Around 2010, Sunny Day in Jakarta. Around November, I
guess.
Papa terus memanggilku dari lantai
satu, aku benar benar jengkel, nampak dia tidak sabar untuk bertemu denganku.
Aku berlari dari kamarku yang terletak di lantai dua dan segera turun ke bawah,
menemuinya yang sedari tadi memanggil namaku dengan kencang.
“ Apa, sih Pah? “ Gerutu kesalku
tidak membuat Papa histeris.
“ Congratulations! “ Teriak Papa sambil memegang secarik kertas yang
sudah dikeluarkan dari amplopnya. There
it is, Papa ku yang tidak mengenal kata privasi.
“ That’s my letter “
***
November 2010. A bit cloudy.
“ Mau ketemu Pak Harris “ Ucapku
pada pegawai front office. Perempuan
muda itu langsung menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Meminta aku untuk
menunggu sebentar, sementara ia menghubungi Pak Haris melalui intercom gedung besar ini. Aku tidak
mendengar apa yang pegawai front office itu
katakan, karena mataku sangat terfokus pada bagaimana gedung tinggi ini
dibangun. Building is always my things,
mata dan otakku gak pernah berhenti sedetik pun untuk mengagumi gedung tinggi
milik salah satu perusahaan besar di pusat kota Jakarta ini.
“ Maaf, dengan Mas Keiko ya? “ Ucap
pegawai front office tersebut. Aku
hanya mengangguk. Lalu ia kembali berbicara melalui intercom nya. Memberiku kembali waktu untuk mengagumi gedung besar
ini. “ Partner nya sudah datang mas?
“ Perempuan tersebut kembali memecahkan fokusku, rupanya ia sudah menutup
telefonnya.
“ Partner? “
“ Mas yang mengajukan proposal sponsorship pendidikan? “
“ Yes... “
“ Ada dua orang, yang proposalnya di
terima...Pak Harris tadi bilang, Mas Keiko bisa tunggu di lounge yang ada di lantai 5, sampai partnernya juga datang, katanya
biar sekalian. Jadi, boleh ditunggu aja Mas “ Ucapnya tidak lupa tersenyum.
Aku tidak pernah tahu bahwa aku
bukan calon tunggal yang proposal sponsorship
nya di approve. Sehingga aku
belum mendengarnya sama sekali, tentang partner
yang pegawai front office itu
bicarakan. Aku hanya mengangguk mengerti dan segera melangkahkan kaki menuju lift yang ada tidak jauh dari meja front office.
Pintu lift lantai 5 terbuka dan aku tidak perlu susah susah mencari
dimana lounge berada karena ketika
pintu lift terbuka, yang kulihat
adalah sebuah ruangan besar dengan beberapa sofa
dan vending machine yang jarang
sekali kulihat di kantor manapun, bahkan kantor tempatku bekerja. Aku langsung
menyimpulkan bahwa ruangan tersebut merupakan lounge yang dimaksud.
Mataku langsung tertuju pada sofa yang berada di ujung ruangan,
sehingga dengan cepat aku melangkahkan kakiku kesana. Duduk dengan nyaman dan
kembali mengagumi bagian dari gedung berlantai 15 ini. Ruangan lounge ini begitu luas dengan tema interior yang sangat simple. Lantai parquette nya memberikan kesejukan tersendiri bagi seseorang yang
memasukinya dan kaca kaca besar yang mengarah pada view kota Jakarta membuat ruangan ini nampak hebat dan cocok
menjadi ruang tunggu para tamu kantor.
Seorang perempuan dengan warna baju
senada dari atas sampai bawah memberitahuku untuk segera masuk ke ruangan Pak
Harris jika partner ku sudah datang.
Aku hanya mengangguk mengerti, sementara ia kembali ke mejanya yang ada di
depan sebuah pintu kayu dengan kaca kaca persegi yang membuatku dapat sedikit
mengintip ke dalamnya. Dugaanku mungkin benar kalau perempuan tersebut adalah
sekertaris Pak Harris yang siang ini harus ku temui.
Tidak tahu sudah berapa lama aku
menunggu, aku pun tak sadar memejamkan mataku. Memaksaku untuk tidur, rupanya
mataku sudah mulai protes, semalaman dipakai untuk mengerjakan pekerjaan kantor
yang belum selesai selesai. Sehingga tubuhku pun reflek mencari posisi yang
nyaman untuk sedikit beristirahat sambil menunggu sang partner yang namanya pun aku tidak tahu.
Rasanya aku tertidur cukup lama,
namun beberapa saat setelah aku mulai bermimpi, insting ku mengatakan bahwa
seseorang sedang memperhatikanku. Aku membuka mataku perlahan, mencoba bangkit
dari mimpi ku. Seorang perempuan berambut hitam sebahu berdiri di depanku. Sambil
memegang handphone di tangan kiri dan
tote bag kulit berwarna cokelat di
tangan kanan nya, ia tersenyum, terlihat sedikit raut rasa bersalah karena ia
datang terlambat. Kembali, instingku mengatakan bahwa ini partner yang tengah dibicarakan oleh Pak Harris, dengan sedikit
jengkel karena membuatku menunggu cukup lama, tanpa berkata apa apa aku
langsung berdiri dan melangkahkan kakiku menuju meja sekertaris Pak Harris. Ia
juga hanya mengikutiku dalam diam.
“ Mbak, yang ini bukan? “ Aku
bertanya pada sekertaris tersebut yang sedang melihat ke arah komputernya.
“ Mbak Tara? “
“ Iya.... “ Ucap perempuan yang
berdiri di belakangku dengan singkat.
Sekertaris itu hanya tersenyum dan
mengajak kami masuk ke dalam ruangan Pak Harris. Siang itu kami membicarakan
banyak sekali tentang proposal sponsorship
yang kami ajukan untuk berkuliah di Belanda. Pada awalnya kupikir perempuan
bernama Tara tersebut bukan seorang engineer,
dugaan ku tentang perempuan ini salah. Tak kusangka perempuan kecil yang kini
duduk di sampingku ini juga mengajukan sponsorship
studi ke kampus yang sama dengan kampus yang aku tujukan, terlebih lagi di
jurusan yang sama.
Sedikit aneh bukan, mengetahui
banyak tentang seseorang dari sebuah pertemuan 3 mata, ketika pada awalnya kami
tidak mengenal satu sama lain, dan tiba tiba saja mau tidak mau kami harus
saling menopang dalam kehidupan kami di Belanda nanti.
Percakapan “intro” dengan Pak Harris berlangsung sekitar 1,5 jam. Banyak sekali
yang kami bicarakan dan berakhir dengan janji baru bahwa bulan depan kami harus
kembali kesini untuk mengurus hal hal lainnya. Setelah berpamitan dengan Pak
Harris, aku berjalan keluar dari kantornya di belakang Tara. Kami berdua
berpamitan dengan sekertaris yang sedang mengerjakan pekerjaannya. Kami tidak
berkata kata sampai kami sama sama melangkahkan kaki menuju pintu lift.
Setelah Tara menekan tombol G dan
aku menekan tombol B1, lantai dimana aku memarkirkan mobilku, Tara mengulurkan
tangannya.
“ Kita belum kenalan secara official “ Ia tersenyum. Aku menjabat
tangannya.
“ Keiko “
“ Tara “
Kami saling melepaskan tangan kami
dan kembali menikmati lagu classical yang
terdengar dari speaker lift. Aku
kembali melihat ke arahnya yang tingginya lebih rendah dariku.
“ Dari Bandung... “
“ Sorry ya tadi telat.. “
Kami mengatakannya bersamaan. Aku
memberinya kesempatan untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan lebih dulu.
“ Sorry tadi telat, gak tahu kenapa dari stasiun tadi susah banget cari taksi, dan agak macet... “ Ucapnya.
“ Ya...ya...emang, naik kereta kesini? “ Tanyaku. Ia mengangguk
pelan.
Waktu kami habis tepat ketika lift akhirnya terbuka di lantai dasar,
lantai yang ia tuju. Tara berpamitan padaku dan langsung keluar dari lift. Aku tidak berkata apa apa selain
menganggukan kepalaku. Namun ketika pintu lift
baru tertutup setengahnya aku langsung menekan tombol agar pintu kembali
terbuka, lalu keluar dan mengejarnya yang baru saja melewati front office.
“ Tar, Tar, pertemuan selanjutnya,
lo naik kereta lagi? “ Tanyaku setelah ia berbalik ke arahku.
“ Yes...fastest way “
“ Mmmm, gue, gue, yaa...pertemuan
selanjutnya, kita bisa pergi bareng, kalau dari kantor gue gak jauh ke stasiun,
jadi ya....since we gonna go to Holland
together, sambil get to know each
other gitu...mmm, fuck it, I’ll pick
you up in station, how does that sound? “ Ucapku sedikit kaku, entah
mengapa lidahku sedikit kalut dan otakku gak bisa dengan cepat memikirkan kata
kata yang tepat sehingga aku tahu kalimatku sudah terlalu berantakan. Tara
melihat ke arahku sambil sedikit terkekeh, aku tidak tahu bagaimana konyolnya
wajahku ketika berbicara seberantakan itu.
“ Kalau gak ngerepotin sih, sounds good, kita butuh juga ya mungkin,
well, I won’t going to Holland with a
stranger, jadi get to know each other
is a must I think “
“ Oke kalo gitu, boleh, phone number? “ Tanyaku mengeluarkan handphone ku yang sedari tadi kusimpan
di dalam saku. Ia mengangguk mengerti sambil mengambil handphone ku. Langit Jakarta sudah agak mendung, bulan itu hujan
memang sedang getol getolnya turun membasahi kota Jakarta, dan langit hari ini
mengatakan bahwa ia akan mulai menurunkan tetesan air nya dan kembali membasahi
Jakarta. “ Sekarang langsung ke stasiun? “
“ Enggak...kebetulan ada saudara,
kantornya gak jauh dari sini, mau kesana dulu kayanya “ Ia memberikan handphone ku kembali setelah menyimpan
nomornya.
“ Ya udah, sekalian gue juga mau
balik ke kantor? Gue pake mobil...kalau mau bareng... “
“ Gak usah, gue udah telefon taksi,
gak enak kalau dibatalin, udah rejekinya ternyata gak jadi kan gak enak “ Ia
tersenyum. Tak lama kemudian sebuah mobil taksi berwarna biru datang memasuki
pekarangan gedung dan berhenti di titik drop
off. “ Baru aja di omongin, well,
that’s my cab “
“ Well...see you soon, I guess? “
Tara melangkahkan kakinya sambil
menganggukan kepalanya, lalu ia masuk ke dalam taksi bagian belakang. Tanpa
membuka kaca aku dapat melihat ia melabaikan tangannya ke arahku. Aku pun terus
berdiri sampai taksi itu akhirnya meninggalkan pekarangan gedung.
Itulah pertemuan pertamaku dengan
Tara Alexandra, seorang Sarjana Arsitektur dari kota Bandung, yang mungkin
memang sudah ditakdirkan sejak dulu, mengisi kehidupan baru ku di Belanda. Sama
sama melarikan diri, menjadi seorang pengecut dengan meninggalkan Indonesia
dengan segala masalah yang terjadi dalam kehidupan kami. So...here it is. My perfect runaway.
***
Continue to part 2
No comments:
Post a Comment