berlin yang berlalu lalang pergi untuk berangkat bekerja atau kuliah.
“ Kamu masih bisa kan bahasa Jerman sedikit sedikit? “ Tanya Prana tiba tiba ketika ia sedang membaca jalur kereta hari itu. Aku yang tidak mengerti sedikitpun tentang apa yang ditulis dalam neon glass tersebut hanya bersandar pada dinding sambil memperhatikan orang orang yang berlalu lalang.
“ Bisa, tapi Cuma sekedar zum Flughafen (to airport), Danke (terimakasih), entschuldigen Sie mich (excuse me), Ich kann Deutschland nicht sprechen (I can’t speak German). Seengganya kalau aku nyasar disini aku bisa cari orang yang bisa bahasa Inggris, dan pergi ke airport lalu pulang ke Belanda “ Ucapku tertawa.
“ Jadi kalau aku tinggalin disini, dan aku suruh kamu cari flat aku, kamu tetep akan ke Bandara? “
“ Probably yes “ Ucapku, karena aku benar benar sudah tidak mengingat banyak bahasa Jerman walau pun kata kata dasarnya. Kami tertawa kecil, sambil mencari batang hidung Hardian dan Ozki ditengah hiruk pikuk Berlin Haubtbahnhof. “ There he is “ Ucapku melihat badan tegap dan tinggi Ozki yang sudah terlihat batang hidungnya dari kejauhan. Prana melambaikan tangannya, Ozki menyadari nya dan langsung berjalan ke arah kami.
Hardian dan Ozki masih sama seperti dirinya yang datang ke Delft bulan Agustus lalu sehingga tidak ada perubahan yang benar benar membuatku terkejut. Kami saling berpelukan melepas rindu. Namun Prana membawa kami untuk segera pergi ke halte bis paling dekat dari stasiun.
Tanpa pulang ke flat, siang ini Prana langsung membawa kami mengelilingi Berlin, menjelajahi bangunan sejarah yang ada di kota tersebut. Hardian dan Ozki sudah sering datang ke Berlin sehingga mereka kini hanya bertugas untuk menemaniku sementara Prana menjadi guide pribadiku.
Bradenburg Gate, Pergamon Museum, Charlottenburg Palace, Berlin Catedhral dan banyak lagi sampai aku harus mengganti memori kameraku dengan memori cadangan. Tanpa kusadari aku banyak sekali mengambil foto Prana, tanpa ia sadari. Otaknya yang cerdas mampu menampung seluruh pengetahuan pengetahuan umum tempat ini sehingga ia dengan lancarnya menjadi guide pribadiku dalam perjalanan menjelajahi historical place di Berlin.
Dan kini aku berdiri di depan French Catedhral Berlin, yang Prana bilang akan jadi historical place terakhir yang kami kunjungi hari ini. Terlalu senang sampai kami lupa belum berhenti untuk makan siang sementara waktu sudah menunjukkan pukul 5. Ozki dan Hardian pergi meninggalkan kami, mencari food truck untuk mengganjal perut lapar mereka sehingga aku dan Prana berdiri di depan Catedhral dalam diam.
“ Pran, makasih loh, semuanya “ Ucapku. Prana menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Aku terus menoleh ke arahnya. Tiba tiba saja Prana berbalik, berdiri di depanku sambil meremas lembut kedua bahu ku. Ia menatap mataku lalu memelukku tiba tiba, tanpa berkata apa apa, ia memelukku erat. Hatiku benar benar berdebar kencang. Aku membalas pelukannya, menyalurkan seluruh kerinduan yang terperangkap di dalam diriku.
“ Sorry, my mistake “ Prana dengan perlahan melepaskan pelukannya, aku hanya diam dan kembali melihat ke arah katedral. Wajah Prana nampak memerah, sementara aku hanya tersenyum senang. Jauh dari dalam hatiku aku memang merindukan pelukan pelukan kecilnya yang dulu sering ia berikan padaku. Dan hari ini aku mendapatkannya kembali.
Kami pergi ke Thomas-Eck, sebuah restaurant kecil di Pestalozzistraße. Ozki memesan banyak makanan, katanya ia sudah terlalu lapar, sementara aku pasrah dengan pilihan Prana dan Hardian, karena menu nya yang berbahasa Jerman betul betul tidak aku mengerti satu kata pun.
Malam itu kami bertukar cerita, Hardian dan Ozki dengan rencana hidupnya, Prana dengan rencana thesisnya, dan aku hanya mendengarkan, tanpa banyak bercerita. Entah mengapa malam ini aku gak bisa melepaskan pandanganku dari Prana, ia bertutur kata, dengan caranya berbicara yang berkali kali membuatku jatuh cinta, dan malam ini berhasil membuatku kembali jatuh ke perasaan yang sama.
Prana berhasil membuatku jatuh sekali lagi, pada dirinya.
***
Hardian dan Ozki nampak terlalu lelah namun Prana masih ingin membawaku pergi ke suatu tempat sehingga kami meninggalkan Hardian dan Ozki di flat Prana. Sesungguhnya aku sudah sangat lelah namun aku masih ingin menghabiskan waktuku dengan Prana sehingga aku mengangguk dengan mantap ketika Pran amengajakku pergi ke suatu tempat. Ia membawaku ke salah satu sisi jalan, menikmati Spree River di malam hari. Kami hanya berdiri dan bersandar pada pagar pembatas, melihat ke arah sungai yang tenang, sesekali beriak akibat dari angin malam.
“ Besok kemana lagi? “ Tanyaku menoleh ke arah Prana yang sedang bersandar disampingku.
“ Besok waktu bebas, you decide “ Ucap Prana. Besok akan menjadi malam terahirku di Berlin sebelum aku harus pulang ke Belanda menggunakan kereta di pagi hari tanggal 24 nanti bersama Hardian dan Ozki yang akan bertolak pulang ke Hanover.
“ Aku bener bener gak tahu Berlin, Prana “ Ucapku tertawa. Ia hanya diam,bersandar pada pagar sambil melihat ke arahku. Pagi tadi aku melihat ke arah kalender yang terdapat di dinding ruang tengah, dan mendapati bahwa besok merupakan hari kelahiran Prana. Aku menoleh ke arahnya, memperhatikan garis garis rahang tegasnya. “ Happy birthday ya, by the way “
Prana mendongkak, melihat ke arahku. “ Disini adatnya gak boleh ucapin ulang tahun kalau gak hari ulang tahun nya, kamu ucapin sebelum hari ulang tahunku berarti kamu doain aku untuk cepat mati “
“ Gak apa apa kali, aku mau jadi pengucap pertama, no matter how Europe we are now, dan gak peduli dimana sekarang aku berdiri, dan aku ingin kamu selalu hidup “ Ucapku, terlontar begitu saja. Prana memandangku lembut.
Prana lagi lagi memelukku, aku tidak menolak, aku balas memeluknya. Aku masih tidak ingin bertanya tentang segala hal yang ia lakukan padaku selama di Berlin ini. Aku menghirup aroma cokelat yang tertempel di tubuhnya dalam dalam, memasukannya sebanyak banyaknya dalam memoriku. Dalam pelukannya Prana mencium keningku. Ciuman lembut yang sudah sangat lama tidak kurasakan.
“ Terimakasih, ucapannya “ Prana melepaskan pelukannya. Dan kami kembali bersandar masing masing pada pagar pembatas. Senyum merekah di wajah kami sambil saling bertatapan malu.
Malam itu aku dan Prana memutuskan untuk mencari mesin Photoaumat di sisi jalan Kastanienalle dan berjalan jalan menikmati jalanan malam kota Berlin sebelum pulang ke flat. Prana terus menggenggam tanganku selama perjalanan tanpa melepaskannya sedikitpun, beberapa kali memasukkan tanganku ke dalam coat nya ketika ia merasa kedinginan. Seakan tidak peduli dengan apapun, malam itu kami mengulang banyak sekali cerita cerita indah ketika kami sedang bersama. Malam itu Prana kembali padaku dengan genggaman, rangkulan, pelukan dan kecupan kecupan kecilnya yang sering ia labuhkan sejak 3-5 tahun yang lalu. Terbesit dalam benakku, kini aku sudah kembali mendapatkan Prana.
Jalanan kota Berlin masih ramai, sampai tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Seakan jalanan hanya milik aku dan Prana, seakan tidak ada rasa lelah kami hanya tertawa terbahak bahak, mentertawakan segalanya, membahas segalanya, yang bahkan Prana kira kadang hal tersebut benar benar gak penting untuk di tertawakan dan dibahas begitu dalam.
Living room flat Prana sudah dipenuhi oleh Hardian dan Ozki yang sedang lelap tertidur sehingga kami harus mengendap endap masuk ke dalam. Karena tersisa satu sofa lagi, aku tidur di kamar Prana sehingga Prana dapat tidur di atas sofa. Dengan cepat aku langsung berbaring sementara Prana menyempatkan waktu untuk menikmati segelas kopi dulu.
“ gute Nacht “ Ucap Prana sebelum aku masuk ke dalam kamar.
“ Goede Nacht “ Balasku dengan menggunakan bahasa Belanda.
Sebelum tidur aku menyempatkan diri, mengabari Keiko untuk menjemputku di Delft seperti biasanya pada siang hari tanggal 24 nanti melalui pesan singkat. Aku kembali mengulang, melihat lihat foto fotoku dan Prana yang ada di dalam handphone ku. Tanpa kusadari senyum merekah lebar di wajahku. Aku dengan cepat memejamkan mata, tak sabar menanti kejutan apa lagi yang akan kudapatkan esok hari.
Dan malam itu lagi lagi aku bermimpi, sama seperti malam kemarin. Namun hari ini aku sadar, bahwa ini bukan mimpi.
***
(Continue to part 11)
No comments:
Post a Comment